Chereads / The Kingdom Of Zen William / Chapter 15 - 15.Titik Temu Semu

Chapter 15 - 15.Titik Temu Semu

Tubuh Sofia lemas, wanita itu menunduk setelah puas menatap wajah seseorang yang selama ini ia cari dan rindukan.

Bayinya di dalam perut seakan tahu jika ibunya kini tengah menderita. Ia menendang ribut hingga membuat perutnya terasa ngilu.

"Kau ikut merasakan kesakitanku, atau ingin bertemu dengan ayahmu, hmm?" tanya Sofia seraya mengusap perut buncitnya.

Hal itu tidak lepas dari pandangan Zeno, pria itu mengeraskan rahangnya saat melihat sudah sebesar apa perut Sofia.

Kini Zeno memilih untuk memalingkan wajahnya, ia harus bisa menjaga diri karena berada di tempat umum.

Sebelum tatapannya pada Sofia terputus, pria itu masih sempat melihat wanitanya menunduk dalam, berbalik dan melangkah pergi.

Tidak ada yang tahu apa yang sedang Zen William pikirkan. Yang orang-orang tahu, Pangeran Mahkota sedang berbahagia hari ini.

Dalam genggaman erat tangan Sofia, masih ada kantung berisi koin emas yang ia dapatkan dari sedekah pernikahan sang Pangeran.

"ini sedekah yang saya dapatkan dari seseorang yang saya tunggu-tunggu kedatangannya selama ini," batin Sofia.

Wanita itu berjalan pelan, menghindar dari kerumunan. Sesak di dadanya tidak dapat ia tahan, napasnya memburu sulit untuk ia kontrol.

"Sofia! Hey, kau baik-baik saja?" teriak Syehrazat sembari menyusul langkah kaki Sofia.

Sofia hanya bisa diam, ia tidak mampu membuka mulut untuk sekedar memberitahu sahabatnya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Ia takut saat membuka mulut,

Ia takut saat membuka mulut, air matanya pasti akan berjatuhan tak bisa ia tahan lagi.

"Sofia," panggil Syehrazat kembali. Ia tahu jika sahabatnya tidak sedang baik-baik saja.

"Pelan-pelan saja jalannya ya? Kau ingat, masih ada bayimu di sini. Apa dia menendang sekarang?"

Sofia tidak lagi kuat, ia butuh sandaran. Dengan gerakan pelan wanita itu terhuyung dan memeluk Syehrazat erat. Tanpa ia sadar telah mencengkeram bahu sahabatnya dengan keras.

"Lampiaskan kesakitanmu, saya di sini akan menemanimu. Maaf, andai saja saya tidak memaksamu datang kemari, pasti hatimu masih akan baik-baik saja."

Sofia menggeleng lemah, air matanya deras hingga membasahi pakaian Syehrazat. "Bukan salahmu, dari awal saya memang tidak pernah baik-baik saja. Saya hanya sedang berpura-pura, saya kesakitan!"

Tubuh Sofia bergetar, tangisannya terdengar pilu. Siapa pun yang menyaksikannya pasti akan merasa terharu.

"Saya tidak menyangka jika seseorang yang saya cintai adalah seorang pria yang kastanya berada sangat jauh dari saya. Seharusnya saya tidak berhak sekedar menyentuh kulit tangannya. Saya bodoh sekali!" raung Sofia.

Ucap dan tangisan Sofia semakin tak terkontrol. Wanita itu sepertinya lupa di mana tempat mereka memijakkan kaki saat ini.

"Kenapa saya bodoh sekali, kenapa saya tidak pernah curiga terhadapnya. Seharusnya saya sudah bisa mengira saat pertama kali kami berjumpa, pakaiannya terlihat bukan seperti orang biasa. Saya bodoh sekali!"

Syehrazat ikut menangis, hatinya juga terasa sakit. Sofia yang ia kenal ceria walau pun pendiam, kini tengah menangis pilu di pelukannya.

"Sst, kau tidak bodoh, sama sekali tidak. Mereka memang manusia berhati kotor, mereka terlalu buta akan kasta hingga lupa dengan rasa kemanusiaan. Biarkan saja dia mendapatkan balasannya kelak," ucap Syehrazat seraya mengusap rambut Sofia yang mulai berantakan.

"Saya akan segera pulang, ayah dan ibu pasti khawatirkan keadaan saya. Kau kembali saja ke istana, biarkan saya pulang."

Syehrazat menggeleng ribet, tentu ia tidak akan setuju dengan permintaan konyol sahabatnya itu. "Tidak Sofia, saya akan menemanimu. Kau sedang hamil besar seperti ini, saya takut sesuatu yang buruk terjadi padamu."

Sofia menepuk bahu Syehrazat pelan, "Saya berjanji akan baik-baik saja. Pergilah, saya mohon. Jangan biarkan saya merasa jika kehadiran saya menyusahkan semua orang."

Syehrazat terdiam, ingin ia menolak namun tidak bisa. Namun jika ia setuju, ia merasa tidak tega.

"Kau berjanji akan baik-baik saja?" tanya Syehrazat mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Saya berjanji akan pulang dengan selamat, kita akan berjumpa kembali saat kau mendapatkan libur dari pekerjaanmu." Sofia mengulurkan jari kelingking untuk ia tautkan dengan milik Syehrazat.

Setelah berhasil meyakinkan sang sahabat, kini Sofia berbalik dan berjalan secara perlahan. Jalannya beluk terlalu jauh, namun wanita itu kembali berbalik badan. "Saya janji, kita akan bertemu kembali. Jaga kesehatanmu."

Itulah janji Sofia, yang entah mengapa membuat Syehrazat gamang. Ia merasa kata-kata Sofia terdengar seperti sebuah kalimat perpisahan.

"Saya akan menagih janjimu! Awas saja jika kau ingkar!" teriak Syehrazat yang dibalas lambaian tangan oleh Sofia.

Kedua sahabat itu kini berpisah. Syehrazat berbalik badan menuju ke arah istana, sedangkan Sofia berjalan ke arah jalan pulang.

***

Genggaman tangan Sofia pada kantung koin emas itu terlalu erat. Tidak akan ia biarkan sedekah dari Zeno sia-sia.

Ia sudah kehilangan cintanya, dan Sofia tak ingin kehilangan yang lainnya.

Pandangan wanita itu terus mengabur karena kabut air mata. Sesekali tersandung dan hampir terjerembap jika saja ia tidak refleks berpegangan pada kayu di sekitarnya.

"Tunggu Sofia, ayah," lirih wanita itu di sela isak tangisnya.

"Sofia tidak tahu jika semesta sekejam ini pada anakmu. Apa ayah dan ibu tahu tentang ini? Apa kalian sakit karena ini?" Sofia terduduk di atas rumput liar, pikirannya melayang tidak karuan.

"Apakah ini berarti jika Sofia yang membuat kalian seperti ini? Sofia yang membuat kalian menderita, ampuni Sofia ayah, ibu!"

Tangisan Sofia terlampau keras, ia ingin menumpahkan semuanya di sini. Saat ia pulang nanti, tidak akan ia biarkan orang tuanya tahu betapa pedih hatinya saat ini.

"Aarhh!" seru Sofia terkejut saat bayi di dalam perutnya menendang keras. Mungkin ia merasakan betapa emosionalnya sang ibu.

"Maafkan saya, maaf karena kau harus lahir dari wanita bodoh sepertiku!"

Tangis dan rintihan Sofia tidak lepas dari pandangan seorang pria yang menatapnya nanar dari kejauhan.

Jika saya pria itu tidak menutup kepalanya menggunakan kain, sudah pasti dari kejauhan rambut abu-abunya akan tampak mencolok dan mudah dikenali.

"Saya ikut andil dalam penderitaan yang kau alami saat ini. Dan bodohnya lagi, perasaan tidak tahu diri ini datang. Saya berharap kau mau menopangkan hidupmu pada saya," gumam pria itu.

Tangan kekarnya mencengkeram erat pedang yang ia bawa di tangannya. Hatinya risau dan turut kesakitan saat melihat betapa tersiksa nya tangisan Sofia saat ini.

Harusnya ia datang menawarkan sebuah pelukan hangat yang mungkin bisa menenangkan hati wanita itu. Wajah pucat Sofia membuatnya miris, di matanya hanya ada sorot kecewa yang teramat dalam.

"Saya tidak bisa diam saja, saya akan menawarkan diri untuk menjadi penopangmu. Saya tidak peduli kau ingin berpikir apa tentang saya. Saya mencintaimu Sofia, saya menginginkanmu. Saya bisa menggantikan Zen untukmu."