"Emangnya Om mau ngapain?" tanya Peyvitta dengan begitu polos sambil menatap Santosa dengan tatapan yang begitu serius.
Benar-benar jauh berbeda, di mana Peyvitta berani menatap Santosa dengan tatapan yang enteng seperti ini, padahal kalau sedang bersama dengan Bima, dia merasa begitu canggung kalau dirinya harus menatap Bima.
Kalau pun nantinya Peyvitta sampai bisa menatap Bima, hal itu Peyvitta lakukan dengan penuh keterpaksaan dengan sebuah perasaan bercampur aduk yang dia rasakan dan berusaha untuk dia tahan.
Memang menatap Bima sering membuat suasana hatinya menjadi berantakan. Entah sebab apa, tapi memang kalau dia sedang menatap Bima, ada sebuah getaran yang cukup besar, dibandingkan dengan dirinya yang bersama dengan Santosa.
"Gak ada," jawab Santosa sambil mengubah pandangannya yang kembali menatap lurus ke depan.
Peyvitta dengan begitu serius menatap sebagian wajah Santosa, memikirkan kira-kira apa yang bisa dia lakukan untuk membuat hidupnya baik-baik saja dan tidak sampai jatuh ke dalam kesesatan yang nantinya hanya akan membuatnya terjebak.
Memikirkan sebuah kegilaan yang bisa saja Santosa lakukan pada dirinya, hanya semakin membuat pikirannya melayang tidak karuan dan membuat dirinya semakin kebingungan serta kesulitan untuk berpikir.
*****
"Om," panggil Peyvitta yang tak lama kemudian Santosa melirik ke arah di mana Peyvitta berada. "Aku pengen buang air kecil. Bisa berhenti gak?" tanya Peyvitta.
"Nanti saja di Apartemen, sebentar lagi sampai."
Kedua bola mata Peyvitta sontak membelalak. "Tapi Om, saya sudah kebelet!" ketus Peyvitta yang penuh dengan kekesalan.
Terasa begitu menyebalkan rasanya kalau dia yang sudah ingin membuang air kecil, tapi malah harus disuruh menahannya sampai ke Apartemen.
"Ya sudah nanti di depan," ujar Santosa yang tidak ingin berdebat lebih lama bersama dengan Peyvitta, lagi pula hanya mengizinkan Peyvitta untuk buang aing kecil, apa salahnya?
Mendengar keputusan Santosa membuat Peyvitta merasa lega, karena artinya dia tidak perlu menahan rasa ingin buang airnya sampai ke Apartemen Santosa. "Iya."
"Berhenti di WC umum, dia ingin buang air." Santosa akhirnya memberi tahu hal ini pada orang yang sekarang tengah melajukan mobilnya.
"Baik Pak," jawab orang yang sekarang tengah mengemudikan mobil menggunakan nada bicara yang begitu sopan.
Peyvitta turun dengan ekspresi yang terlihat sudah begitu tidak sabar untuk mengeluarkan beban tersebut. Peyvitta langsung masuk ke Toilet yang kosong, mengedarkan pandangannya sebelum akhirnya dia menutup pintu toilet.
Bukannya mengeluarkan beban tersebut, tapi Peyvitta malah menghidupkan keran dan membiarkan air mengalir dengan cukup deras. Peyvitta membuka handphone-nya dan kemudian menghubungi Pelvetta.
"Hallo, ada apa? Gak ada sesuatu yang terjadi sama lo kan?"
Pertanyaan yang terucap dengan nada yang panik keluar dari mulut Pelvetta, memang sekarang ia cukup khawatir dengan keadaan kembarannya.
"Gue sekarang lagi di Toilet, gue harus ngapain sekarang?" Peyvitta seolah kebingungan, padahal biasanya dia bisa dengan mudah mengambil tindakan.
"Toilet apa? Toilet umum atau Toilet Apartemennya?" Pelvetta sedikit bingung saat mendengar bhawa sekarang Peyvitta tengah di Toilet.
"Umum," jawab Peyvitta datar.
"Ya terserah mau lo apa, kalau lo mau ikut sama dia ya balik lagi ke mobil dan ikut dengan di—
"Gak! Gue gak mau ikut dia ke Apartemen." Peyvitta langsung memotong kalimat yang sudah Pelvetta ucapkan.
"Kalau gitu lo manfaatkan kesempatan ini untuk kabur," ujar Pelvetta dengan menggunakan nada yang begitu enteng.
"Emang bisa ya gue kabur dari sini?" Dengan begitu polos Peyvitta menanyakan hal ini pada Pelvetta.
Malam ini benar-benar otak Peyvitta tidak berfungsi dengan baik, sepertinya karena dia benar-benar merasakan yang namanya kesal dan juga benci pada Santosa.
Peyvitta juga kurang suka jalan bersama dengan Santosa, terlebih selalu ada orang yang mengikuti dirinya yang mana mereka adalah bodyguard Santosa.
Saat jalan bersama dengan Santosa dirinya juga tidak nyaman, karena banyak pasang mata yang menatap dirinya dengan pandangan yang menurutnya tidak bersahabat.
Mungkin banyak yang menjadikan Peyvitta pusat perhatian, karena biasa lah di zaman sekarang banyak gadis yang memilih bersama dengan om-om untuk hartanya.
Banyak anak gadis yang bersama dengan sugar daddy.
Kurang lebih mereka mempunyai pemikiran yang seperti itu. Yang salah dalam masalah ini bukan mereka yang memperhatikan Peyvitta, tapi memang posisinya seperti ini.
"Kenapa gue mendadak punya kembaran yang bego kayak gini sih?" tanya Pelvetta dengan begitu kesal.
Bisa-bisanya kembaran dirinya yang biasa cerdas dan bisa dengan mudah mengambil sebuah keputusan atau jalan keluar, malah menjadi bego seperti ini.
Siapa yang tidak heran dengan semua ini? Cukup masuk akal kalau Pelvetta merasa kebingungan dengan sikap kembarannya yang sedari tadi membuat dirinya gereget sendiri.
"Pikiran gue udah traveling pas lo mengatakan kalau gue bakalan jadi Mamah muda dari Duda!"
Peyvitta masih terngiang-ngiang dengan kalimat Pelvetta yang membahas kalau dia terus bersama dengan Santosa dan mengikuti kemauan Santosa dirinya akan menjadi Mamah Muda.
Dengan begitu lepas Pelvetta tertawa, dia mendadak merasa begitu puas. Sebelumnya dia tidak pernah berpikir kalau ucapannya akan begitu berpengaruh untuk Peyvitta.
"Tapi ucapan gue gak ada salahnya lho, bener aja. Lo bisa mendadak menjadi Mamah muda dan punya anak dari seorang Duda." Lagi-lagi Pelvetta tertawa dengan lepas di ujung kalimatnya.
"Diem lo! Mending lo sekarang bantuin bagaimana agar gue bisa kabur? Mikir lo!"