Kakek lagi-lagi bersujud syukur karena melihat kotak itu berisi baju Koko dan sarung. Arman dan Danang ikut tercengang dengan sikap Angga. Sudah hal biasa jika Angga membantu sesama atau bersedekah. Tapi yang membuat Arman dan Danang tercengang kapan Angga menyiapkan hal itu. Melihat kebahagiaan kakek Darman Arman dan Danang menahan rasa ingin tahunya.
Hingga akhirnya mereka harus pergi dan menemui pemilik ruko yang ingin Arman sewa. dalam perjalan menuju rumah pemilik ruko Arman menanyakan tentang sarung kepada Angga. "Ngga, lu kok bisa kasih sarung sama baju koko?"
Danang sependapat dengan Arman dan menganggukkan kepala saat Arman menanyakan hal tersebut.
"Oh itu, itu sebenarnya ayah ku yang titip," jawab Angga dengan santai dan tetep mengemudi dengan kecepatan sedang.
"Kok Lo kasih ke kakek Darman?" tanya Danang.
"Ya emang kenapa? dia lebih membutuhkan," timpal Angga.
Mendengar itu Arman dan Danang memilih untuk diam dan mengerti apa yang dimaksud oleh Angga. saat dalam perjalanan Arman melihat ponselnya yang menunjukkan fotonya bersama ibunya sesaat sebelum masuk ke rumah sakit. dan di sana terlihat beberapa panggilan tak terjawab dan pesan dari Bunga. Arman segera memblokir nomor bunga dan menghapusnya.
Angga memutar setir bundarnya ke arah kiri saat sampai di sebuah rumah besar dan berpagar besi berwarna hitam. Arman, Angga dan Danang bersiap untuk keluar dari mobil.
Bugkk....
Suara mereka menutup pintu mobil. Sampai mereka menekan tombol Bell, terlihat seorang pria yang sama yang mereka temui di lokasi ruko keluar dari rumah.
"Kalian sudah sampai?" sambut pria yang tengah membuka gerbang untuk mereka bertiga dan menyambut para tamunya dengan senyuman ramah.
"Silahkan masuk!" pria itu mempersilahkan ketiga pria muda itu untuk masuk.
Arman, Angga dan Danang mengikuti langkah kaki pemilik rumah tersebut.
"Dek! Buatin teh empat," teriak pria pemilik rumah itu entah kepada siapa.
"Nggak perlu repot-repot pak," sahut Angga.
"Nggak kok," timpal pria bertubuh gempal itu.
"Bagaimana? Ada yang bisa saya bantu?"
"Teman saya yang ingin bertemu, ada yang ingin di bicarakan." Angga menunjuk Arman yang duduk di sampingnya.
"Sebelumnya saya minta maaf karena datang di jam istirahat Anda. Saya Arman teman dari Mas Angga." Arman memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya.
"Saya Budi!" Pria itu menjabat tangannya Arman.
"Baik! Kedatangan saya kemari saya ingin membayar sewa ruko untuk satu tahun dulu," jelas Arman.
"Iya nggak apa-apa," sahut Budi.
Angga dan Danang hanya diam, mereka mengira Arman akan membayar dengan uang Angga. Seperti yang telah mereka bicarakan.
Di tengah pembicaraan antara Budi dan ketiga tamunya, sosok gadis keluar yang tak asing bagi ketiga tamu itu, yaitu Arman, Angga dan Danang. Arman dan Angga menahan diri untuk tidak ada menegurnya. namun berbeda dengan Danang, dia seketika menyapa gadis yang menyuguhkan teh untuk mereka.
"AMEL!!" Seketika semua mata tertuju pada Danang. Sedangkan Amel hanya tersenyum tipis dan segera pergi lagi.
"Masnya kenal sama anak saya?" tanya Budi.
"ANAK!!" sahut Arman, Angga dan Danang secara bersamaan.
"Iya Amel anak saya, cuma dia berbeda dengan kakaknya. Dia sangat jarang keluar. bahkan dia memilih bekerja untuk kebutuhannya sendiri." Budi menjelaskan sosok Amel yang sebenarnya.
"Saya heran, kalian kok kenal Amel?" tanya Budi.
"Begini pak, dia bekerja di sebuah event mall yang kebetulan standnya bersebelahan dengan saya," jelas Angga.
"Oh iya-iya!" Budi mengangguk-anggukkan kepalanya tanda dia telah paham.
"Ini uang sewa untuk setahun yang anda bicarakan dengan Angga tadi," ucap Arman dengan menyodorkan sejumlah uang untuk memotong pembicaraan tentang Amel.
"Baik, saya buatkan kwitansi." Budi berdiri dan mengambil kwitansi.
Sedangkan Angga berbisik kepada Arman perihal uang yang dia berikan.
"Kok pake uangmu?" bisik Angga.
"Sudahlah, nanti gue jelaskan."
Budi kembali dengan secarik kertas dan memberikan kepada Arman.
"Terima kasih." Arman menerima kwitansi itu.
"Silahkan di minum dulu tehnya," ucap Budi dan mulai meminum teh di depannya. dan ke tiga tamunya mengikutinya.
"Karena sudah larut dan urusan kita sudah selesai saya pamit untuk pulang." Arman berdiri dan berpamitan untuk pulang. Di ikuti kedua sahabatnya.
"Kenapa tidak ngobrol-ngobrol dulu," sahut Budi.
"Tidak, Pak! Sudah terlalu larut."
"Baiklah! Hati-hati di jalan." Budi mengantarkan ketiga pemuda itu hingga depan gerbangnya.
Disaat mereka hendak berpamitan ada sepasang mata yang diam-diam melihat mereka. Amel yang berada di kamarnya melihat mereka dari balik jendela kamarnya. Rasa ingin menyapa Arman tertahan karena ada ayahnya. namun hatinya berbunga-bunga saat melihat Arman datang ke rumahnya dan dia bisa membuatkan teh untuk pria yang dia sukai.
***
Dalam perjalanan Arman meminta Angga untuk mencari warung untuk mereka istirahat. tak jauh dari rumah Budi terlihat sebuah warung lesehan. Angga berhenti. Arman dan Danang keluar terlebih dahulu, sementara itu Angga mencari parkir untuk mobilnya.
"Ayamnya habis mas, tinggal bebek!" sambut pedagang itu saat melihat Arman dan Danang masuk.
"Nggak apa-apa, tiga porsi ya Bu. Sama kopinya tiga." Arman memilih tempat duduk yang nyaman. terlihat beberapa orang telah selesai menyantap makanan mereka.
Setelah mereka duduk Angga datang menyusul mereka.
"Tadi aku sudah kirim uang ke rekening kalian, Angga terima kasih karena semua biaya rumah sakit dan pembukaan stand Lo sudah bantuin gue. Lo cek jika memang kurang Lo ngomong sama gue." Arman mulai berbicara serius.
"Dan buat Lo Nang, gue sangat berterima kasih karena Lo mau jagain stand gue selama beberapa Minggu belakangan ini. Dan gue udah transfer ke rekening mu untuk ganti gajianmu di tempat ayahnya Angga."
"Bentar-bentar! Ini apa sih maksudnya?" Danang yang biasanya orang paling ceplas-ceplos kini mode serius.
"Jangan tersinggung dulu, gue hanya merasa nggak enak sama kalian."
"Dan uang yang Lo transfer banyak banget, dan gue tetap di bayar kok sama pak Agus. jadi Lo nggak perlu begini, Man!" protes Danang.
"Iya nih, gue ikhlas Man, kan kita udah pernah bicarain ini sebelumnya."
"Itu dulu karena memang aku tidak punya uang, Ngga. Sekarang ibu gue ninggalin warisan uang begitu banyak jadi sebisa mungkin uang itu aku buat urusan ibu," ungkap Arman.
"Terus masalah ruko?" tanya Angga.
"Masalah ruko, gue memang awalnya setuju dengan Lo. karena uang ibu gue mau buktiin kepada orang yang dulu menghina ibu gue bahwa gue bisa sukses."
"Apa maksud Lo keluarga Bunga?" tanya Danang.
"Iya!" jawab Arman.
"Jadi Lo sudah ambil uang Lo di pak Arip?" tanya Angga.
"Sudah!" jawab Arman.
"Silahkan!" Di sela-sela mereka berbicara tiga gelas kopi dan tiga piring nasi bebek sudah datang.
"Terima kasih," sahut Arman.
Mereka menghentikan pembicaraan mereka dan segera fokus dengan makanan mereka.