Menyedihkan, baru saja ingin merasakan menjadi istri yang sesungguhnya, Citra malah ditinggal tanpa pamit atau pesan sedikit pun. Hanya pemberitahuan mengenai jadwal bertemu dengan dokter spesialis untuk terapi kakinya. Entah dianggap apa dirinya saat ini oleh Saka, sungguh tega pria itu memberi kejutan di hari pertama dirinya menikah. Tidur di kamar terpisah dan juga pergi tanpa sepengetahuannya. Wao, luar biasa hidup Citra gara-gara Saka.
"Bi! Bisa tolong bantu saya turun dan ke kamar mandi, Bi?" Bi Ijah mengangguk cepat. Itu memang tugas yang diperintahkan oleh Saka untuknya agar selalu menjaga Citra.
"Mari, Non." Bi Ijah membantu Citra untuk berdiri dan berjalan dengan tongkatnya sampai ke kamar mandi.
Citra menginteruksi Bi Ijah agar keluar dan selebihnya akan dia kerjakan sendiri. Bi Ijah membereskan kamar Citra sembari menunggu majikan barunya keluar. Bersamaan dengan pekerjaan Bi Ijah usai, Citra pun keluar menggunakan kimono.
"Nona ingin memakai baju apa? Biar saya ambilkan di lemari. Maaf kalau saya lancang membereskan semua barang-barang, Nona. Tuan Saka memerintahkan saya untuk merapikannya tanpa menganggu istirahat anda."
"Tidak apa-apa, Bi. Terima kasih banyak atas bantuannya."
"Sama-sama, Nona. Ini sudah menjadi tugas saya Nona." Merasa tugasnya sudah selesai, Bi Ijah meninggalkan Citra sendiri di kamar.
**
Hari sudah menunjukkan pukul dua siang, Saka yang pergi mengendarai roda empatnya menuju puncak dimana banyak pemandangan kebun teh yang menambah ke indahan perkampungan tersebut. "Rindu sekali aku bermain di tengah kebun itu saat hujan. Bermain air yang mengalir dari lubang kecil yang ada dalam tanah dataran tinggi. Ingin sekali aku mengulangnya." Saka terkekeh sendiri mengingat keasyikan masa kecil. Meski sudah mengalami nasib buruk, namun ada satu gadis kecil saat itu yang menemaninya dan selalu menghibur dikala dirinya sedih akibat kemelut rumah tangga orang tuanya.
Sebagai anak kecil berumur 10 tahun, Saka sudah banyak mengalami penderitaan akibat keegoisan orang tua. Namun dia bersyukur karena bisa melewati semua ujian itu dengan sangat baik. Semua penderitaan yang dialami tak luput memiliki sangkut paut dengan keluarga Citra yang sampai saat ini belum diketahui oleh istrinya.
Setelah berjam-jam menempuh perjalanan, akhirnya sampailah Saka di depan rumah megah hampir seperti istana untuk ukuran pedesaan di sana. Tergesa untuk segera memeluk wanita paruh baya yang sudah menunggu kedatangan dirinya. "Mama!" seru Saka langsung berhambur masuk ke dalam pelukan sang Mama.
"Sayang." Sambutan hangat dari sang Mama membuat nyaman Saka. Semua beban langsung hilang ketika merasakan pelukan dari orang tua tunggalnya.
"Saka kangen."
"Sama. Kamu kemana saja tidak ada kabar sebulan ini?" protes sang Mama.
"Maafkan Saka, Ma. Di sana Saka sedang sibuk membuka restaurant baru, jadi Saka tidak sempat pulang." cukup masuk akal meskipun kebohongan yang dia ucapkan. Tentu sang Mama percaya toh tidak semuanya bohong karena memang Saka juga sibuk membuka Resto selain menangani Citra.
"Baiklah, Mama tidak akan marah. Ayo masuk, Mama sudah masak semua makanan kesukaan kamu."
"Dengan senang hati, Ma. Saka sudah menahan lapar sedari tadi," ucap Saka tersenyum lalu menuntun sang Mama masuk ke dalam rumah.
"Memangnya kamu belum makan?"
"Belum, Ma. Sengaja Saka memang menahan lapar karena ingin menikmati hidangan lezat dari Mama." Sang Mama pun Cuma bisa geleng-geleng kepala.
"Dasar nakal." Maria menoyor pelan kepala sang anak. Saka terkekeh merangkul pinggang sang Mama erat seakan takut ditinggal sang Mama.
Begitulah kedekatan Saka kepada Ibunya. Hidup berdua membuat Saka begitu menyayangi sang Ibu, tak ada niat sedikit pun ingin menyakit hati sang Mama baik sengaja maupun tidak. Harapan terbesarnya adalah, jangan sampai dia melukai perasaan sang Mama sekecil apa pun, namun itu dulu. Saka tahu jika dirinya sudah salah dengan menikahi gadis dari sumber penderitaan dia juga Maria, dulu.
"Mau pakai lauk apa, sayang?" Tanya Maria ketika keduanya sudah sampai di meja makan dan duduk dengan tenang.
"Nasinya sedikit saja, Ma. Itu terlalu banyak," protes Saka melihat dua centong nasi bertengger di piringnya.
"Kamu harus makan banyak, anak Mama. Mama gak mau nanti kamu sakit."
"Terima kasih banyak, Ma." Niat minta dikurangi gagal. Mau tidak mau, Saka harus menghabiskan menu yang disodorkan sang Mama meski itu berlebihan. Biarlah, membuat senang orang tua itu pahala.
"Bagaimana rasanya? Enak?"
"Enak, Ma. Sangat enak malah. Lihat saja ini piring Saka sudah hampir habis." Maria tersenyum senang anaknya melahap masakannya. Saka memang anak yang selalu bisa diandalkan dan dipercaya. Beruntung Saka bukan pemuda urakan yang bisanya menyusahkan orang tua. Pengalaman hidup membuat lelaki itu menjadi sosok pemimpin yang tegas dan bertanggung jawab penuh akan apa yang dilakukan. Serta terhadap orang yang dia sayang.
"Oya, kapan anak Mama mau ngenalin pacarnya ke Mama, nih? Mama sudah pengen sekali punya menantu dan cucu, biar ada yang menemani Mama ngobrol."
Saka tersedak mendengar penuturan sang Mama yang tiba-tiba. Pacar? Bahkan dia sudah menikah. Ah, sepertinya tidak akan mudah menghadapi ini semua. "Sabar Mah, Saka kan masih fokus sama bisnis Saka. Nanti kalau semua sudah beres, Saka baru memikirkan jodoh. Mama yang sabar ya!" Kini bibir Maria dimajukan lima senti yang membuat Saka terkekeh karena tingkah lucu Maria.
"Mama jangan begitu dong, nanti Saka ambilin karet malah buat nguncir bibir Mama." Seketika mata Maria melotot.
"Memangnya kamu mau jadi anak durhaka, hah? Sembarangan saja bibir Mama mau kamu ikat pakai karet," marah Maria pura-pura.
"Makanya, Mama jangan gemesin gitu dong. Sudah kayak anak ABG saja saat ngambek." Maria menghela nafas panjang mendengar ledekan dari putranya.
"Mama ini sudah tua, sayang. Mama butuh teman curhat saat kamu tidak ada di sini. Mama ingin nanti kamu mencari wanita daerah sini saja, ya! Biar nanti bisa selalu menemani dan merawat Mama. Dan Mama bisa bermain juga sama cucu Mama. Ya?"
"Ma, please… jangan bahas itu dulu, ya! Saka pulang ingin temu kangen sama Mama. Jangan rusak moment kangen-kangenan ini sama hal lain," mohon Saka.
"Tapi…."
"Ma, tolong…,"
Maria pun mengalah, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk memaksa Saka menerima gadis pilihannya. Baru saja membahas pacar saja, Saka sudah terlihat tak tertarik. Ya sudahlah, dari pada putranya marah terhadap dirinya, lebih baik dipending dulu keinginan untuk menjodohkan Saka dengan gadis pilihan yang masih satu kampung.
"Tolong segera beri kabar baik buat Mama, ya! Paling tidak bicarakan pada Mama kesiapanmu menikah, Mama punya kandidat terbaik buat jadi istri kamu."
Saka memalingkan wajah jengah. Tumben sekali sang Mama membahas soal pernikahan, padahal biasanya seolah tak peduli akan hal itu. "Jadi ceritanya Mama mau menjodohkan Saka, begitu?" Saka menggeleng cepat.
"Tidak, Ma. Saka tidak mau, ini sudah bukan jaman Siti Nurbaya yang harus dijodoh-jodohkan, memangnya Mama pikir Saka tidak laku? Mama lihat dong, betapa tampannya anak Mama ini? Bagaimana mungkin seorang Saka Raiden Toru bisa ditolak cewe? Yang ada juga para cewek pasti mengejar Saka. Saka mah tinggal tunjuk juga para cewek langsung bilang 'iya' jika Saka tawari untuk jadi istrinya Saka." Dengan penuh percaya diri, Saka memaparkan bagaimana hebatnya dia dimata lawan jenis. Memang suatu kebanggan karena Tuhan menciptakan dia sebagai makhluk yang tampan nan rupawan.
Sayang sikap dinginnya membuat sebagian wanita menyerah kecuali Citra. Sebagian besar masih berharap dilembutkan hati Saka, namun sebagian lagi mengambil langkah mundur dari pada sakit hati. Dan perempuan tangguh yang tidak menyerah adalah Citra, bahkan rela menjadikan dirinya sebagai pengganti dikala dirinya dalam bahaya.