"Kamu lelaki baik, Nak Saka. Nenek berharap kebahagian meliputi kalian berdua," doa Nenek tulus.
Citra terenyuh menyaksikan bagaimana tulus dan besarnya keinginan sang Nenek mendambakan sosok suami seperti Saka untuknya. Hal yang sedari tadi menjadi pertimbangan dalam pikirannya, kini sudah memantapkan hati akan menerima dengan lapang dada atas pernikahan mereka. Doa yang sama seperti Nenek Sena pun terpanjat di hatinya. Semoga Saka benar-benar jatuh cinta padanya, sehingga mereka berdua bisa membangun rumah tangga sakinah mawadah warohmah.
"Ini makan yang banyak Nduk, tadi kamu melupakan makan siang karena tidur cukup lama," ujar Nenek Sena menyerahkan piring berisi nasi serta beberapa lauk kesukaan Citra.
"Dan ini untukmu, Nak Saka." Hal yang samapun diberlakukan untuk Saka juga.
"Terima kasih banyak, Nek. Padahal tidak perlu repot-repot, Saka bisa mengambilnya sendiri."
"Tidak masalah. Jika Nenek tidak segera mengambilkan makanan untukmu, Nenek yakin sampai Citra selesai makan, kamu masih belum memindahkan netramu dari cucuku." Saka gelagapan ketika ketahuan mengamati gadis di sampingnya. Sedangkan Citra yang baru saja menelan nasi berisi sambal, langsung terbatuk.
"Uhuk…uhuk." Sigap, Saka segera memberikan ari putih ke Citra.
"Hati-hati." Saka membantu Citra minum sembari memukul-mukul kecil punggung gadis itu.
Sejenak dua pasang mata bertemu dan saling mengunci. Detak jantung keduanya pun bertalu, ada perasaan aneh menjalar di relung hati Saka. Tanpa dia sadari, perlahan kepala Saka mendekati wajah Citra. Nyaris saja bibir tipis itu menempel di bibir gadis cantik yang terdiam bak patung, kalau saja Nenek Sena tidak mengganggu moment indah itu.
"Hem…." Sadar situasi, Saka langsung menjauhkan diri dari gadis yang masih tegang. Citra tidak menyangka aka nada moment dimana orang-orang akan menyebutnya so sweet.
"Kamu tidak apa-apa, Nduk?" Tanya Nenek Sena membuyarkan kegugupan pada masing-masing pemuda di hadapannya ini.
Sepasang muda mudi, ehm maksudnya calon sepasang muda mudi tengah menetralkan degupan dalam diri mereka masing-masing. Berusaha tenang, Citra menyembunyikan kegrogiannya sebaik mungkin. "Aku tidak apa-apa, Nek. Citra sudah kenyang, Citra ingin kembali ke kamar Citra."
"Baiklah, kamu minum obatnya dulu." Nenek Sena memberikan beberapa pil dari rumah sakit. Citra pun langsung menerima dan meminumnya dalam sekali tenggak.
"Terima kasih banyak, Nek. Kalau begitu Citra duluan ke kamar ya, Nek," Nenek Sena mengangguk. Citra bersiap untuk mendorong kursi rodanya, namun sigap Saka langsung mendorong pelan kursi tersebut. Citra mendongak dan mendapati Saka dengan raut muka datar menatapnya juga.
Citra memilih mengabaikan dan membiarkan Saka melakukan apapun sesuai kehendaknya sendiri. Citra sungguh lelah seharian ini dibuatnya. Perdebatan yang endingnya tetap membuat Citra kalah melawan kata-kata Saka. Dia pusing akan tingkah Saka yang dia pikir terlalu berlebihan memberikan perhatian padanya.
"Tidurlah, aku akan di sini sampai kamu tertidur."
"Ck, dalam sehari kamu bertingkah seolah ibuku saja."
"Anak pintar, terserah kamu mengartikan sikapku seperti apa. Yang penting cepat istirahat, tidak baik tidur malam-malam, itu akan mengganggu kesehatanmu."
Citra melengos lalu menarik selimut kasar hingga batas dada. Saka masih dengan wajah datarnya mengusap kepala Citra lembut. "Apa perlu aku nyanyikan nina bobo biar kamu cepat terlelap?" Ujar Saka beberapa saat karena Citra tdak juga memejamkan mata.
"Diamlah, aku tidak bisa tidur jika kamu berisik," sungut Citra.
Seyungging senyum simpul terbit di bibir pria yang sedari pagi memasang wajah datar padanya. Saka benar-benar memperlakukan Citra bak anak kecil yang butuh perhatian. Selain mengucap kepala gadis itu, Saka juga mengusap tangannya. Berulang kali disingkirkan oleh Citra, namun berulang kali pula Saka melabuhkan tangannya lembut ke tangan gadis keras kepala yang terbaring di depannya.
Tak lama setelah keheningan di ruangan berukuran 4x4, Saka mendengar nafas teratur dari Citra menandakan bahwa gadis itu sudah tertidur pulas. Sebelum bangkit meninggalkan kamar, Saka mencium kening Citra lembut. Netranya pun beralih pada bibir berwarna soft pink, susah payah dia menelan salivanya berusaha untuk menahan diri tidak menyatukan bibirnya ke bibir Citra. Sebelum kebablasan dan tidak bisa mengontrol diri, Saka bangkit dan pergi.
"Nek, Saka pamit pulang dulu. Citra sudah tidur di kamarnya," pamit Saka menemui Nenek Sena di ruang makan. Nenek Sena sedang mengupas buah di atas piring.
"Wah, tumben anak itu cepat sekali tidur? Biasanya jam segini masih main gawai."
"Saka punya mantra buat orang seperti putri tidur, Nek," gurau Saka.
"Mungkin karena mantra kamu, Citra hari ini menjadi gadis pintar dan penurut." Saka tersenyum simpul. Sebenci apapun Saka terhadap Citra dan keluarganya, lelaki itu masih punya etika dalam bersikap dengan orang yang lebih tua.
"Saka pamit ya, Nek!" Saka mengambil tangan Sena setelah wanita renta itu meletakkan pisau yang dipegang. Usai menarik tangan dari tangan Saka, perempuan tua itu menutup buah yang sudah selesai dikupas dalam kotak Tupperware.
"Bawalah, Nenek lihat tadi kamu belum sempat makan. Saat sampai rumah kamu bisa makan tanpa ada gangguan lagi." Saka menerima dua tiga kotak yang sudah disusun rapi.
"Terima kasih banyak, Nek."
"Sama-sama."
Saka pergi menuju rumah di seberang jalan dari rumah Citra. Dari kamar, bisa Citra lihat saat Saka berjalan dengan gaya tersendiri yang membuat Citra hanya memandang punggung saja mampu menggetarkan hatinya. Citra memang pura-pura tidur, dia ingin pria itu segera pergi dari rumahnya.
Jujur saja selama Saka berada di dekatnya, hal itu membuat Citra merasa senang sekaligus kurang nyaman. Andai saja sikap Saka tidak dilandasi rasa bersalah, tentu Citra akan sangat bahagia dan merasa menjadi wanita paling beruntung di banding makhluk Allah yang lain. Sayang sekali, lagi-lagi Citra harus menerima kenyataan bahwa apa yang dilakukan oleh Saka sebatas rasa bersalah dan tanggung jawab semata.
Saat asyik menatap punggung pangerannya, Citra kelabakan ketika tiba-tiba saja Saka berbalik menatap jendela kamar Citra yang kebetulan tengah menatapnya intens. Tentu saja, Citra langsung memejamkan mata kembali berpura-pura tidur.
Menunggu beberapa saat, Citra mengintip memastikan bahwa pria tadi sudah masuk ke dalam rumahnya sendiri. Salah, ternyata Saka masih setia memetung dalam radius beberapa meter dengan bersidekap. Tahu bahwa Citra membuka mata, Saka langsung menggerakkan tangan sebagai penyangga kepala sejenak menandakan jika Saka meminta Citra untuk tidur beneran, bukan main-main lagi. Sungguh perlakuan yang sangat manis bagi Citra. Lalu tangannya pun terangkat menyentuh kening bekas ciuman Saka tadi.
Mata Saka membuat, dia tidak menyangka kalau Citra mengetahui kelakuannya barusan. Kali ini bukan Citra lagi yang memejamkan mata, melainkan Saka yang malu langsung berbalik arah dengan langkah lebar. Secepat mungkin dia berusaha segera menghilang dari pandangan gadis itu.
Citra dibuat tertawa terbahak melihat kelakuan lelaki yang biasa terkenal dingin tak tersentuh tersebut. "Dasar konyol." Citra mencoba yakin bahwa keputusan untuk menikah dengan Saka mungkin tepat. Dari cara lelaki itu memperlakukannya seharian ini sampai ciuman mendarat di keningnya, Citra bisa merasakan ketulusan Saka untuknya.
"Semoga aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku dan kita akan menemui akhir bahagia dalam biduknya rumah tangga yang akan kita jalani nanti," gumam Citra.