Di atas tanah yang masih basah Sofia terduduk. Tatapan matanya kosong, ia kehilangan lelaki tangguh yang menjadi penopangnya selama ini.
"Ayah, apa sudah selelah ini hingga ayah memilih untuk berpulang? Sofia masih ingin merawat ayah, Sofia sakit. Anakmu ini tidak sedang baik-baik saja, Sofia terluka!"
Raung tangis pilu terus terdengar jika saja ada orang yang melintas di sekitarnya. Namun sayang di sana sudah terlalu sepi karena hari mulai petang, langit sudah mulai menampakkan warna oranye gelap.
Sofia tiba-tiba terduduk, wanita itu segera berdiri dan berjalan tergesa untuk pulang. Ia melupakan sang ibu, ia terlalu bersedih hingga lupa jika masih memiliki seorang ibu yang sedang sakit.
Sekarang ia mulai berlari, ia juga lupa jika ada nyawa yang harus ia jaga di dalam perutnya.
"Ibu tunggu Sofia, Sofia takut sendirian. Jangan tinggalkan Sofia, Sofia tidak sekuat itu!"
Wanita itu segera membuka pintu gubuk kediamannya. Dengan tergesa ia masuk dan mencari keberadaan sang ibu.
Brak!
Sofia memejamkan matanya sejenak, ia merasa lega karena sang ibu tengah tertidur di temani oleh salah satu tetangganya.
"Kakak, terima kasih sudah menemani ibu saya."
Setelah Sofia datang, wanita paruh baya itu pergi karena harus mengurus anaknya yang ia tinggalkan di rumah.
Sofia duduk tepat di samping raga sang ibu, mengusap pelan jejak air mata yang keluar dari netra malaikatnya.
Wanita tua itu membuka matanya perlahan, ia langsung menangis pilu saat melihat wajah anaknya yang pertama kali ia saksikan saat membuka mata.
"Sofia, anakku. Apa kau baik-baik saja? Bayimu baik-baik saja?" tanya sang ibu.
Sofia tahu jika ibunya tengah memendam segala perasaan perih di hatinya. Wanita tua itu hanya ingin terlihat tegar di depan anak semata wayangnya.
"Sofia baik, Bu. Ibu, maafkan Sofia." Ia sudah tidak bisa langi menyembunyikan segala sakit yang selama ini ia tahan setengah mati. Sofia sudah tidak kuat lagi dengan semua yang ia rasakan di dalam hatinya.
"Sofia sudah tahu? Sofia bertemu dengan dia?" tanya sang ibu lirih. Air mata wanita itu kembali mengalir.
"Kenapa Ibu tidak mengatakannya padaku? Ibu sudah tahu ini sejak lama bukan?" tanya Sofia.
Wanita tua itu mengangguk pelan, "Maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak tahu harus memberitahumu dari mana. Ibu sakit saat melihatmu terus menunggu kehadirannya."
"Ibu, maafkan Sofia. Sofia selalu menjadi beban untuk ayah dan ibu sekarang kita hanya tinggal berdua. Ayah memilih pulang, Bu!" isak Sofia.
Sang ibu hanya bisa terpejam saat merasakan pelukan erat dari buah hatinya. Ia tidak menyangka jika kehidupan putrinya akan seburuk ini.
"Sekarang kita hanya berdua, namun sebentar lagi anakmu akan lahir. Kita akan bersama-sama lagi, kita bertiga."
Sofia terdiam, ia melepaskan pelukannya pada sang ibu. Wanita itu memilih untuk keluar rumah.
Ditatapnya langit mendung yang sudah sangat gelap. Baru tadi pagi ia bertemu dengan pria yang selama ini ia rindukan kehadirannya.
"Kenapa kau tega sekali pada saya? Apa orang miskin seperti saya memang tidak berharga sedikit pun untuk Anda? Apakah perasaan saya sebuah lelucon bagi Anda? Anda kejam sekali, Anda menghancurkan hidup saya!"
Sofia mencengkeram birai pucatnya dengan telapak tangan. Ia tidak ingin tangisnya di dengar oleh sang ibu.
"Kenapa harus saya? Sekarang saya harus menyesali begitu dalam. Pertemuan yang sangat saya sesali seumur hidup saya adalah hari di mana kita pertama kali bertemu. Hari di mana saya pertama kali mendengar suaramu."
Sofia mengusap perutnya yang sudah terlihat sangat besar, "Bertahanlah. Tolong jangan membenci saya di masa yang akan datang. Maafkan saya karena membawamu turut serta merasakan kekejaman dunia ini."
***
Sudah tiga hari semenjak kepergian sang ayah. Sofia semakin menyibukkan diri agar bisa melupakan segala sakit yang ia derita.
Setelah selesai mengurus ibunya, Sofia akan berangkat bekerja dan sibuk mencari kayu bakar yang bahkan hanya terpakai sedikit setiap harinya. Ia benar-benar tidak ingin mengistirahatkan tubuhnya kecuali langit sudah mulai petang.
Jika ia berdiam diri, ingatannya pada ayah dan juga suaminya semakin masuk menyapa dirinya. Ia takut merasakan sakit yang lebih dalam dari ini.
Hari sudah mulai terasa panas, Sofia harus pulang untuk membantu sang ibu makan. Keadaan ibunya kian memburuk, wanita itu pasti juga tengah merasakan pilu di dalam hatinya.
"Ibu, makan dulu ya? Sofia bantu."
Wanita itu membantu ibunya duduk bersandar, tubuhnya terasa dingin dan kian memucat. "Ibu, jangan memikirkan apa pun terlalu dalam. Ibu mengkhawatirkan Sofia? Sofia baik-baik saja."
Wanita tua itu mengangguk pelan, ia tahu betul apa yang dirasakan oleh anaknya. Setiap malam Sofia menangis, ia tahu. Anaknya itu mengira jika dirinya sudah terlelap, namun nyatanya ia hanya memejamkan mata saja.
"Ibu pasti sembuh, ibu pasti akan baik-baik saja. Jangan berpikir untuk ikut meninggalkan Sofia, Sofia tidak akan sanggup lagi."
"Kau juga ingin berjumpa dengan nenekmu, kan? Doakan nenek cepat sembuh ya, agar beliau bisa membopongmu saat kau lahir nanti," ucap Sofia sembari mengusap perut besarnya.
Dengan telaten Sofia menyuapi ibunya, menatapnya lekat seakan mereka tidak akan bersua dalam waktu yang sangat lama.
Di hadapan sang ibu, Sofia harus menekan seluruh perasaannya. Ia takut ibunya tahu betapa hancur perasaan Sofia.
Beribu maaf selalu Sofia ucapkan dalam hati, semua petaka ini terjadi karena dirinya. Kini Sofia merasa bahwa dirinya adalah sang pembawa kesialan. Harusnya ia tidak pernah dilahirkan ke dunia ini.
"Sudah selesai, saya akan mencuci ini dulu." Sofia beranjak pergi membawa alat makan dan juga kain kotor bekas pakai ibunya.
Wanita itu sibuk mencuci alas makan, setelah itu disusul oleh kain dan beberapa lebar pakaian.
Ia hanya perlu menyibukkan diri agar pikiran buruk enggan untuk mampir ke dalam hatinya ia berusaha sekuat tenaga untuk menekan perasaannya.
"Saya kalah, saya tidak sekuat itu ibu!" gumam Sofia bersamaan dengan derasnya air mata yang mengalir dari netra madunya.
"Sakitnya benar-benar sangat sakit, saya tidak menyangka ada rasa sakit yang seperti ini!"
Sofia membekap mulut agar isak tangisnya tak terdengar oleh sang ibu. Mau sekuat apa pun ia menahan, mau sekuat apa pun ia mencoba untuk membohongi diri, nyatanya perasaan sakitnya yang akan menguasai.
"Sembuhlah ibu, setelah itu mari kita tinggalkan tempat ini sejauh mungkin. Kita mulai kehidupan baru di tempat yang tak banyak orang tahu. Sudahi kesakitan yang kita alami."
Sofia selalu bermimpi untuk memutar waktu kembali. Ia ingin menghilangkan bagian di mana saat ia mendengar suara pria yang meraung kesakitan dan meminta pertolongan.
Hanya itu bagian yang ingin Sofia hapus dari masa lalunya.