Dicintai oleh orang yang kita cintai, the best happiness in love.
***
"Tapi bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana kalau kita ini memang ditakdirkan bersama, Ci?" tanya Akbar dengan nada yang terdengar sedang meminta belas kasihan pada Suci.
Tapi sayangnya Suci bukanlah orang yang mudah untuk dibuat terprovokasi. Sekali dia berkata iya maka selamanya akan tetap A tidak mungkin berubah menjadi B apalagi sampai Z. Dan kalau hal itu terjadi bisa dipastikan telah melalui proses yang cukup panjang untuknya.
"Bukankah sebelum bertemu dengan orang yang tepat kita terlebih dahulu harus dipertemukan oleh orang yang salah agar bisa menjadi tepat untuk seseorang di masa depan. Jangan pernah lupakan satu hal ini, Ci, kita punya tempat belajar paling baik, yaitu masa lalu."
Lidah Suci mendadak keluh saat mendengar apa yang dikatakan oleh Akbar. Satu tanya yang saat ini sedang berkecamuk sangat kuatnya di dalam relung hatinya yaitu apakah secepat ini sang waktu memberikan Akbar kesempatan untuk tumbuh dengan pola pikir yang dewasa? Entahlah, mungkin jawabanya adalah iya dan juga mungkin tidak. Hanya semesta yang bisa menjawabnya cukup baik.
"Ci … mereka semua tahu gue dekat dengan lo. Mereka juga tahu binar mata gue terlihat bahagia ketika topik pembicaraan itu adalah lo. Mereka paham bahwa di setiap cerita gue tentang kita adalah harapan di masa depan. Mereka bahkan mengatakan bahwa gue bahagia bersama lo, dan gue akui itu benar adanya." Suci tidak lagi tahu harus berbuat apa saat mendengar apa yang dikatakan oleh Akbar. Satu hal yang bisa Suci tangkap di kedua manik mata Akar saat ini, itu hanyalah ketulusan.
"Ada Manda, Bar. Kita nggak bisa sama-sama." Atas apa yang dikatakan oleh Suci, Akbar lantas menggeleng dengan sangat kuatnya. Untuk kali ini dia tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Suci.
"Ci, apa perlu gue ingatkan pada lo seperti apa perasaan gue pada Manda? Di dunia ini tidak yang mengenal gue sebaik yang lo lakuin, dari bagian terkecil sampai terbesar lo adalah orang yang paling mengetahuinya." Suci hanya bisa menggigit bibir bawahnya saat mendengar apa yang dikatakan oleh Akbar.
Dan untuk kali ini Suci benar-benar tidak tahu harus menanggapi seperti apa perkataan Akbar. Karena yang bisa dia lihat dari kedua manik matanya hanya kejujuran tanpa ada sedikit saja dusta.
"Tapi kalian sudah berjalan dalam waktu yang cukup lama, Bar. Bagaimana bisa di antara kalian nggak ada cinta, hah?" tanya Suci yang pada akhirnya memilih untuk menyerah dalam memahami pola pikir milik pria yang telah menemani dia melewati segala macam titik yang ada di hidupnya.
Bahkan saat seluruh dunia mencoba untuk menjatuhkan dia, yang selalu ada untuk dirinya saat ini adalah Akbar, tapi untuk saat ini yang masih bertahta di hatinya adalah Firman bukan Akbar atau siapa pun itu. Egois? Mungkin label itu adalah label yang paling pantas untuk sematkan pada Suci untuk saat ini, dan dia pun tak keberatan untuk gelar tersebut.
"Karena cinta gue cuma untuk lo, Ci." Suci harus berjuang sekuat yang dia bisa untuk terlihat kalau dia sedang baik-baik saja, tapi pada kenyataan saat melihat dari kedua manik mata Akbar saat ini yang terlihat hanya ketulusan maka tidak bisa mengklaim kalau saat dia memang tidak sedang baik-baik saja, bahkan jauh dari hal tersebut.
"Gue ini perempuan, sama dengan Manda. Ini nggak ada adil baik dari segi gue terlebih lagi pada Manda. Dan yang tak kalah pentingnya adalah, gue ada anak cewek, gue nggak mau Mentari mendapat imbas dari kesalahan yang sedang gue lakukan ini." Ada nada yang penuh dengan penekanan saat mendengar apa yang dikatakan oleh Suci saat ini. Satu hal yang pasti untuk saat ini yang Suci takutkan hanya satu semua yang dia lakukan hari ini akan berimbas pada Mentari di masa depan dan itu yang tak diinginkan oleh Suci.
"Karma?" tanya Akbar mempertegas apa yang dikatakan Suci sebelumnya. Dan dengan polosnya ibu satu anak itu hanya bisa menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah sebagai jawaban.
Atas respon yang diberikan oleh Suci, Akbar lantas menyunggingkan senyum termanis yang dia miliki. Lalu sebelah tangan milik Akbar terulur untuk mengelus sebelah pipi milik Suci. "Tidak ada namanya karma, yang ada hanya nasib baik dan juga nasib buruk. Andai kata ke depannya Mentari harus merasakan terluka di masa depan percayalah itu karena sudah garis takdir milik dia, bukannya menanggung dosa atas apa yang lo lakukan."
"Tetap aja gue nggak bisa, Bar. Ada Manda, dan gue juga dekat ama dia. Nanti dikiranya gue nikung dia." Suci tetap pada pendiriannya kalau menjalin hubungan dengan Akbar adalah hal yang tidak bisa dibenarkan dari segi mana pun itu.
"Lihat mata gue, masih ada Firman di lo?" tanya Akbar langsung pada inti pembicaraan kali ini. Untuk masalah perasaan apalagi itu melibatkan seorang Suci Indah Lestari, Akbar tidak akan pernah main-main.
"Dia adalah ayah dari anak gue, Bar. Gue ingatkan lo kali aja lo lupa," ucap Suci penuh dengan penekanan. Bahkan dia tidak segan-segan untuk melayangkan jari telunjuknya tepat di hadapan orang nomor dua di Firma Hukum Bagaskara dan Rekan, Akbar Maulana Bagaskara.
"Gue tanya lo, lo masih sayang ama dia atau nggak? Bukannya dia siapa, Ibu Suci Indah Lestari yang terhormat?"
GLEK!
Mendengar pengulangan tanya dan dengan nada yang sangat tegas dari sang sahabat, Suci benar-benar dibuat mati kutu. Untuk meneguk salivanya Suci benar-benar kesulitan untuk itu.
"Gue nunggu jawaban dari lo, Ci."
Bersambung ….