Chapter 11 - Toleransi

Terima kasih sudah membawa gaun pengantin ini datang ke sini, Kakak Ipar," ucap Tama, menundukkan kepalanya hormat.

Deg ...

Arci menatap perilaku Tama dengan kaku dan menatap wajah Mina yang terkekeh melihat wajahnya yang tegang.

"Ia memang orang yang seperti itu, Kak," ucap Mina, mengulas senyum mania seraya memberikan penjelasan.

Arci pun menghela napasnya lelah dan mengibas-ngibaskan tangannya untuk meminta Tama bangun dari posisi hormatnya.

"Berterima kasihlah kepada Istriku. Dia yang meminta aku untuk mengambilnya karena ia merasa Mina akan kesulitan di hari-H dengan kondisi keluarga mertua yang seperti itu. Huff ... setelah mendengarkan penjelasan dari Amanda, ia langsung merasa curiga jika hari ini Mina akan mendapatkan malah. Bahkan itu sudah jam 01:00 malam. Ia baru tahu jika gaun yang akan kamu pakai sudah berubah modelnya. Dari sanalah Kakak Iparnya itu memintaku pergi untuk mengambil gaun itu," jelas Arci, menghela napas lelah.

Arci menepuk-nepuk puncak kepala Mina dengan sedikit keras hingga gadis itu menundukkan kepalanya.

"Kamu harus tahu, jika kami memang memintamu menikah untuk kepentingan bisnis. Tapi kami tidak akan membiarkanmu berada di dalam kesulitan saat menghadapi keluarga mertua kamu. Jadi jangan coba-coba berpikir kami menikahkanmu karena ingin membuangmu! Kami hanya meminta sedikit bantuanmu dalam hal ini dan kami juga akan melindungimu. Pahamkan? Kami menyayangi dengan kekurangan dan kelebihanmu. Karena kamu keluarga kami yang berharga!" ucap Arci, mengundak senyum.

"Aku tahu jelas hal itu. Tapi–"

***

Arci mengerutkan kening dan menatap Mina dengan tatapan bertanya-tanya. "Tapi apa?"

"Tapi kenapa harus dengan 'mantanku' ya?" ucap Mina, menekan kata mantan dengan mengulas senyuman palsu yang tampak culas.

Arci langsung diam membatu dengan mengatupkan bibir bawahnya rapat-rapat. Bahkan ia sudah mengalihkan pandangannya ke arah lain hanya untuk menghindari tatapan mata Mina yang terlihat manis tapi menusuk itu.

"A-aku tidak tahu. Kakak Ipar dan kedua orang tua kitalah yang mengurus tentang pertemuan kedua keluarga ini. Tapi jika menurut penelusuranku, Kakek dan Nenek dari pihak laki-lakilah yang memulai. Maksudnya, surat wasiat merekalah yang menjadi awal mula dari semua kejadian ini," jelas Arci, mengulas senyum masam.

Mina menghela napasnya kasar dan melihat ke arah jarum jam.

"Kalian," –Mina menatap Tama dan Arci– "cepat keluar. Aku harus bersiap-siap karena waktunya sudah mepet. Bahkan wajah para staf bisa semakin pucat jika aku menunda-nunda waktunya lagi."

Arci dan Tama langsung menganggukkan kepalanya mengerti dan keluar dari ruangan tersebut dengan langkah terburu-buru.

Namun sebelum keluar, Tama menatapnya dengan tatapan bersalah.

"Maaf jika keluargaku sudah mengacaukan beberapa hal di awal acara–" ucap Tama terputus. Ia tampak kebingungan harus bagaimana menyampaikan isi hatinya kepada gadis yang ada di hadapannya ini.

"Ya. Aku mengerti. Sekarang pergilah. Kamu juga harus bersiap-siap, kan?" ucap Mina, menghela napas lelah dan mengalah untuknya.

Tama yang mendapati hal itu hanya bisa diam dengan jantung yang entah kenapa berdebar-debar dengan kencang. Padahal seharusnya ia merasa bersalah telah mengacaukan pernikahan mereka, bahkan sebelum acaranya di mulai.

"Kamu tidak keluar? Ini sudah mau dekat waktu upacara di mulai," ucap Mina, menatap Tama dengan sorot mata tegas dan helaan napas lelah.

"O-oh, baiklah. Aku pergi. Aku akan menunggumu di atas pelaminan," ucap Tama, buru-buru meninggalkan tempat tersebut.

Tak ...

Mina menghela napasnya kasar seraya pintu itu menutup. Ia menatap para staf dan meminta mereka memulai acara rias-merias ini dengan cepat karena ia tidak terlalu ingin di rias dengan sangat baik. Riasan tipis yang terlihat natural akan semakin membuat Mina cantik dari pada gaya make up kuat yang akan membuatnya 'lebih' menjadi pusat perhatian.

"Bagaimana dengan gaunmu? Suda– ugh! Kenapa kamu mengenakan pakaian itu dan bukannya yang di pilihkan oleh Mama dan Bunda? Kamu benar-benar tidak menghargai pemberian orang tua, ya?!" celetuk seorang gadis, tiba-tiba muncul di ambang pintu dan menatapnya dengan tatapan culas.

Mina menata pantulan diri wanita itu dengan helaan napas kasar. 'Mau apa lagi ia kemari? Ya tentu saja mengacaukan hariku. Apa lagi,' batinnya, buang muka.

Marta yang melihat sikap angkuh dari Mina langsung menghentak-hentakkan kakinya dan berjalan mendekati wanita itu.

"Hey! Kamu tidak dengar apa yang sudah aku katakan, ya? Dasar wanita bodoh yang minim etika!" bentak Marta, menatap wajah Mina penuh emosi.

Mina yang mendapati hal itu hanya meliriknya sekilas dan kembali fokus para dirinya yang sedang di rias.

"Hey!" marah Marta, menepuk pundak Mina dengan sangat kuat.

Itu membuat seorang staf yang sedang memoleskan lipstik pada bibir Mina, langsung melakukan sebuah kesalahan fatal yang akan membuat mereka melakukan make up ulang terhadap Mina.

"Hey, Nona! Apakah Anda tidak bisa melihat jika mempelai wanita ya sedang sibuk berhias? Waktu kami sudah sangat mepet dan Anda malah mengacaukan semuanya? Hasil jerih payah kami selama satu jam? Jika Anda ingin membuat masalah, sana!" –staf itu menunjuk ke arah pintu keluar– "pergi saja dari sini! Keluar sana."

Marta menatap wajah staff itu dengan tatapan murka. Ia ingin memberikan pelajaran untuknya, namun saat ia mendapati lirikan mata dari Mina yang terlihat begitu tajam dan tidak akan segan bertindak kasar jika ia tidak segera pergi.

Marta pun memutuskan untuk keluar dari dalam sana dengan langkah yang di hentak-hentakkan kuat.

"Aku akan memberikan balasan yang lain untukmu nanti. Awas saja kamu, Mina!" celetuk Marta, menatap tajam ke arahnya.

Mina hanya mengedikkan bahunya acuh dan tidak menanggapi gadis itu. Ia sibuk berhias. Karena ia harus melakukan make up ulang setelah ulah Marta yang menyulitkan para staf ruang rias.

"Maafkan kelakuan adik ipar saya. Entah kenapa dia selalu bertingkah kekanak-kanakkan jika membenci sesuatu. Tapi dia bukan gadis yang jahat, dulunya!" ucap Mina, membela Marta, si adik kelas bawel dan bar-barnya itu.

Staf rias yang mendengar itu dan melihat betapa lelahnya wajah Mina hanya bisa mengulas senyuman masam dan segera memulai ulang make up Mina di bagian yang sudah rusak.

"Tidak apa, Nona. Saya mengerti jika dia masih remaja labil yang suka bertindak seenaknya. Saya pun pernah remaja. Saya pun pernah menjadi gadis labil sepertinya. Saya memaklumi hal tersebut. Jadi Anda tidak perlu cemas" ucap staf itu, mengulas senyuman lembut di ekspresi wajahnya yang teduh dan penuh kesabaran.

Sementara itu, seorang lelaki tengah menguping pembicaraan mereka dari balik pintu ruang rias tersebut.

Lelaki bersurai hitam dengan wajah ketusnya yang tampan. Wajahnya semakin memburuk saat mendengar apa yang dibicarakan oleh dua orang wanita yang ada di dalam sana.

"Marta! Apa yang sudah kau lakukan. Dasar gadis manja yang tidak tahu aturan. Mungkin aku harus memberinya pelajaran agar dia lebih tahu apa itu sopan santun!" geramnya, mengepalkan tangannya dengan kuat.