Sore itu, Delvin segera saja menuju kantor Ilona. Kekasih yang ia cintai itu, pasti sudah menunggu lama untuk kedatangannya di tempat tersebut.
Delvin tersenyum cerah, dan seolah tidak pernah ada masalah apa pun dalam kehidupannya. Meski cinta dan hubungan yang dimiliki saat ini, terancam hancur karena desakan dari Nikita--ibunya sendiri.
"Sayang, maaf aku terlambat ... lima menit," ucap Delvin menghampiri Ilona yang tengah berdiri si lobby kantor milik keluarganya itu.
Ilona memasang wajah cemberut, dan malas saat melihat Delvin. Bukan ia benci kata terlambat, melainkan ada hal lain yang sangat mengganggu pikirannya saat ini.
Ilona tidak ingin hidup berpisah tanpa lelaki konyol yang dicintai olehnya saat ini. Meskipun kerap membuatnya sedikit kesal karena tingkah konyolnya itu, tapi akan terasa menyedihkan jika tidak lagi melihat semua yang sudah menjadi kebiasaan itu.
"Iya, aku capek nungguin tau," rengek Ilona dengan air mata yang jatuh di pipinya.
Delvin mengernyitkan kening, melihat Ilona menangis ia merasa bimbang dan spontan menghapus air mata tersebut.
"Loh, loh, ini kenapa nangis, sayang? Kerjaan kamu banyak banget, atau bagaimana?" Delvin memberondong Ilona dengan pertanyaan dengan tangan yang merengkuh tubuh gadisnya itu untuk masuk ke dalam pelukannya.
Ilona mencari kenyamanan di dalam dada bidang milik Delvin. Menumpahkan semua keresahan di dalam hatinya, serta ketakutan paling mendalam, tentang cerita mereka yang dipaksa usai.
"Yang, aku takut," lirih Ilona dengan suara parau.
Delvin mengelus lembut punggung dan sesekali rambut Ilona. Membiarkan para karyawan dari gadisnya itu menatap dengan aneh, dan ada juga kagum atau mungkin merasa geli.
"Kamu takut kenapa? Apa ada seseorang yang jahat dengan kamu, sampai-sampai ketakutan seperti ini?" tanya Delvin dengan suara yang terdengar menenangkan.
Ilona menggeleng dan mengangkat wajahnya untuk melihat rahang tegas milik Delvin. Tangannya tergerak untuk menyentuh jambang tipis milik kekasihnya, dan kembali memeluk dengan erat seolah tidak membiarkan siapa pun untuk mengambilnya.
"Iya, ada orang jahat yang mau mengambil kamu dari aku, dan itu yang membuatku ketakutan," ungkap Ilona jujur.
Delvin kini sudah paham dengan apa yang dirasakan oleh Ilona. Pantas saja sikapnya sangat berubah, dan ternyata ketakutan akan perkataan dari Nikita sewaktu tadi.
Kini, Delvin tidak bisa berkutik apa pun, ketakutan yang sama pun menjalar tubuhnya. Ia tidak ingin jika gadis jatuh ke tangan lelaki lain, dan bukan dirinya. Akan diusahakan meskipun semuanya memang tidak begitu mudah untuk dilewati, atau mungkin memang sangat sulit.
"Sayang, aku akan usahakan sangat keras, hingga akhirnya tidak ada yang bisa menghalangi untuk kita berdua bersatu. Sekarang hapus air matamu, dan jangan menangis, kita hadapi semua ini bersama," tekad Delvin dengan kedua tangan yang menangkup pipi Ilona.
Ilona menatap jelas manik milik Delvin yang selalu berhasil membuatnya candu, terasa manis dan sangat menenangkan. Ketegasan seolah terpancar dari dalam sana, dan membuat hatinya merasa yakin.
"Iya sayang, kita berdua harus berjuang untuk mendapatkan restu dari orangtua kamu, juga aku," ucap Ilona dengan tekad yang sama.
Delvin kini tersenyum lebar. "Anak pintar! Sekarang hapus air mata itu, dan coba tersenyum," titahnya pada Ilona.
Ilona segera saja mengembangkan senyum lebarnya, dan memamerkan begitu saja kepada Delvin yang mengangguk pelan.
Ilona menggandeng lengan Delvin dengan sesekali menatap wajah lelakinya itu. Orang yang berhasil membuatnya jatuh cinta dengan segala tingkah laku konyolnya, tapi berhasil membuatnya mati ketakutan jika sampai menghilang.
Delvin membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Ilona untuk masuk ke dalamnya, sebagaimana diperlakukan selayaknya ratu.
"Silahkan masuk Nona," ucap Delvin diiringi dengan kekehan ringan dari mulutnya dan lirikan mata tajam milik Ilona.
Ilona menggeleng pelan. "Terima kasih. Kurasa kau sangat berlebih Tuan, untuk memperlakukanku seperti itu," protes Ilona.
Delvin menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil yang terbuka itu, menatap Ilona yang tengah terkekeh pelan.
"Ini tidak berlebihan Nona, karena memang kau terlalu sempurna untuk sekedar diperlakukan biasa saja, dan saya tidak mau begitu Nona."
"Ya sudah Tuan, tidak masalah. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih saja." Ilona terkekeh pelan dan memilih mengalah saja atas apa yang dikatakan oleh Delvin.
"Sama-sama," jawab Delvin. Menutup pintu mobil tersebut dan mengitari kendaraan itu untuk bisa duduk di bangku kemudinya.
Delvin melajukan kendaraannya dengan kecepatan normal, sembari menyalakan musik yang sekarang sudah menjadi favorit mereka berdua.
Ilona memilih untuk menikmati lagu-lagu tersebut dan memandang wajah Delvin dengan intens. Terlihat sangat tampan, sekaligus mengisi penuh semua memorinya.
"Jangan memandangku terus menerus seperti itu, sayang."
"Memangnya kenapa? Aku memandang kekasihku sendiri, apa itu masalah?"
Delvin menggeleng. "Sebenarnya itu bukan masalah, hanya saja terasa curang sekali."
"Curang?" Ilona sampai mengernyitkan dahinya tidak paham di mana letak kecurangannya saat ini.
Delvin mengangguk dan sekilas untuk bisa melihat ekspresi dari Ilona--kekasihnya itu. Ia terkekeh pelan, saat melihat wajah kebingungan yang ada di sana, benar-benar terlihat menggemaskan.
"Iya, curang. Kamu bebas sekali lihat wajahku, sedangkan ... aku malah masih fokus untuk menatap jalanan ini, lama sekali untuk sampai ke tempat tujuan," keluh Delvin seraya wajah cemberut kesal.
Ilona tertawa melihat ekspresi dari Delvin saat ini. Kenapa terasa begitu menggemaskan seperti ini, hingga tak mampu untuk menahan tawanya.
"Cup-cup, kamu ini buat aku ketawa aja deh, geli tau gak," tutur Ilona yang masih tertawa dengan tangan yang membekap mulutnya sendiri.
"Nanti kita kalau udah sampai, main tatapan gitu aja," usul Delvin yang membuat Ilona dengan spontan mengangguk.
Mereka berdua kini mulai terfokus dengan tujuan untuk segera sampai menuju rumah Ilona. Menikmati musik sepanjang perjalanan dengan asyik, dan sesekali bernyanyi bersama.
Saat sudah sampai, Delvin kembali memperlakukan Ilona seperti awal tadi. Membukakan pintunya dan kemudian tidak lupa untuk mempersilahkan keluar.
"Ayo, sayang. Kita turun," ajak Delvin dengan senyum cerahnya.
Ilona menyambut uluran tangan milik Delvin, senyum yang mengembang sempurna pada bibirnya. "Ayo!"
Kenzo keluar tergesa dan melihat bagaimana romantisnya Delvin juga adiknya, tangan yang saling bertautan dan ini merupakan sebuah pemandangan biasa.
"Wah, wah, Dek inget ini di rumah loh," tegur Kenzo pada Ilona yang semakin mengeratkan genggaman tangannya.
Ilona tersenyum cerah. "Kakak ... rese banget sih, kayak gak pernah aja, huu!"
"Yeah, malah ledek Kakak pula kamu ini, awas loh Dek kalau nanti selesai urusan ini." Kenzo ingin masuk ke dalamm mobilnya, harus terhenti saat melihat Ilona yang menjulurkan lidah ke arahnya dan tanpa bersalah melenggang pergi untuk masuk ke dalam rumah bersama Delvin.
"Kakak, nanti Ilo minta beliin coklat sama ... es krim, jangan lupa itu!" teriak Ilona dengan tangan yang melambai.