Tidak ada manusia yang baik-baik saja di dunia ini. Semuanya sedang berjuang dengan ujiannya masing-masing.
---
Malik benar-benar tidak bisa memahami apa yang saat ini ada di pikiran Ghea. Apa maksud dia meminta Malik untuk menjadi imamnya. Malik ada seorang pendosa, sangat tidak mungkin 'kan kalau doa yang tadi dia panjatkan dengan sangat serius langsung dikabulkan oleh Tuhan. Kalau memang iya berarti ada yang keliru di sini.
"Aku nggak ngerti, Ghe. Seriusan deh." Melihat mimik wajah Malik yang sedang meminta penjelasan lebih rinci dari ini rasa tak tega sontak saja hadir menyergap Ghea Laurensia dengan sangat baiknya.
Ghea lalu menyunggingkan bibir ranumnya dan itu sudah lebih dari cukup untuk menghilangkan rasa gamang yang saat ini sedang bercokol di dalam benaknya. Senyuman yang selalu sukses membuat Malik mengulang jatuh cinta pada Ghea.
"Ya nggak mungkin juga dong saya--"
"Nggak perlu seformal itu, Ghe. Kita belum kerja." Malik menyela apa yang dikatakan oleh Ghea barusan. Dan pada akhirnya yang bisa dilakukan oleh Ghea hanya menuruti apa yang menjadi keinginan dari orang nomor satu di Firma Hukum Bagaskara dan Rekan ini.
"Ehm, baik Pak!"
"Malik, panggil Malik aja ini juga bukan jam kerja," titah Malik lagi sambil menyunggingkan senyuman renjana yang menambah nilai plus dalam dirinya. Dan tidak sembarangan orang yang bisa melihat itu. Mungkin Ghea bisa dikatakan beruntung tidak hanya bisa melihat senyuman itu secara langsung, tapi juga menjadi sumber senyuman itu tercipta.
"Baik, Mas Malik." Mendengar Ghea memanggilnya dengan embel-embel 'Mas' rasa-rasanya lelaki berusia 27 tahun itu sedang dicium oleh tujuh bidadari di saat yang bersamaan.
"Jadi back to topic, Ghe. Aku nggak melepaskanmu setelah membuatku penasaran," kata Malik yang menyorot ke dalam dua manik mata milik Ghea. Dan karena tilikan yang diberikan oleh Malik, Ghea bisa merasakan beku di sekujur tubuhnya.
"Ya, Mas Malik bisa menjadi imamku. Kan aku juga tidak mungkin menyuruh suamiku datang ke sini untuk mengimamiku." Malik hanya mengangguk saat mendengar apa yang dikatakan oleh Ghea, meski ada sedikit rasa miris saat dia mendengar kata suami terlontar dari kedua bibir ranumnya.
"Ya, udah kamu siap-siap gih. Kita ada meeting dengan--"
"Firma Hukum Agasa dan Rekan. Pertemuan awal kedua pengacara sebelum sidang." Malik kembali menyunggingkan senyum termanisnya saat mendengar penuturan dari Ghea.
"Anak pintar," kata Malik sambil kedua tangannya terulur untuk mengelus pucuk kepala milik Ghea. Merasakan sentuhan dari Malik, Ghea merasa kalau ini saat ini kedua kaki jenjangnya seperti sedang kehilangan fungsinya untuk menopang tubuhnya dengan sangat baik kali ini.
"Aku ke ruangan dulu. Jangan lupakan berkasnya."
"Iya, Mas."
Tidak ada lagi percakapan yang melibatkan Malik dan juga Ghea.
---
"Ghe, bisa ke ruangan saya sebentar?" pinta Malik lewat sambungan intercom. Memangnya Ghea bisa apa kalau Malik sudah memintanya untuk melakukan sesuatu selain mengiyakannya?
"Baik, Pak," jawab Ghea sebelum sambungan itu diputuskan secara sepihak oleh Malik.
Tanpa pikir panjang dan juga banyak tanya Ghea lantas membawa kedua kaki jenjangnya menuju ruangan Malik yang berada tepat di sebelah ruangannya.
Pintu ruangan milik Malik terbuka saat Ghea mendapatkan izin dari sang empu.
"Duduk dulu, Ghe!" Lagi dan lagi Ghea hanya bisa menurut apa yang dikatakan oleh Malik tanpa melontarkan sedikit saja kalimat bantahan pada lelaki yang saat ini sedang duduk di kursi kebesarannya.
Kini Ghea dan Malik duduk saling berhadapan bersekatkan meja kerja, tapi Malik masih bungkam tak sedikit pun dia membuka mulutnya sampai pada akhirnya, "Bapak memanggil saya ada apa, ya?" Malik tidak meminta Ghea untuk tidak berbicara lepas seperti beberapa saat yang lalu karena dia adalah sosok yang sangat menjunjung tinggi sebuah profesional kerja, entah sampai kapan itu hanya dia yang tahu.
Malik tidak menjawab, tapi sebelah tangannya terulur untuk membuka laci meja kerjanya. Dia lalu meraih kunci mobil dan juga gawai keluaran terbaru. Sebelah alis milik Ghea terangkat naik saat melihat apa yang disodorkan oleh Malik padanya.
"Ini, buat kamu." Ghea tidak lantas menerima apa yang disodorkan oleh Malik untuknya. Tidak, sampai ada kejelasan tentang ini semua.
"Tapi ini untuk apa, Pak?" tanya Ghea yang lebih memilih untuk adanya jalur perdebatan asalkan semua ini ada penjelasan yang penting.
"Untuk kamu," jawab Malik singkat dan itu seharusnya sudah lebih dari cukup untuk memancing emosi Ghea. Tapi Ghea sadar siapa lelaki yang sedang berada di hadapannya saat ini. Setidak jelas apa pun Malik saat ini, Ghea tidak boleh untuk lost control atas dirinya sendiri.
"Kunci mobil dan handphone, serta jaminan kesehatan, ini semua untuk Ghea Laurensia."
"Saya tidak akan menerimanya kalau ini belum ada kejelasan untuk apa saya mendapatkannya. Saya belum genap seminggu saya bekerja di sini. Bukankah ini sangat berlebihan?"
Malik telah memprediksi kalau Ghea adalah sosok yang tidak mungkin menerima ini tanpa meribetkan semuanya.