Jam menunjukkan pukul 24.00 WIB. Tanda bahwa acara sudah selesai dan kedua mempelai tengah bergeming di ranjang kecil milik Citra. Antara Saka dan Citra hanya diam membisu, mereka pun bingung memulai percakapan seperti apa? Ada kegugupan tersendiri di hati masing-masing. Meski Saka tidak memiliki rasa cinta kepada gadis di sebelahnya, namun kejadian hari ini membuat Saka sadar jika Citra kini sah menjadi istri juga tanggung jawabnya penuh.
Hidup wanita itu mulai hari ini akan terus bergantung padanya. Inilah pilihannya, tidak mungkin dia sesali. Tapi entah mengapa, jantungnya berdegup kencang berada di titik terdekat seperti ini dengan gadis itu.
"Ehm, apa kakak akan terus begini sampai besok pagi?" Tanya Citra ragu.
"Kenapa?"
"Aku pikir Kakak akan pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri."
"Ya, kamu benar. Aku akan mandi terlebih dahulu, setelah itu membantumu membersihkan badan." Saka bangkit menuju koper yang tergelat di samping lemari pintu dua milik Citra. Mengambil satu stel baju rumahan, Saka berlalu ke kamar mandi. Meskipun kecil, tapi kamar Citra memang dilengkapi dengan kamar mandi dalam. Dan itu dibuat semenjak Citra mengalami kelumpuhan.
Pipi Citra bersemu merah mendengar kata Saka yang hendak membantunya membersihkan badan setelah lelaki itu selesai lebih dulu dalam ritual pembersihan badan. Selama tiga hari terakhir ini, tidak bisa Citra pungkiri bahwa perhatian Saka kepada dirinya memperkuat benih cinta yang sampai sekarang masih tertanam kuat dihatinya.
Bayangan akan malam pertama pun melintas dalam pikirannya. Akankah secepat itu mereka akan melakukan malam pertama? Gugup semakin menjadi-jadi dirasa oleh Citra. Sampai kedua tangan gadis itu bergetar. "Ya Allah, bantu aku mengendalikan diriku sendiri. Astagfirullahhaladzim, astagfirullahhaladziim." Citra terus saja mengulang istigfar sampai tak sadar ternyata pintu kamar mandi sudah terbuka mengeluarkan seseorang dari dalam sana.
Saka mematung melihat ekspresi Citra yang bisa dibilang… entahlah. Saat ini posisi Citra yang tengah menggenggam tangannya sendiri erat serta mata terpejam tak kalah erat dengan mulut komat-kamit, entah apa yang diucapkan gadis itu.
Salah satu sudut bibir Saka terangkat karena memergoki Citra yang menurutnya sungguh lucu. Baru kali ini dia melihat gadis tersebut bersikap menggemaskan seperti ini. benar-benar pemandangan yang tidak boleh dilewati.
"Kamu gugup?" sontak saja, Citra langsung membuka mata. Netranya membulat sempurna mendapati suami barunya sudah berdiri tegak di depannya. Hanya tinggal beberapa centi saja, kulit mereka bersentuhan.
"Ka… Kakak kapan keluar?" Senyum Saka mengembang, tidak kuat lagi rasanya menahan keluguan perempuan di depannya ini.
"Kamu saja yang tidak mendengar saat pintu kubuka. Padahal suaranya cukup mengganggu, tapi ku rasa kamu tidak."
Citra segera mengalihkan penglihatannya agar tak terlalu terlihat betapa dia malu bercampur grogi. "Kalau begitu, ganti aku mandi." Citra mencoba untuk berpindah tempat ke kursi rodanya. Bukannya menyingkir, Saka malah sengaja menghalangi pergerakan Citra untuk menggapai kursi andalannya.
"Maaf, Kak. Aku kesulitan mengambil kursi roda itu kalau Kakak berada di depanku seperti ini," lirih Citra.
Tanpa bertanya ataupun meminta ijin lebih dahulu, Saka langsung menggendong Citra menuju kamar mandi. Jelas saja Citra menjerit merasakan dirinya melayang tanpa ada persiapan. "Akh…," pekik Citra. "Apa yang Kakak lakukan?"
"Diam dan jangan berisik." Citra mengunci mulut rapat-rapat. Apa yang seharusnya terjadi biarlah terjadi. Akan jauh lebih baik kalau Citra mempersiapkan diri sebaik mungkin demi bisa melayani suaminya malam ini.
Pertama-tama, Saka lebih dulu mendudukkan Citra di atas toilet duduk. Keluar dari kamar mandi, Saka kembali membawa kursi plastik dan menempatkannya di bawah shower. Dibawah shower yang masih mati. Saka membantu Citra melepas kebaya dan pernak perniknya. Jantung mereka berdebar semakin hebat, gemetaran di tubuh Citra yang tidak bisa dikendalikan tak luput dari penglihatan Saka.
Resletting sudah berhasil terbuka dan menampakkan pemandangan begitu indah. Punggung putih mulus tanpa noda sedikit pun terpampang jelas dalam manik Saka. Beberapa kali pria itu menelan salivanya, sesuatu yang berada di bawah sana pun menegang.
Tidak, dia harus bisa mengendalikan diri. Jangan sampai melakukan kesalahan yang akan membuatnya menyesal dikemudian hari. Dengan susah payah, akhirnya Saka berhasil mengendalikan birahinya dan cepat-cepat membantu Citra membersihkan badan. Tidak munafik Saka akui jika tubuh Citra begitu menggoda dan sangat indah. Ingin sekali dia menikmatinya, toh sekarang sudah halal dan apapun sah dilakukan olehnya.
Mengingat kebencian juga tujuan awal menikah, Saka harus bisa menahan diri untuk tidak menyentuh gadis itu. Lima belas menit berlalu, Saka sudah berhasil memandikan Citra dengan rasa yang tidak bisa dia gambarkan. Ini pertama kalinya dia bersentuhan langsung pada area sensitive milik lawan jenis, sungguh luar biasa tak terkira bagaimana groginya dia sampai-sampai Citra bisa merasakan tangan Saka yang gemetar kala menggosok seluruh tubuhnya.
"Aku bisa memakai baju sendiri, Kak," tolak Citra ketika Saka hendak memakaikan bra untuknya.
"Apa kamu yakin?"
"Sangat yakin," jawab Citra setelah mengangguk sanggup.
"Baiklah, tapi aku akan tetap di sini mengawasimu. Saat kamu mengalami kesusahan, dengan mudah aku segera membantu," tukas Saka kemudian.
"Iya." Gerak cepat, Citra buru-buru memakai pakaiannya. Namun keterbatasan lagi-lagi membuat segala aktifitas Citra sedikit lambat. Pada saat memakai celana dalam, memang agak kesulitan. Saka berinisiatif menolong, tapi langsung ditolak oleh Citra.
"Aku bisa, Kak. Ya meskipun cukup lama memakainya, tapi aku bisa." Saka mengangguk dan berhenti membantu.
Saka membawa Citra ke ranjang kecil. Meskipun berdesakan, entah kenapa Saka tidak masalah dengan itu. "Kasurnya kecil ya, Kak? Tidak sama seperti di rumah Kakak. Kakak pasti tidak nyaman tidur di sini." Citra memandang langit-langit kamar, nyalinya menciut untuk sekedar bertatap muka dengan suaminya. Mengingat segala sesuatu yang terjadi barusan, wajah Citra sudah memerah bak kepiting rebus tanpa bisa dia tutupi.
"Aku tidak ada masalah sama sekali dengan semua ini. Aku bisa tidur dengan posisi seperti ini." Saka mengambil posisi miring lalu meletakkan tangannya di atas perut Citra. Sejenak Citra menahan nafasnya, mulutnya terkatup rapat tanpa mampu mengeluarkan suara sedikit pun. Tubuhnya tegang, raut wajahnya menunjukkan ketidak nyamanan.
Saka tersenyum simpul mendapati gelagat lucu dari wanita yang sudah dihalalkan tadi pagi. "Tidurlah! Mulai sekarang, biasakan bersentuhan denganku. Jangan gugup atau tegang seperti sekarang. Tarik nafas jika kamu masih mau hidup."
Citra gelagapan karena Saka menebak tepat yang terjadi pada dirinya. "Ta… tapi…."
"Shutt…, tidurlah!" Citra meneguk ludah kasar, lewat ekor mata, Saka sudah memejamkan mata. Walau sulit, gadis itu memaksa matanya agar turut terpejam. Nihil, hingga tiga puluh menit tak sedikit pun rasa kantuk menyerang.
Dengan hati-hati, Citra menoleh ke samping. Dengkuran halus terdengar di rungunya. Saka sudah terlelap, pikir Citra. Perlahan tangannya terulur menyentuh pipi pujaan hatinya, sungguh pahatan sempurna dengan bulu mata lentik, pipi tirus, kulit kuning sempurna, hidung mancung serta bibir tipis. Dengan alis lumayan tebal menambah ketampanan nyata terpajang di wajah sang suami.