Saka melotot kala melihat layar gawainya, di sana tertera nama orang yang begitu di cintai dan tidak ingin sedikit pun Saka menyakiti. "Mama," gumam Saka sangat lirih agar tidak bisa di dengar oleh orang yang duduk di depannya dengan halangan meja kayu cukup panjang.
Ada raut khawatir, kalau-kalau Citra mengetahui siapa yang memanggil. Tidak ingin merusak suasana, Saka pamit keluar menerima panggilan dari sang Mama. "Aku terima telfon dulu, ya! Nanti aku lanjut makannya." Citra mengangguk tanpa ingin tahu siapa yang melakukan panggilan untuk suaminya.
"Iya, Ma! Apa kabar?" sapa Saka setelah panggilan terangkat.
"Kamu apa kabar sayang? Kenapa beberapa hari ini tidak memberi kabar sama sekali ke Mama? Lebih dari seminggu loh, Mama kangen." Saka tersenyum mendengar protes dari sang Bunda tercinta.
"Maafkan Saka, Ma. Akhir-akhir ini memang Saka sedang banyak urusan, jadi telat ngasih kabar ke Mama," alibi Saka, tidak mungkin dia katakan yang sebenarnya.
"Baiklah, tapi Mama kangen sekali sama kamu, Nak. Mama ingin kamu pulang ke Bandung."
"Nanti Saka kabari Mama saat Saka sudah ada waktu luang, Saka tengah mempersiapkan pembukaan Restaurant baru yang Saka kembangkan Ma. Doakan Saka berhasil, ya!"
"Pasti sayang, doa Mama akan selalu menyertaimu."
"Terima kasih banyak, Ma. Saka sayang Mama."
"Love you more, boy."
Saka mematikan panggilan bertepatan dengan Citra yang baru saja datang. "Dari siapa, Kak?" tanya Citra langsung mendapat pelototan dari lelaki di depannya.
Citra mengernyitkan kening, "Apa salahku? Kenapa dia seperti marah begitu? Aku hanya bertanya, apa begitu saja salah?" Citra menghendikan bahu acuh lalu mengekori Saka menuju meja makan.
"Setelah ini kita akan pindah ke Apartemenku," ujar Saka dingin. Lagi, Citra menautkan keningnya. Ada apa dengan Saka? Kenapa sehabis menerima telefon, sikapnya berubah dingin seperti sebelum 4 harian ini.
"Iya, aku ikut kemana aja Kakak mengajakku." Saka mengangguk dan melanjutkan makannya.
Lima belas menit berlalu, acara makan pagi pun usai. Meskipun berubah dingin dan Citra tidak tahu apa penyebabnya, Saka tetap menaruh perhatian pada gadis yang kemarin baru saja dihalalkan. Lelaki itu membantu Citra membawa peralatan makan yang kotor ke tempat cucian piring.
Disaat Citra bersiap untuk mulai mencuci bekas makan mereka, sigap Saka langsung mengambil alih posisi dan mencuci seluruh peralatan yang ada di wastafel. Citra tentu saja dibuat kagum dengan sikap Saka. Ternyata pria itu bukanlah pria manja yang apa-apa harus dilayani. Lelaki tadi begitu terampil ketika membersihkan seluruh perlatan makan.
"Aku bantu kamu membereskan pakaian untuk pindah, setelah itu baru kita berpamitan pada Nenek setelah Nenek selesai berdagang." Citra hanya mengangguk mengikuti setiap ucapan Saka.
Pukul sepuluh pagi, Nenek Sena sudah kembali ke rumah karena dagangannya telah habis tak bersisa. Nenek terkejut mendapati dua koper menanti kedatangannya. "Apa ini? Kalian mau kemana?" tanya Nenek penasaran.
"Saya ingin membawa Citra pindah ke Apartemen Saka, Nek. Selain dekat dengan tempat kerja Saka, disana juga dekat dengan Rumah Sakit untuk terapi Citra. Rumah Sakitnya sudah terkenal bagus dan sangat baik dalam menangani pasien. Untuk mempersingkat waktu, akan lebih cepat dan mudah jika kami pindah ke sana. Nenek tidak keberatan kan dengan, itu?"
Nenek Sena nampak berpikir sebentar, tak lama beliau pun mengangguk setuju. "Nenek sih tidak masalah, yang penting Citra nyaman dimanapun dirinya tinggal. Bukan begitu, Nduk?"
"Iya, Nek. Asal perginya sama suami sendiri, mau tinggal di kolong jembatan pun akan Citra ikuti." Setulus itu memang kasih dan cinta Citra untuk Saka. Saka kagum mendengar penuturan istrinya, dari pancaran sinar mata Citra terlukis betapa besar gadis itu mencintainya.
"Kenapa sebesar itu kamu dalam mencintaiku. Maafkan aku Citra bila tidak bisa membalas ketulusan hatimu. Kamu wanita terbaik bagi seorang suami, tapi mungkin bukan aku. Maaf aku menikahimu hanya atas dasar rasa bersalahku padamu yang menyebabkan kelumpuhan. Meskipun aku tahu bahwa kau pun tidak menginginkan pernikahan macam ini," Namun tidak ada pilihan lain selain tawaran pernikahan. Dia tidak ingin berhutang budi selamanya terhadap sosok gadis cantik nan baik tersebut.
"Terima kasih." Hanya itu yang bisa Saka ucapkan.
"Kenapa kami berterima kasih? Seharusnya kamilah yang mengucapkan kata itu. Karena Nak Saka telah sudi meminang cucuku. Entah apa yang terjadi bila Nak Saka tidak berbaik hati dengan mau menikahi Citra, Nenek takut jika Citra hanya akan menjadi perawan tua dan menderita sendiri. Umur tidak ada yang tahu, Nenek takut bila nanti Nenek sudah tiada maka tidak ada lagi yang peduli padanya." Panjang lebar Nenek Sena mencurahkan isi hati dengan sesekali mengusap air mata.
"Nek, apa Nenek pikir, Citra ini sangat buruk rupa sehingga Nenek begitu mengkhawatirkan Citra? Allah tidak tidur, Nek. Pasti akan datang orang baik untuk menjadi jodoh Citra. Dan terbukti kan sekarang Citra bisa menikah dengan lelaki baik juga bertanggung jawab. Nenek jangan pernah bersedih lagi, ya! Citra sudah bahagia sekarang, jadi Nenek juga harus bahagia."
Nenek Sena mengelus lembut pipi sang cucu. "Nenek pasti akan sangat merindukanmu. Jaga diri kalian baik-baik, ya!" tak kuasa, Citra pun meneteskan cairan bening dari kelopak matanya, sedih rasanya meninggalkan sang Nenek sendirian. Ada sesuatu yang sangat berat namun apa daya jika Saka menginginkan dirinya untuk pergi dari rumah yang ia tinggali bertahun-tahun.
Mengerti kesedihan sang istri juga Nenek Sena, Saka pun berencana untuk membawa serta orang terkasih satu-satunya di hidup Citra. "Nenek, saya harap Nenek juga mau ikut kami ke Apartemen. Saya tidak tega harus meninggalkan Nenek sendirian di sini. Mari Nek, kita hidup bertiga dan di sana nanti Nenek bisa menemani Citra ketika saya tengah bekerja."
"Tidak perlu, Nak Saka. Nenek tidak bisa meninggalkan rumah peninggalan Kakeknya Citra. Nenek sudah nyaman di sini, Nenek ingin sampai akhir hayat Nenek, Nenek tetap akan menghembuskan nafas sampai diujung kehidupan Nenek hanya di sini. Maafkan Nenek yang tidak bisa memenuhi permintaanmu, Nak Saka," tolak Nenek Sena.
Tentu saja, beliau tidak ingin merepotkan anak muda itu. Cukup baginya dengan Saka mau merawat serta membantu Citra untuk sembuh seperti sedia kala. Itu sudah membuatnya bahagia.
"Tapi, Nek. Citra pasti akan sangat bahagia bila Nenek tinggal bersama kami. Saya juga tidak ingin nantinya Citra kesepian setiap kali saya tidak di rumah." Saka masih berusaha untuk terus membujuk wanita renta di depannya ini.
"Tidak, terima kasih banyak Nak Saka."