Chereads / The Kingdom Of Zen William / Chapter 16 - 16.Berpulang

Chapter 16 - 16.Berpulang

Sofia terus memalingkan wajahnya, wanita itu enggan menoleh barang sedikit pun pada Thruv yang kini ikut duduk pada rumput setengah basah di sebelah Sofia.

"Apa yang kita inginkan, terkadang memang tidak semua bisa kita dapatkan," gumam Thruv memecah keheningan.

Sofia tersenyum miris, kegiatannya mencabuti rumput secara asal, terhenti begitu saja.

"BenarĀ  tapi poinnya bukan itu Tuan. Ini bukan kesalahan kecil yang masih bisa saya atasi dengan mudah. Kesalahan saya membuat kedua orang tua sayang menderita, kesalahan saya hingga membawa bayi tidak berdosa ini ikut merasakan perih yang saya derita."

Jawaban Sofia menghantam telak perasaan Thruv, ia tahu betul betapa sakitnya menjadi Sofia. Mengurus kedua orang tuanya yang sakit dalam keadaan hamil, belum lagi ia harus bekerja keras untuk mendapatkan uang agar mereka bisa makan dengan baik.

"Saya menyesal, seharusnya saya tidak datang waktu itu. Seharusnya saya bisa menolak permintaan Pangeran Mahkota untuk mempersuntingmu," lirih pria berambut abu-abu itu.

Sofia mengangkat pandangannya lurus ke depan. "Tidak ada gunanya Anda menyesal, hidup saya sudah sangat hancur saat ini. Saya terkejut saat menerima kenyataan bahwa pria yang sangat saya cintai adalah seseorang yang banyak dielukan di negeri ini. Saya wanita tidak tahu diri!"

Thruv menggeleng keras, tanpa sadar tangan pria itu berusaha merengkuh tubuh Sofia. Namun dengan cepat wanita itu menolaknya.

"Tidak, kau tidak bersalah dalam hal ini. Cinta tidak pernah salah menemukan tempatnya berlabuh. Saya yang bersalah, kau dan Zen sama sekali tidak bersalah. Kalian saling mencintai, hanya saja ada sesuatu yang menghalangi kalian untuk bersatu."

Sofia enggan lagi menyahuti, ia lelah dan ingin beristirahat. Mungkin, memejamkan mata sejenak akan bagus untuk hatinya.

Wanita itu bersandar pada pohon di belakang tubuhnya, matanya yang terasa panas ia pejamkan sejenak. "Lebih baik Anda kembali ke tempat asalmu Tuan. Sebentar lagi saya akan pulang."

"Tidak, biarkan saya menemanimu. Saya tidak akan bisa melepaskanmu sendirian di alam terbuka seperti ini," jawab Thruv.

Sofia tersenyum miris, alam terbuka tidak ada apa-apanya bagi Sofia. Ia sudah mengalami berbagai hal pahit selama ini.

"Pergilah, saya ingin sendirian. Say tidak mau mendapatkan gangguan dari siapa pun termasuk Anda."

Peringatan Sofia masih tidak Thruv indahkan, pria itu tiba-tiba saja menggenggam kedua tangan Sofia hingga wanita itu refleks membuka matanya.

"Biarkan saya menikahimu, saya berjanji akan merawatmu dan bayi ini dengan baik."

Sofia tercengang saat mendengar tawaran Thruv. Wanita itu menatap tak percaya ke arah pria itu.

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi Thruv, pria itu sudah menduga akan reaksi buruk yang akan ia dapatkan dari Sofia.

"Anda ingin bermain-main dengan hati saya? Tidak cukupkah adik Anda saja yang melukai perasaan saya? Apa saya seremeh itu di mata Anda?" tanya Sofia dengan emosi yang menggebu.

Harga diri wanita itu begitu terluka, ia merasa perasaannya dijadikan mainan oleh Thruv dan juga Zen William.

"Apakah perasaan dan hati saya begitu tidak ada harganya, hingga mulut Anda dengan mudah mengucapkan kalimat seperti itu! Anda pikir, Anda siapa?" teriak Sofia disisa tenaga yang ia punya.

"Maafkan saya Sofia, saya hanya ingin membantu. Saya ingin mengurangi segala penderitaanmu," jelas Thruv. Ia tidak ingin mengatakan alasan utama mengapa dirinya menawarkan pernikahan pada Sofia.

"Terima kasih untuk kemurahan hati Anda, Tuan. Tetapi saya sama sekali tidak tertarik. Permisi!" Sofia segera berbalik badan dan pergi begitu saja.

Wanita itu sudah lupa dengan rasa lelahnya. Ia hanya ingin segera sampai di rumah dan memeluk orang tuanya, karena hanya itu yang Sofia butuh untuk saat ini.

Genggaman tangannya sedikit mengendur, sakit hatinya bertambah parah saat ia mengingat koin emas yang ia genggam. Di dalamnya ada belas kasih seorang Pangeran Mahkota untuk rakyat biasa seperti Sofia.

"Tempatku begitu rendah, namun apa pantas jika mereka menginjak-injak saya?"

Di sepanjang perjalanan wanita itu terus menangis hingga kepalanya terasa pening. "Kau kuat kan, Sayang?" tanya Sofia pada sang bayi disela isak tangisnya.

"Kenapa kau tega sekali pada saya? Saya sangat mencintaimu, setiap waktu saya mengharapkanmu kembali. Saya tidak tahu jika di sana kau baik-baik saja dan sedang berbahagia dengan pernikahanmu!"

Setelah berteriak keras, wanita itu terdiam sejenak. Sofia menetralkan raut wajah dan mengusap air matanya. Ia sudah dekat dengan rumah tempat ayahnya dirawat.

Dengan pelan wanita itu melewati bukit dan tibalah pada tempatnya. "Tabib, bagaimana keadaan ayah saya?" tanya Sofia.

Pria yang tengah membelah kayu itu sedikit terkejut karena suara Sofia tiba-tiba menyapa gendang telinganya.

"Ayahmu?" wajah pria tua itu tiba-tiba saja menjadi murung. "Pulanglah, ayahmu menunggu di rumah."

Sofia mengernyit bingung, "Bukannya ayah harus di rawat?"

"Dia baru saja pulang, mungkin baru satu jam yang lalu."

Sofia bergegas pergi, ia takut terjadi sesuatu pada sang ayah. Harusnya pria itu masih berada di rumah tabib untuk melakukan perawatan.

Setelah berjalan sedikit jauh, ia sampai di kediamannya. Sofia menatap keadaan rumah yang tampak sedikit ramai.

"Ibu, ada apa Ibu?" Pertanyaan Sofia tak memerlukan jawaban lagi begitu ia masuk dan melihat tubuh sang ayah sudah siap untuk dimakamkan.

Wajah keriput dan mata satu yang kemarin masih ia lihat terbuka, kini telah tertutup selamanya. Ayah Sofia memilih pulang ke rumah Sang Pencipta.

"Ayah...," lirih Sofia. Wanita itu berlutut tepat di samping jasad sang ayah, mengusap wajah keriputnya.

Segala sesal menghantam telak hati Sofia, hanya ada kata andai saja ia tidak terjebak dengan apa yang namanya cinta. Andai saja ia tidak bertemu dengan Zen William, andai saja ia tidak sebodoh ini. Ya, andai saja.

"Ayah, Sofia pulang. Sofia butuh pelukan, tapi mengapa tubuh ayah dingin sekali. Sebentar ya, Sofia ambilkan selimut."

Dengan susah patah Sofia beranjak, ia menarik selimut lusuh yang tak begitu tebal untuk ia berikan kepada tubuh dingin sang ayah.

"Dulu, ayah selalu melindungi Sofia dari rasa kedinginan. Sekarang giliran Sofia, maafkan Sofia ayah."

Perih sekali hatinya, wajah wanita itu semakin pucat membuat orang-orang yang datang tampak sangat iba melihatnya.

"Sofia, duduklah dengan baik. Bayimu bisa saja merasa kesakitan dengan posisimu yang seperti ini," ucap salah satu tetangganya.

Sofia menengok sebentar lalu berdiri, namun belum sempat ia melangkahkan kaki, tubuhnya terlebih dahulu tak sadarkan diri. Sofia juga ingin beristirahat dari peliknya semesta yang terus menghancurkannya secara bertubi.

Segala rasa sesal terus Sofia rasakan, semua berawal dari perasaan cinta yang terasa semanis madu. Sofia tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun sebelumnya.

Gadis cantik yang dulunya ceria itu terlena saat mendapatkan tawaran cinta dari seorang pria yang ia temukan di tengah hutan tengah terluka.

Ia yang membantu sang pria sembuh, namun justru luka itu berbalik menyerangnya. Sofia lelah, ia ingin tidur sebentar saja.