Setelah Arip pergi Angga melihat Arman yang masih kelihatan bingung. "Man, Lo kok kelihatan bingung?" tanya Angga.
"Iya, Ngga. bagaimana tidak bingung, selama ini gue tidak tahu tahu kalau Ibu punya rumah di Surabaya. yang gue tahu rumah yang gue tempatin dulu itu di jual karena bapak sakit," jawab Arman.
"Yang lebih nggak menyangka adalah rumah ini, setahuku ini rumah kontrak kok bisa sekarang jadi atas namaku!" ungkap Arman.
"Mungkin ibu Lo emang menyiapkan semuanya untuk masa depan Lo," sahut Angga.
"Ya sudahlah kita urus itu nanti, sekarang kita harus ketemu yang punya ruko kan? Tidak enak jika harus membatalkan janji." Arman segera beranjak dari tempat duduknya dan mengambil tas kecil yang biasa dia gunakan.
***
Selama perjalan Arman kembali merasakan perasaan yang tidak karuan. kesedihan yang mulai berangsur berkurang kini kembali membayangi Arman. selama perjalanan Arman hanya diam dan menatap ke arah jalan raya yang ramai. Danang yang duduk di jok belakang hanya diam.
Tak berselang lama mobil yang di kendarai ketiga pemuda itu berhenti di sebuah parkiran yang cukup luas di depan ruko yang masih terlihat baru selesai pembangunannya.
"Ini lokasinya?" tanya Arman saat merasa mobil yang dia tumpangi berhenti.
"Iya," jawab Angga dengan singkat.
Mereka keluar dari mobil dan segera menemui seorang pria dengan perut buncit yang seumuran dengan ayah Angga.
"Selamat pagi!" sapa Angga kepada pria itu lalu bersalaman dan di ikuti kedua sahabatnya.
"Selamat pagi!" sahut pria itu.
"Mari masuk," ajak pria itu seraya membuka rolling door ruko tersebut.
"Beginilah dalamnya, Mas," ucap pria itu saat memasuki dalam ruko.
Arman mulai melihat-lihat detail ruko itu. baginya sangat menarik karena sudah lengkap dengan dapur, kompor, meja dan kursi untuk pembeli. apalagi saat melihat parkiran sangat luas menjadi nilai plus bagi Arman dan Angga.
"Saya akan diskusikan dengan teman saya dulu pak," ucap Angga
"Baik, saya akan menunggu di ruko sebelah. kebetulan hari ini ada yang mau pindahan juga ke ruko itu." pria itu segera meninggalkan Angga dan Arman untuk berunding. Sedangkan Danang melihat sisi luar dari ruko.
"Man, bagaimana menurut Lo?" tanya Angga kepada Arman.
"Strategis sih. Dekat dengan sekolah dan perkantoran. dan tempatnya nyaman," jawab Arman.
"Kalau Lo setuju segera gue atur pembayarannya."
"Berapa ini?" tanya Arman.
"Sudahlah itu Lo pikirin belakang, nanti kita runding belakangan."
"Eh! Jangan gitu, Ngga. duit Lo buat rumah sakit ibu gue belom gue ganti. Jika menurut Lo harganya bersahabat aturlah pembayaran tiga hari lagi. Setelah gue kekantor pak Arip."
"Ta...."
"Sudahlah, Lo dan bokap Lo sudah banyak membantu gue." Arman memotong ucapan Angga yang ingin menyangkal.
Danang yang melihat perdebatan karena uang memilih keluar karena dia sadar tidak memiliki banyak uang untuk ikut berunding. namun saat Danang menunggu di luar Angga datang menghampirinya untuk mengajaknya bertemu dengan pemilik ruko tadi.
Arman yang masih mengelilingi ruko sambil menunggu Angga dan Danang datang. Tiba-tiba teringat akan ibunya yang meninggalkan begitu banyak uang.
"Bu, Arman akan gunakan uang itu sebaik mungkin. dan akan membuktikan kepada orang yang telah memandang rendah keluarga kita bahwa Arman bisa sukses lebih dari mereka," batin Arman yang penuh tekat.
"Man!" panggil Angga setelah bertemu dengan pemilik ruko.
"Ya!" sahut Arman.
"Sudah sesuai keinginan Lo," ucap Angga.
"Terima kasih, Ngga."
"Oke, santai."
"Oh iya, Lo mau pulang atau ikut ke stand?" tanya Danang.
"Nanti gue nyusul aja ke standnya, kalian duluan aja," jawab Arman.
"Siap," sahut Danang dan mereka bertiga mulai masuk ke dalam mobil.
"Eh Ngga, gue pinjam mobil Lo sebentar ya ntar," kata Arman saat berada mobil telah keluar dari tempat parkir.
"Lo mau kemana?" tanya Angga.
"Ada urusan sebentar, nanti gue ke stand kok," jawab Arman.
"Iya, tapi Lo yakin mau nyetir sendiri?" Angga dan Danang terlihat khawatir dengan Arman.
"Yakin, Lo pikir gue mau bunuh diri!" goda Arman saat melihat kedua sahabatnya khawatir.
"Ya nggak gitu, tapi...." Angga enggan melanjutkan kalimatnya.
"Sudahlah, cuma sebentar kok." Arman meyakinkan kedua sahabatnya tersebut.
"Terserah Lo deh, asal kalau ada apa-apa cepat kabari gue atau Danang," ucap Angga dan mendapatkan dua jempol dari Arman.
Mobil melaju pesat ke pusat kota dengan kecepatan 60/km. dan dua puluh menit kemudian mereka sampai di depan mall. Angga dan Danang turun di depan mall tidak berhenti di parkiran.
"Man, Lo hati-hati ya," ucap Angga sebagai pesan kepada Arman yang mengambil kursi kemudinya.
"Siap, titip stand ya guys," sahut Arman yang terlihat lebih baik dari sebelumnya. namun bukannya sedang, kedua sahabatnya malah menjadi khawatir.
Setelah melihat mobil yang di kendarai Arman meninggalkan area mall Danang dan Angga masuk kedalam mall tersebut.
"Ngga, kira-kira Arman mau kemana ya?" tanya Danang saat berjalan menuju standnya.
"Entahlah," sahut Angga dengan pasrah.
"Jangan-jangan...." belum selesai selesai berbicara sebuah telapak tangan mendarat di bahunya.
"Auuuu...." pekik Danang kesakitan.
"Gila ya Lo, panas bodoh," protes Danang.
"Sudahlah jangan nebak yang tidak-tidak, sekarang kita bantuin dia jualan lagi aja."
"Tapi dia sudah banyak uang, apa masih perlu kerja beginian ya," ucap Danang.
Plaak....
"ANGGA....." teriak Danang karena lagi-lagi sebuah pukulan mendarat di bahu yang sama.
Angga berjalan lebih cepat dan meninggalkan Danang beberapa meter di belakangnya. Danang berjalan sembari memegangi bahunya yang terasa panas karena pukulan dari Angga.
Danang dan Angga memang seperti kucing dan tikus, namun meskipun begitu mereka tidak pernah menaruh dendam satu sama lain. apalagi Angga sangat tidak sombong walaupun dia antara mereka bertiga hanya dia yang bisa di bilang dari keluarga kaya. Berbeda dengan Arman dan Danang.
Setelah sempat main kejar-kejaran tapi saat mulai bekerja mereka berdua sangat serius dan saling kerja sama. Bahkan mereka anak muda yang tidak gengsi. Sudah beberapa hari Angga dan Danang mengambil alih dagangan Arman, Danang mendapatkan ijin dari Agus untuk membantu Angga di stand milik Arman. namun gaji tetap Agus yang membayarnya.
Agus memang terkenal sangat baik hati, tidak heran jika Angga juga sangat baik. hal itu dia turun dari ayahnya dan hasil didikan dari ayahnya. Memang benar jika ada pepatah 'buah jatuh tidak jauh dari pohonnya' itu bisa di lihat dari Angga dan Agus. Danang selalu mendidik Angga untuk saling membantu. karena jika kita membantu seseorang dengan tulus maka akan melancarkan urusan kita kedepannya. Kalimat itu yang selalu menjadi pedoman buat Angga dan Agus tidak pernah lelah mengingatkan anak semata wayangnya tersebut.