Bruk ...
Mina menghempaskan tubuhnya pada sebuah bangku taman yang bertempat di tengah-tengah kota. Di tangannya sudah ada satu cup es krim rasa vanila.
Sementara Tama yang tidak pernah melakukan hak santai seperti ini hanya bisa diam dengan duduk di sebelah Mina yang sudah melahap es krimnya.
"Kenapa? Tidak pernah makan es krim? Ini enak loh," ucap Mina, menunjukkan betapa lezatnya makanan jalanan yang ada di genggaman tangannya.
Tama menatap es krim cup yang ada di tangannya dengan tatapan aneh.
"Kamu yakin ini higienis? Dengan harga 15.000 dan lagi cukup besar?" tanya Tama, menatap wajah Mina yang lahab memakan makanan tersebut.
Mina menganggukkan kepalanya pelan dan kembali menatap wajah Tama yang masih setia menatapnya.
"Tidak pernah makan makanan semurah ini ya? Pasti Anda terbiasa makan makanan yang di buat koki di rumah dan makanan restoran mahal. Mangkanya Anda mengira makan seperti ini akan membuat Anda sakit perut, benar?" tanya Mina, mengulas senyuman tipis seraya menatapnya dengan lekat.
Tama terdiam beberapa saat sebelum akhirnya ia menyuapkan satu sendok es krim itu ke dalam mulutnya.
"Oh ... Anda memakannya? Baik sekali, hahaha ...," ucap Mina, tertawa kecil dan kembali memakan makanannya.
"Saya kira itu akan baik-baik saja. Anda dan saya kan sama-sama orang berada yang terbiasa memakan makanan higienis. Jadi saya kira tidak apa untuk memakannya, karena Anda juga memakannya!" ucap Tama, membuat Mina mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
"Pemikiran yang cukup baik."
Mina diam beberapa saat dengan memandang pemandangan taman yang indah dan bersih di depan matanya.
"Anda tidak perlu berbicara kaku seperti itu kepada saya. Saya kan lebih muda. Anda bisa berbicara santai. Lagi pula besok kita akan menikah kan?" ucap Mina, dengan suara lirih.
Tama memandangnya dengan tatapan mengamati dalam beberapa saat sebelum akhirnya ia menatap apa yang tengah Mina tatap di depan sana.
"Mana bisa seperti itu, jika Anda saja tetap berbicara dengan saya menggunakan bahasa formal. Jika ingin berbicara santai karena besok kita menikah, Anda juga harus melakukannya, bukan? Saya kan menikah dengan Anda, bukan dengan tiang listrik. Jadi mari berbicara santai. Hitung-hitung usaha kita untuk mengakrabkan diri antara satu sama lain, kan?" sahut Tama, mengulas senyumannya.
"Hahaha ... baiklah. Bagaimana dengan aku-kamu dulu? Sepertinya panggilan saya-Anda terlalu kaku. Kita bisa terlihat bukan seperti suami-istri nantinya. Kita kan harus berakting di depan publik jika kita melakukan pernikahan ini bukan karena unsur politik. Saya– ah salah, aku sangat hafal dengan sikap keluargaku, mereka sangat menjaga dengan baik citranya yang terkenal dengan 'keluarga konglomerat penuh kasih sayang' itu," pekik Mina, menjelaskan.
Tama terdiam beberapa saat dengan menatap wajah Mina yang langsung mempraktikkan apa yang baru saja mereka sepakati.
Tama pun berusaha membiasakan dirinya dengan panggilan aku-kamu mereka dan juga mulai mempraktikkan hal itu sama seperti Mina.
"Jadi kamu tidak mengharapkan kisah cinta di dalam pernikahan ini?" tanya Tama, dengan sebelah alis yang terangkat naik.
"Tidak. Aku tahu itu tidak mungkin dan mungkin saja kamu sudah memiliki kekasih di luar sana. Karena itu, dari pada merasa sakit dan patah hati. Lebih baik dari awal aku sudah tidak mengharapkannya, kan?" seru Mina, menjelaskan dengan baik.
Lagi-lagi Tama di buat terdiam dengan pemikirannya yang dewasa itu dan hal tersebut membuat Tama semakin ragu jika Mina adalah gadis bodoh seperti yang di katakan oleh orang-orang di sekitarnya.
"Boleh saya bertanya?" seru Tama, tiba-tiba.
Bahkan Tama tidak menanggapi pernyataan Mina barusan dan malah membuat sebuah pertanyaan untuknya.
"Tanya saja. Tidak ada yang melarang!"
Tama menatap Mina dengan tatapan serius. Itu membuat kening Mina sedikit mengerut dan menatap aneh wajah Tama saat ini.
"Aku penasaran. Apakah kamu benar-benar bodoh seperti yang dikatakan orang-orang?" celetuk Tama, canggung.
Mina terdiam, terkejut. Ia menatap wajah Tama yang semakin memerah karena malu sendiri setelah mengatakan pertanyaan absurd itu kepadanya. Di tambah dengan reaksi Mina yang ternyata di luar perkiraannya.
"Jangan menatapku seperti itu. Aku hanya bertanya karena dari tadi kamu terlihat seperti orang yang pandai mengambil keputusan. Mangkanya aku bertanya seperti itu. Apakah sangat aneh?" tanya Tama, menatapnya dengan tatapan ragu-ragu.
Mina menggeleng-gelengkan kepalanya pelan dan memalingkan wajahnya dari tatapan Tama.
Deg ...
Tama langsung grogi melihat reaksi itu. 'Apakah aku sudah kelewatan? Apakah aku sudah membuatnya marah? Ah ... padahal ini kencan pertama kami sebelum menikah. Tapi aku mengacaukannya!' batinnya, frustrasi.
"Tidak. Yang mereka katakan benar. Aku memang bodoh. Rangking tertinggi yang pernah aku dapatkan di sekolah adalah 706 dari 750 siswa. Tapi aku tidak mengira ...."
Mina memberikan jeda dan kembali menatap wajah Tama yang sudah diam dengan posisi tegang sambil menatap wajahnya.
"Tapi aku tidak mengira jika kamu berpikir saya tidak punya otak. Aku kan hanya bodoh? Bukan berarti tidak punya otak dan berpikir dengan benar. Apakah sekarang kamu mengerti? Aku memang bodoh. Tapi aku punya otak. Oke?" seru Mina, menjelaskan dengan sabar.
Mendengar itu, Tama langsung menepuk jidatnya ampun dan memandang Mina dengan tatapan serba salah.
"Benar juga. Astaga, maafkan aku karena sudah melakukan kesalahan. Mungkin aku yang bodoh karena sudah berpikir seperti itu. Maafkan aku ya? Sungguh," ucap Tama, kalang kabut.
Mina yang melihat ekspresi wajahnya itu langsung terkekeh pelan dan bangkit dari posisinya.
"Aku bodoh dalam beberapa hal dan mungkin akan menyusahkan kamu untuk kedepannya. Jadi sebelum memulai hubungan kita! Aku akan meminta, tolong bersabar. Aku datang sebagai ujian dari Tuhan untuk mengganggu ketenteraman hidup kamu." Mina mengukir senyuman lebar.
"Mohon bimbingannya Kak Tama," ucap Mina, membungkukkan badannya sejenak dengan mengulas senyuman lebar.
Tama yang melihat itu langsung menepuk kembali keningnya dan menatap wajah Mina dengan tatapan lelah.
"Hey, ayolah! Jangan seperti itu. Aku kan hanya menjadi suami kamu, bukannya guru pembimbing masa depan! Jangan meminta bimbinganku, karena aku tidak akan melakukannya. Tapi jika kamu membutuhkan perlindungan, aku akan ada untukmu," ucap Tama, menghela napasnya lelah.
Minta tertawa kecil dan memandangnya wajah Tama dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ada yang mau aku berikan, tunggu! Aku meletakkannya di dalam tas," ucap Mina, mulai mencari sebuah barang di dalam tas genggamnya.
"Ini!" Mina memberikan sebuah id card yang membuat Tama membulatkan matanya lebar.
"Apa? Kamu sudah menjadi anggota keamanan di tim inti perusahaanku? Kapan kamu melamar di sana? Kamu kan baru saja lulus SMA kemarin?" seru Tama, menatapnya dengan tatapan terkejut.
Mina mengulas senyuman tengil dengan mengedipkan sebelah matanya genit.
"Rahasia!"