"Saka… tidak bisa, Nek. Maaf." Dengan penuh penyesalan, Saka mengucapkan sesuai keinginannya. Nenek Sena kaget, nafasnya tersengal menahan diri agar tetap dalam keadaan sadar.
"Sebelum Nenek menghembuskan nafas terakhir, Nenek. Tolong berjanjilah untuk tidak pernah meninggalkan Citra, Nak Saka. Nenek mohon."
Saka termenung sejenak. Dalam keadaan kalut seperti ini, pria itu memang tidak bisa berpikir jernih. Dia pun tidak tega melihat kondisi Nenek Sena yang tidak memungkinkan. Oleh karenanya, Saka memilih mengangguk dan berjanji di depan Nenek Sena untuk tidak pernah meninggalkan Citra dalam keadaan apa pun.
Nenek begitu lega karena akhirnya dia bisa pergi dengan tenang. Setidaknya, sang cucu tidak akan sendirian di dunia ini. "Terima kasih banyak, Nak Saka. Terima kasih, kali ini Nenek bisa melepas kehidupan Nenek dengan bahagia. Nenek bisa tenang."
Nafas Nenek Sena semakin tidak beraturan, segera para tim medis pun membara brankar masuk ke UGD. Namun tidak lebih dari lima belas menit, Dokter yang menangani Nenek Sena pun keluar untuk memberi kabar tidak menyenangkan.
"Bagaimana dengan Nenek saya, Dok?" Citra mengguncang bahu sang Dokter tepat setelah keluar dari ruangan menyeramkan tersebut.
"Saya dengan berat hati dan menyesal, ingin menyampaikan bahwa, Nenek dari Ibu telah meninggal. Mohon maafkan kami, karena usaha kami tidak berhasil untuk menyelamatkan nyawa beliau."
"Tidak, tidak… Nenek tidak boleh meninggalkanku. Nenek tidak boleh pergi begitu saja meninggalkanku sendiri. Nenek… hu…hu…hu…." Citra tergugu mendengar berita yang disampaikan oleh pria berseragam putih di depannya. Kini Citra benar-benar sendirian. Dia tidak memiliki siapa-siapa lagi. Penyemangat hidupnya tak lagi berada di dunia ini.
Apa yang akan terjadi pada Citra selanjutnya? Dia sebatang kara, semua orang meninggalkannya. Dari orang tua, sahabat, Saka yang akan menceraikannya. Dan sekarang? Sang Nenek pun lebih memilih pergi dari hidupnya. Sebesar apa dosa yang pernah dia lakukan di masa lalu, sehingga Tuhan menghukumnya sebegitu kejamnya. Apakah dia tidak boleh bahagia bersama orang-orang yang dia cintai? Apa Citra memang ditakdirkan hidup hanya untuk menelan penderitaan dan kekecewaan beriringan?
Masih terguncang dengan apa yang terjadi serta perut yang belum juga di isi sedari tadi membuat Citra akhirnya tidak sadarkan diri. Saka segera membawa Citra masuk dalam pelukan usai menangkap tubuh Citra. "Cit…Citra," panggilnya lirih. Saka mengangkat tubuh lemah Citra dan membawanya ke ruang perawatan.
Satu jam berlalu, mata Citra mulai bergerak dan terbuka. Di pandangnya seluruh ruangan bernuansa putih, lalu memorynya kembali kepada beberapa waktu belakang. Dia ingat jika sang Nenek telah berpulang ke rahmatullah. "Nenek."
"Kamu harus ikhlas, Cit. Nenek sudah tenang di sana, jangan sampai kamu menghambat kepergian beliau dengan tangisanmu. Ikhlaskan Nenek agar jalannya terang, banyak-banyak kirim doa untuk ketenangan Nenek di surga." Citra kembali menangis kencang, di rasanya dia masih tidak percaya jika Nenek telah meninggal.
Citra membuka selimut dan turun dari ranjang. "Kamu tenang dulu, Cit," cegah Saka yang melihat Citra buru-buru keluar dari ruangan berukuran sedang itu.
"Aku ingin bertemu Nenek, Kak. Aku ingin melihat Nenek."
"Hus… tenaglah, kamu harus tenang jika ingin melihat Nenek. Aku akan mengajakmu pergi melihat Nenek setelah kamu merasa lebih baik."
Citra mengatur nafas. Berulang kali dia menarik dan menghembuskan setelahnya. "Aku sudah lebih baik, Kak. Sekarang, bolehkah aku menemui, Nenek?" Dengan sedikit senyum, Saka mengangguk.
Citra dan Saka berjalan beriringan melalui koridor rumah sakit. Langkahnya sejenak terhenti saat berada di depan pintu yang atasnya bertuliskan 'kamar jenasah'. Meskipun dia sudah berusaha setenang mungkin, namun hal itu tetap sulit dilakukan. Citra meneteskan air mata kembali, kali ini tanpa suara. Saka benar, dia harus ikhlas dengan kepergian sang Nenek tercinta.
Degup jantung bertalu, antara memutuskan untuk masuk atau tidak dan akhirnya Citra menguatkan hati agar bisa menjadi sekuat baja melihat tubuh tua renta Nenek Sena terbujur kaku nantinya di dalam sana. "Kamu yakin akan masuk?" Tanya Saka seakan tahu isi hati Citra yang ragu memasuki ruangan itu.
Seumur-umur, tidak ingin sekali pun Citra menapakkan kakinya di tempat paling menyedihkan seperti ruang jenasah. Siap tidak siap, Citra memang harus bisa menerima semua kepedihan ini. "Iya, aku siap." Saka mengangguk dan menggandeng tangan Citra membawa perempuan itu masuk.
Suasana diam mencekam membuat bulu kuduk merinding langsung menyapa Citra dan Saka. Di dalam ternyata sudah ada satu petugas yang menunggu ruangan tersebut. Usai meminta petugas itu untuk memperlihatkan jenasah Nenek Sena, kini tubuh terbujur kaku dengan kain putih menutupi seluruh tubuh. Ya, Nenek Sena sudah dalam keadaan bersih karena Saka meminta pihak rumah sakit untuk mengurus jenasahnya, jadi tinggal mengebumikan saja.
"Kita tidak boleh lama-lama membiarkan Nenek seperti ini. kita harus segera membawa pulang untuk menyolatkan dan menguburkan Nenek Sena," Ucap Saka memberitahu. Citra tidak menjawab, tapi tubuhnya menjauh dari tubuh sang Nenek.
Citra masih terdiam memandangi batu nisan bertuliskan Sena Sintia. Petir menggelegar tanda hujan akan turun, namun dari Citra belum ada tanda-tanda gadis itu akan pergi dari tempat peristirahatan terakhir Nenek Sena. "Kamu harus kuat, Citra. Aku tahu, selama ini kamu adalah gadis mandiri yang kuat dan tidak mengenal lelah. Kamu bukan wanita yang lemah, jadi aku percaya kamu bisa melewati semua ini," ujar Saka menghibur.
"Sebaiknya kita pulang sekarang, hujan sebentar lagi turun," ajak Saka.
"Aku bisa pulang sendiri, Kak. Lebih baik Kakak pulang. Terima kasih untuk bantuannya selama ini dan maafkan aku yang selalu merepotkanmu."
"Kamu ini bicara apa? Itu semua sudah kewajibanku sebagai suamimu." Citra tersenyum miris. Betapa bertanggung jawabnya suaminya ini. Akan tetapi sayang, hati pria itu masih tetap sama, beku dan dingin bila untuk persoalan cinta baginya. Andai saja, mereka berdua bisa menjalani kehidupan rumah tangga yang hangat dan penuh kasih, pasti Citra tidak akan merasa kesepian dan sendiri seperti sekarang.
Semua hanya tinggal asa saja. Mimpi tetaplah menjadi mimpi, meski Citra ingin menjadi kenyataan. "Jangan hiraukan aku, Kak. Sebentar lagi bukankah kita akan berpisah? Jadi aku berharap, Kakak tidak perlu menunjukkan kebaikan apa pun lagi agar aku mudah melepaskanmu."
"Cit…."
"Pergilah, Kak. Aku tidak apa-apa."
Saka pun pergi meninggalkan Citra sendiri. Dia tidak ingin memaksa wanita itu lagi. Saka membuka pintu mobil dan menutupnya dengan kasar, lelaki itu pun sama seperti Citra, berantakan. Saka meraup wajah, pikirannya kalut mengingat janjinya kepada Nenek Sena. Apakah dia bisa menepatinya? Tapi, dia laki-laki. Pantang baginya mengingkari sebuah janji. Pikirannya sangat kacau, sembari menunggu Citra keluar dari area pemakaman, Saka memilih untuk memejamkan mata sejenak demi mengurai kekusutan dari masalah yang terjadi hari ini.