Brak ...
"Fuh ... aku sangat lelah. Kamu tidak lelah?" tanya Tama, menolehkan kepalanya menatap Mina yang duduk di samping kursi kemudi di dalam mobilnya.
Saat ini Mina hanya diam dengan memejamkan matanya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Gadis itu terlihat sangat tenang dan itu sedikit membuat kening Tama mengerut dengan samar.
"Padahal kamu juga bisa bertingkah berkelas. Tapi kenapa selalu kekanak-kanakkan?" gumam Tama, masih bisa didengar dengan jelas oleh Mina.
"Memangnya kapan aku bersikap kekanak-kanakkan?" sahut Mina, tanpa membuka matanya.
Tama menghidupkan mesin mobilnya dan segera meninggalkan basement gedung pernikahan mereka.
"Sering. Seperti tertawa lepas seakan-akan tidak tahu sopan santun seperti tadi bersama Pendeta. Bukankah itu sudah termasuk kekanak-kanakkan?" jelas Tama, menoleh sejenak pada Mina.
Mina membuka matanya dan menatap ke arah depab dengan pandangan lelah. "Kamu malu?"
Tama kembali menoleh dan menganggukkan kepalanya pelan. "Sedikit. Tapi tidak apa-apa. Aku bisa memakluminya. Mungkin karena aku sudah dewasa jadi hal seperti itu sedikit memalukan menurutku."
"Baiklah. Maafkan aku. Ada lagi yang kamu keluhkan?" tanya Mina, akhirnya mau menatap wajah Tama setelah beberapa pertanyaan berlalu.
"Tidak ada. Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Hanya bertanya saja."
Tama menggeleng-gelengkan kepalanya kuat. "Bukan itu maksudnya. Kamu kenapa? Terlihat sangat lemas dan tidak bersemangat. Apa kamu lapar? Mau makan di restoran dekat sini?"
"Tidak perlu. Aku hanya butuh kasur. Kita pulang saja. Tapi jika kamu lapar, kita bisa pergi makan sebentar," jelas Mina, kembali memejamkan matanya.
Tama diam beberapa saat sebelum akhirnya ia kembali menatap Mina yang sedikit berbeda dari biasanya.
"Aku senang makan di rumah. Kamu bisa memasak?"
"Bisa."
"Baguslah. Kamu bisa memasak untukku nanti."
"Tidak. Aku hanya bisa merebus air dan membuat mie. Menggoreng telur saja aku tidak bisa. Jadi jangan coba-coba mencicipi masakanku jika kamu tidak ingin mati keracunan makanan!" papar Mina, membuat Tama menatapnya dengan tatapan lelah.
"Hahh ... sepertinya ini akan sulit untuk kita berdua. Ahh ... tidak. Seharusnya aku memastikan semua hal tentangmu terlebih dahulu sebelum menawarkan diri. Aku jadi sedikit kesal sekarang," omel Tama, blak-blakan.
Mina pun menoleh dan menatapnya dengan pandangan lekat sambil menelisik penampilan Tama dari kepala hingga kaki.
"Kamu pernah punya kekasih?" celetuk Mina, tiba-tiba.
"Kenapa kamu ingin tahu?"
"Hanya penasaran saja. Pernah punya?"
"Tidak. Kenapa?" Tama menaikkan sebelah alisnya dan memandang wajah Mina dengan pandangan terheran-heran.
Mina menggeleng-gelengkan kepalanya dan tetap mempertahankan pandangan matanya yang menatap lekat pada Tama.
"Sangat tampan tapi tidak dengan kepribadiannya. Kamu beranggapan dirimu sempurna ya? Sepertinya kamu cukup angkuh untuk mengakui hal ini," celetuk Mina, tiba-tiba membuat suasana tidak nyaman untuk mereka berdua.
"Ada apa denganmu hari ini? Jangan mencoba melampiaskan kekesalan kamu kepadaku. Jika kamu kesal dengan teman wanitamu seharusnya kamu marah saja kepadanya. Kenapa jadi aku yang kena batunya?!" omel Tama, dengan suara sedikit lantang.
Namun tiba-tiba ia terdiam saat melihat wajah Mina yang langsung berkaca-kaca dan berujung dengan menangis dengan suara pelan.
"Kenapa kamu menangis?" bentak Tama, dengan rasa bersalah.
Hiks ... hiks ...
"Jangan menangis. Maafkan aku. Jangan menangis. Ya?" ucap Tama, mulai panik dan cemas dengan suara isak tangis Mina yang lirih tapi terlihat menyakitkan.
"Diamlah. Haih ... ayo turun!" ucap Tama, begitu ia menepikan mobilnya di pinggir jalan dan lekas keluar mobil begitu ia sudah memastikan mobilnya di parkir di tempat yang aman.
"Kenapa? Aku mau pulang, hiks."
Cklek ...
Tama membuka pintu untuk Mina dan menarik gadis itu pelan agar ia segera keluar dari dalam sana.
"Ayo. Jangan lama-lama. Kita makan dulu. Lebih baik kamu makan dan habiskan uang saja dari pada menangis seperti itu. Aku tidak senang melihatnya, ehem." Tama memalingkan wajahnya dengan mengatakan kalimat tersebut menggunakan nada suara yang terdengar canggung.
Mina segera keluar dari dalam mobil dan memandangnya dengan pandangan lelah. "Aku tidak lapar."
"Kamu bisa makan dessert. Yang penting jangan menangis. Aku tidak senang melihatnya."
Tama mengusap air mata Mina dengan menggunakan sapu tangannya sebelum akhirnya membawa gadis itu masuk ke dalam sebuah kafe yang bangunnyaterbuat dari kayu.
Semua material tempat itu terbuat dari kayu dan dua dinding kaca selebar 3 meter di bagian depannya agar pengunjung bisa melihat ke arah jalanan.
"Sepi sekali. Kamu pernah ke sini?" tanya Mina, melihat hanya beberapa pengunjung yang sedang menikmati makanan dalam suasana tenang di dalam sana.
"Ya. Ini milik temanku. Memang tempatnya sepi karena ini hanya toko kecil. Tapi jika kamu harus mencoba makanannya dulu. Hem ... mungkin kamu akan kembali lagi esoknya dan esoknya," ucap Tama, mengacak-ngacak rambut Mina pelan dan berjalan mendekati kasir.
"Kamu mau makan apa?" tanya Tama, memberikan Mina sebuah buku menu.
Mina langsung menolak buku menu itu. "Terserah kamu. Aku akan duduk di sana."
Setelah mengatakan itu, Mina langsung berjalan meninggalkan Tama yang hanya bisa menghela napasnya lelah dan memandang punggung Mina dengan tatapan pasrah.
"Saya dengar Anda menikah. Apakah itu benar?" tanya Reani, kasir yang ada di tempat tersebut.
Tama yang cukup mengenal gadis berusia 23 tahun itu hanya bisa mengulas senyum ramah dan memesan makanan untuk dirinya dan Mina.
"Itu istrinya. Cantikkan, An? Curangnya, manusia kutub utara ini bisa dapet brondong kayak gitu. Dunia ini memang selalu tidak adil," celetuk Dirga, bos sekaligus pemilik tempat ini.
"Hahh ... jangan berbicara melantur. Sana buatkan saja pesananku. Istri kecilku sedang dalam suasana hati yang tidak baik. Jadi aku harap kamu bisa menyiapkan makanannya dengan lebih cepat," ucap Tama, mengedipkan sebelah matanya genit sebelum akhirnya ia melenggang pergi meninggalkan tempat tersebut.
"Ho-ho. Lihatlah anak itu. Aku benar-benar tidak percaya jika dia bisa melakukan hal seperti itu kepada orang lain. Bukannya itu aneh, An?" tanya Dirga, memandang Reani yang malah mengulas senyuman tipis.
"Cinta memang bisa merubah seseorang Pak. Tapi anehnya seorang playboy seperti Anda malah belum pernah mengalami hal tersebut. A-n-e-h!" celetuk Reani, segera melenggang pergi sebelum ia terkena semburan amarah dari Dirga.
"Dasar gadis ini. Bisa-bisanya kamu berbicara seperti itu kepada bosmu. Anak kurang ajar!" omel Dirga, menghardik Reani yang terkikik geli sambil membawa pesanan Tama ke meja lelaki itu.
Reani segera menghidangkan dua gelas cappuccino dengan cream dan boba di dalamnya. Di tambah dengan sepotong kue coklat dengan strawberry di dalamnya.
"Selamat menikmati, Nyonya. Saya senang Tuan Tama yang dingin ini sudah sedikit mencair karena kehadiran Anda. Ini kue dari saya. Anggap saja hadiah pernikahan. Semoga pernikahan kalian langgeng," ucap Reani, dengan nada cerah dan senyuman lebar.
"Terima kasih. Anda tidak perlu memaksakan senyuman Anda. Saya masih melihat kepalsuan di dalamnya." Mina menatap wajah Reani yang tiba-tiba berubah menjadi canggung. "Aku tahu, Anda menyukainya. Benar begitu, kan?!"