Tujuh hari berlalu. selama tujuh hari pula keluarga Bunga datang seakan mencari muka terhadap masyarakat sekitar. namun berbeda dengan Bunga dia menggunakan kesempatan itu untuk bertemu Arman, tapi tidak pernah berhasil.
"Man!" panggil Angga setelah selesai membersihkan bekas acara tujuh harian ibunya Arman.
"Ya!" sahut Arman.
"Nanti gue mau pulang dulu ya," ucap Angga.
"Oh iya, emang kenapa?" tanya Arman.
"Ada barang yang harus gue ambil buat survei ruko besok," jawab Angga.
"Ruko?" Arman mengerutkan keningnya karena bingung dengan apa yang di bicarakan oleh Angga.
"Iya, kita di mall itu tinggal beberapa Minggu saja. kemarin sama ayahku di kasih tahu ruko murah. jadi aku berniat untuk melihatnya besok.," ungkap Angga.
"Kok lo nggak bilang ke gue?" Arman menatap kedua sahabatnya dengan tajam.
"Percayalah Man, kita akan membantu dan berbuat sebaik mungkin untuk lo. dan kita tahu posisi lo saat itu jadi nggak mungkin untuk membicarakan hal itu," sahut Danang.
"T--tapi...." belum selesai Arman berbicara kedua sahabatnya menaruh jari telunjuknya di bibir masing-masing, menandakan Arman harus diam.
"Saat semua sudah terurus, Danang akan gabung dengan kita, Man." mendengar itu Arman yang tadinya hampir marah, menjadi tersenyum sumringah.
"Wah... kita bakal kerja bertiga." Arman yang merasa senang memeluk kedua sahabatnya tersebut. Angga dan Danang yang melihat tingkah Arman ikut bahagia.
***
Keesokan harinya mereka awali dengan ribut karena mandi. ya. Danang dan Angga tidur di rumah Arman semenjak Ida meninggal. dan keributan seperti itu selalu terjadi setiap pagi. Apa lagi Danang dan Angga seperti tikus dan kucing.
Rumah kecil peninggalan orang tua Arman menjadi saksi akan kebersamaan mereka. saat Danang dan Angga terlibat perdebatan panjang tiba-tiba suara ketukan pintu menghentikan mereka.
Tok... tok... tok...
Suara ketukan pintu dan di ikuti suara salam. "Assalamualaikum."
Arman bergegas membuka pintu. karena Angga dan Danang masih belum menggunakan baju.
"Wa'alaikumsalam," sahut Arman saat keluar kamar.
Jegrek....
Pintu terbuka dan dia melihat sosok lelaki berjas hitam berdiri di depan pintu rumahnya.
"Anda siapa?" tanya Arman karena merasa tidak kenal dengan tamunya tersebut.
"Apa benar ini rumah Bu Ida?" tanya pria yang seumuran dengan ayah Angga.
"I-iya," jawab Arman dengan gugup.
"T--tapi ibu saya sudah meninggal," ungkap Arman.
"Iya saya tahu, sebelumnya saya turut berduka atas meninggalnya ibu ida. bolehkan saya masuk?"
Karena gugup Arman hanya mengangguk bahkan lupa mempersilahkan tamunya masuk.
"Oh iya, silahkan masuk." Arman segera mempersilahkan orang tersebut masuk walaupun dia masih bertanya-tanya tentang siapa pria itu.
"Baik, apa benar anda Arman Wijaya?" tanya pria itu seraya membuka map yang dia bawa.
"Iya, benar." Arman mengangguk.
Saat Arman sedang menghadapi pria yang tidak dia kenal, kedua sahabatnya itu datang dan bergabung dengan Arman.
"Lalu ini siapa?" tanya pria itu.
"Oh, mereka sahabat saya," jawab Arman.
"Dia Danang," ucap Arman dengan memperkenalkan Danang dan Danang hanya tersenyum tipis. lalu beralih menoleh ke arah Angga dan mengenalkan Angga kepada pria itu.
"Oh, baik. Sebelumnya perkenalkan saya Arip. saya adalah orang yang di percayakan ibu Ida untuk menjual dan mengubah nama asetnya menjadi nama Mas Arman," ucap pria yang mengaku bernama Arip.
Arman yang mendengar itu menoleh ke arah kedua sahabatnya, Angga dan Danang.
"Sebentar, kayaknya salah orang deh. setahu saya ibu saya nggak memiliki aset begitu banyak sampai harus menyewa pengacara seperti ini." Arman yang tidak percaya menyangkal ucapan Arip.
"Tidak, Mas. Akan saya jelaskan yang sebenarnya."
"Ibu Ida memiliki rumah yang berada di Surabaya dan itu peninggalan dari ibunya atau di sebut nenek anda. dan dari pihak ayah anda memiliki sawah yang juga peninggalan dari orang tua dari ayah anda. karena ayah anda meninggal semua hak itu jatuh kepada ibu anda. namun enam bulan yang lalu sawah dan rumah itu di jual dan sudah laku total 3,5M."
Mendengar nominal itu Arman tercengang dan menoleh ke arah Angga dan Danang. namun mereka pun masih tidak percaya dengan semua itu.
"Lalu, ibu anda juga merubah rumah ini menjadi atas nama anda. dan tidak hanya itu saja. tabungan ibu anda yang berada di bank sebesar 200juta juga di serahkan kepada anda. dia sangat ingin naik haji. namun saat hendak mendaftar beliau jatuh sakit dan memilih membatalkan pendaftarannya," lanjut Arip.
Arman yang tadinya tercengang tak percaya. kini air mata membasahi pipinya karena ibunya pernah berkata hal yang sama.
Ingatan Arman kembali di awal Ida mulai sakit. kalimat yang dia ingat adalah. "Ibu ingin naik haji, tapi ibu sudah begini dari pada membuat susah lebih baik ibu nggak jadi ikut berhaji.
uangnya buat kamu aja."
Karena saat itu Arman masih bekerja dia tidak mengambil pusing akan omongan ibunya. bahkan saat sudah di pecat pun tidak ada niatan menanyakan uang tabungan ibunya.
Tatapan Arman kosong. pipinya di basahi air mata yang tidak ada henti keluar dari matanya.
"Man, Lo nggak apa-apa kan?" tanya Danang seraya mengusap punggung sahabatnya tersebut.
"Enggak...," sahut Arman dengan Isak tangisnya.
"Jadi bagaimana, Mas?" tanya Arip.
"Ya, saya yakin itu ibu saya," jawab Arman.
"Baik kalau begitu kapan bisa ke kantor?" tanya Arip. dan dia menyodorkan sebuah kartu nama. "Ini kartu nama saya."
"Secepatnya akan segera saya urus. tapi untuk hari ini saya harus pergi ke suatu tempat." Arman yang sudah telanjur berjanji dengan Angga dan Danang memilih menunda untuk mengurus itu semua. dan dia butuh sharing dengan kedua sahabatnya itu.
"Baik kalau begitu, saya tunggu kedatangannya." Pria itu segera berdiri dan menyalami ketiga pemuda di hadapannya yang ikut berdiri. dan sekali lagi dia mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya ibunda Arman. "Saya pamit dulu. sekali lagi saya turut berbelasungkawa atas meninggalnya ibunda mas Arman."
Arman mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf untuk ibunya kepada Arip. "Terima kasih, secepatnya saya akan ke kantor anda. dan maafkan ibu saya jika memiliki kesalahan kepada anda. kesalahan yang di sengaja maupun tidak sengaja."
"Beliau orang baik, tidak memiliki salah kepada saya. Saya sudah anggap sebagai kakak saya sendiri," ungkap Arip.
Mereka saling berpelukan dan sesaat kemudian Arip berpamitan. "kalau begitu saya pamit, assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawab tiga pemuda itu secara bersamaan.
"Rejeki nomplok," bisik Danang di sela-sela antara telinga Angga dan Arman. sedangkan Arman dan Angga masih melihat Arip hingga masuk ke dalam mobilnya.
"Berisik lo. bisa diam tidak!" sahut Angga dengan berbisik kepada Danang. mendengar itu Danang segera mundur satu langkah untuk menjauh dari kedua sahabatnya yang masih fokus kepada Arip.