Delvin masuk ke dalam rumahnya, dengan perasaan yang berdebar kencang. Ia begitu takut jika maminya itu tahu akan kebohongan kali ini, tapi sebentar, memang apa yang dilakukan olehnya? Hingga ketakutan seperti ini.
"Ayolah, Delvin, bukankah Ilona adalah kekasih kamu? Lantas, kenapa begitu ketakutan untuk menghadapi kenyataan di depan Mami ini?" tanya Delvin dalam benaknya sendiri.
Melangkah masuk lebih dalam ke rumahnya dengan mencoba tenang. Sesekali mengatur napas dan membuangnya perlahan, kenapa tubuhnya terasa begitu tegang seperti ini sih? Menyebalkan sekali.
"Assalamualaikum, Mami, Papi!" teriak Delvin dengan senyum yang terpancar pada wajahnya.
Delvin hendak melangkahkan kakinya untuk menaiki tangga, tetapi sebuah suara menginterupsi pergerakannya dari belakang.
"Habis dari mana kamu? Baru pulang jam segini!" Nikita menatap Delvin tajam.
Delvin kini membalikkan badannya dan mengurungkan langkah kakinya itu. Bibirnya berusaha untuk tersenyum, tetapi susah sekali karena merasakan aurah tidak mengenakkan yang diberikan Nikita pada dirinya saat ini.
"M--mami? Delvin kira siapa tadi, buat kaget saja," ucap Delvin seraya terkekeh pelan. Memilih untuk tidak menjawab pertanyaan dari Nikita, karena merasa tidak perlu sama sekali.
Lagipula, bukankah dirinya itu sudah dewasa? Pastinya bisa membedakan mana yang baik dan buruk, bukan?
Nikita menatap Delvin sangat dingin. Aurah tidak sukanya terpancar jelas, karena ia mengetahui ke mana perginya sang anak sehabis pulang kerja tadi.
"Mami tidak suka kebohongan, kamu tahu itu, bukan?" tanya Nikita pada Delvin dengan tatapan mautnya itu.
Delvin menunduk dan mengepalkan tangannya yang berada di saku celana saat ini. Ia tahu kini, ternyata sepintar apa pun untuk bisa lolos dari Nikita agar tidak ketahuan, ternyata maminya itu lebih licik dari yang dikira.
"Gini, Mami ... Delvin tahu itu, dan tadi memang mengantar pulang Ilona." Delvin kini berbicara jukur pada Nikita yang sekarang lebih marah lagi dengan pernyataannya.
Mau seberapa baiknya Ilona, orang yang tidak akan suka tetap kukuh pada pendiriannya. Begitupun yang dilakukan oleh Nikita sekarang ini, tidak menyukainya sekalipun dipaksa tetap tidak akan bisa.
Nikita berjalan dengan anggun untuk berdiri di hadapan Delvin. "Cepat putuskan hubungan kamu dengan dia, atau ...."
"Atau apa Mami?"
"Atau kamu akan menanggung sendiri akibatnya." Selesai berbicara seperti itu, Nikita berjalan menjauh dari hadapan Delvin.
Sebuah ultimatum yang kini harus terlontar dari bibirnya. Nikita tidak lagi perduli dengan apa yang ada di pikiran Delvin saat ini, yang jelas ini adalah jalan terbaik untuk anaknya.
Bukankah, setiap orangtua selalu menuntut kebaikan seorang anaknya? Begitu pula yang dilakukan oleh dirinya, menjodohkan dengan seseorang yang sudah lama dikenalnya baik juga berada dari kalangan keluarga yang sudah tahu jelas, membuat Nikita tidak ragu mengambil keputusan sepihak.
Delvin diam tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh maminya barusan. "Aku bahkan sangat mencintai dia, Mi. Bagaimana bisa melepaskannya begitu saja?"
"Tidak, aku tidak akan melepaskannya ... apa pun yang terjadi, aku tetap akan bertahan, demi rasa cinta ini pada Ilona."
Delvin bertekad untuk menjadi orang yang egois kali ini. Apa pun yang sudah menjadi miliknya, maka itu tidak akan dilepaskannya sama sekali.
Meskipun, kini bukan lagi jalannya halus, melainkan banyak sekali hambatan dan tidak begitu mudah. Bukankah seperti itu ketika kita ingin mendapatkan cinta yang sejati? Penuh dengan ujian.
Mengeluarkan ponselnya dan menatap layar kunci yang dipasang foto kekasihnya yang tersenyum ceria itu. Tanpa sadar, Delvin pun ikut menarik bibirnya dan itu membuat semangat baru dalam dirinya.
"Aku akan tetap mencintai kamu, Ilo. Tidak akan ada yang bisa memisahkan kita, sungguh." Delvin melangkahkan kakinya untuk menapaki anak tangga yang ada di hadapannya dengan semangat baru, yaitu memperjuangkan cintanya. "Ternyata tidak semudah apa yang dibayangkan. Awalnya aku mengira semuanya baik-baik saja dan tidak ada ujian, tapi ternyata bukan hidup namanya kalau seperti itu."
Ilona sendiri begitu manja dengan Kenzi, apa pun permintaan yang keluar dari mulutnya lekas dipenuhi agar tidak merecoki kegiatan kakaknya itu.
"Kak, Ilo makan ini enak banget tau, beneran gak mau nih?" Ilona menawarkan seblak pedas pada Kenzi yang menggeleng.
Kenzi tidak begitu menyukai makanan yang berbumbu pedas. Menurutnya, hanya menyusahkan diri sendiri saja, nanti kalau sakit perut atau sembelit, bisa berabe.
"Kamu habiskan makanan itu sendiri sajja, Dek. Kakak gak menyukainya," tolak Kenzi dengan tatapan yang lurus pada layar laptopnya.
"Payah! Masa begini saja tidak mau makannya, aneh sekali padahal ini sangat enak dan sayang sekali jika disia-siakan seperti itu," oceh Ilona dengan tangan yang mulai meenyeruput kuah dari seblak pedas miliknya itu.
Kenzi hanya terkekeh pelan. "Bodo amat ya kalau Kakak dibilang payah juga, terserah. Lagian muka kamu udah satu dua loh sama demit, sama-sama merah tinggal bantengnya saja yang belum keluar," ledek Kenzi seraya menjulurkan lidahnya.
"Mana mungkin demit suka makan pedas gini, Kak. Plis deh, jangan ngaco." Ilona tida percaya dengan apa yang dikatakan oelh Kenzi barusan. "Oh, iya. Apa Kakak serius mau melihat banteng dalam diri aku?"
"Kamu ini, Dek. Mana ada kamu punya banteng, dikira kerbau kali," sahut Kenzi dengan fokusnya yabg masih berada di laptopnya.
"Huaa! Kak Kenzo, adik Kakak nakal banget tuh sama Ilo!" teriak Ilona seraya menghentikan kegiatan makannya.
Ilona hendak mengadu pada Kenzo yang pasti akan membelanya, setidaknya itu yang berada di dalam benak sekarang. Ia terlalu percaya diri untuk bersandiwara, tanpa mempedulikan wajah Kenzi yang memerah karena menahan tawanya.
"Dek, ngomong-ngomong kamu ini lagi manggil Kak Kenzo? Memangnya dia ada di rumah sekarang?" tanya Kenzi yang membuat Ilona sekejap berpikir.
"Ilo gak tahu sih, Kak. Memangnya ada tidak itu orang di rumah?" tanya Ilona pada Kenzi yang membalasnya dengan bahu terangkat naik saja.
Ilona segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon Kenzo diam-diam. Ingin sekali mendapatkan jawaban secepatnya, karena malu sekali jika sebenarnya tidak ada di rumah.
Kenzo yang kebetulan kelar meeting dan sedang menuju perjalanan pulang itu, melihat ponselnya berdering segera saja mengangkat saat melihat nama Ilona yang terpampang pada layar.
[Iya, Dek, kenapa? Mau mesen makanan atau gimana?] tanya Kenzo siap sedia tanpa diminta sama sekali.
Ilona menghela napas beratnya. [Ilo gak mau apa pun, minta Kakak cepat pulang saja.]
[Kakak lagi pulang kok, Dek. Tenang saja, bentar lagi juga nyampe kok.]
Ilona menjulurkan lidahnya pada Kenzi yang melongo saat melihatnya sedang teleponan dengan kakak kembarnya satu lagi--Kenzo.
"Dek, kok kamu nelpon Kak Kenzo sih?" protes Kenzi pada Ilona yang memasang tampang menyebalkan itu. Ini pasti akan menjadi menyebalkan, sekaligus hal paling membuatnya sabar dengan tingkah adik bungsunya itu.