"Aku tidak menyangka jika pada akhirnya aku bisa memilikimu, Kak. Aku kira selamanya kamu tidak akan pernah mau menerimaku, bahkan sekedar menjalin hubungan baik pun kamu menolak. Tapi takdir berkata lain, kita malah dipasangkan sebagai suami istri. Aku harap pernikahan kita bisa langgeng sampai tua nanti. Bermain dengan anak cucu kita dan hidup bahagia. Aku akan terus berdoa agar Allah mengabulkan permintaanku untuk memberikan hatimu padaku. Aku ingin kamu mencintaiku setelah Allah. I Love U, Kak." Citra mengecup salah satu mata Saka lembut dan berusaha untuk tidak mengganggu tidur Saka.
Saka membuka mata perlahan setelah memastikan jika gadis di sebelahnya itu benar-benar sudah tertidur. ya, Saka belum masuk ke alam mimpi, dia pun mendengar dan tahu apa saja yang dilakukan Citra sereta ucapan I love U. Cinta gadis itu tidak pernah terkikis oleh waktu, Saka salut akan itu.
Dengan sangat hati-hati, Saka turun dari ranjang mengambil bantal dan selimut lalu keluar mengendap-endap. Tujuannya ke ruang tamu dimana di sana terdapat satu sofa panjang. Saka langsung saja memasang bantal dan menggelar selimut guna menutupi tubuhnya sebatas perut. Matanya menerawang jauh di masa silam.
"Papa, kenapa Papa lakukan ini? Kenapa Papa tidak tinggal lagi di sini bersama Saka dan Mama," mohon anak lelaki berusia 8 tahun.
"Maafkan Papa, Nak. Tolong jangan benci, Papa. Papa melakukan semua ini demi kamu juga Mama walau taruhannya kita harus berjauhan. Papa berjanji akan kembali setelah semuanya beres."
"Tidak, Papa tidak boleh pergi! Kasihan Mama, Pa. Kami rindu Papa. Kami tidak ingin lagi jauh dari, Papa," rengekan anak kecil itupun tak mampu meluluhkan hati pria dewasa yang sudah memanggul tas besar berisi pakaian. Dengan langkah cepat, pria dewasa tadi memilih pergi meninggalkan anak dan istri yang memohon untuk tetap tinggal, namun diabaikan.
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu juga dia. Jadi jangan salahkan aku kalau aku mungkin akan selalu menyakiti hati gadis itu. Anggap saja sebuah balasan." Setelahnya, Saka memejamkan mata dan mulai hanyut ke alam mimpi.
**
Suara adzan subuh berkumandang, hal itu tentu membangunkan Saka karena suara yang begitu keras. Jarak antara rumah Citra dengan mushola memang tidak jauh, hanya berjarak dalam hitungan beberapa kilo saja. Tidak ingin Citra dan Nenek Sena curiga, Saka bangun dan merapikan bantal serta selimut lalu membawanya ke kamar lagi.
Di saat pintu kamar terbuka, Saka dikagetkan oleh Citra yang baru saja keluar dari kamar mandi menggunakan tongkat. Ya, satu hari sebelum pernikahan berlangsung, Saka memang membelikan Citra tongkat untuk mempermudah Citra menggerakkan kegiatannya di kamar mandi atau dalam kamar.
"Selamat pagi, Kak. Kakak sudah bangun?" Saka hanya mengangguk, dia sedikit kikuk karena ketahuan jika dirinya tidak tidur bersama Citra di kamar.
"Kakak mau shalat?" mengabaikan fakta menyakitkan, Citra sesungguhnya berharap bahwa Saka mau berbagi ranjang dengannya meskipun itu sempit. Dengan begitu, akan menambah keintiman dari keduanya meski tidak melakukan apa-apa. Tidak salah bukan kalau Citra ingin hubungannya dengan sang suami semakin baik apa lagi setelah menikah.
Ah… mungkin karena tempatnya terlalu kecil dan memang Saka tidak nyaman sebab itu. Citra menampilkan senyum terbaiknya agar Saka tidak berpikir macam-macam tentangnya, meski memang dia sebenarnya berpikir macam-macam.
Saka mengangguk, "Kamu shalat saja sendiri, aku akan ke masjid."
"Baiklah." Citra menghampiri lemari dan mengambil alat shalat. "Kamu bisa?" Tanya Saka melihat Citra yang seidkit kesulitan.
"Iya, bisa kok." Saka tidak berniat mendekat untuk membantu, dia hanya memperhatikan dari ambar pintu kamar mandi. Usai memastikan bahwa Citra sudah memakai mukena lengkap, dan duduk di atas sajadah, baru Saka memasuki kamar mandi untuk mandi dan mengambil sarung. Karena kondisi Citra yang tidak memungkinkan untuk berdiri, Citra memang melakukan ibadah dengan cara duduk.
Sembari menunggu pujian di Masjid selesai, Citra gunakan dengan turut menyanyikan shalawat. Sebelum pujian dari masjid berhenti, Saka sudah keluar dari kamar kecil dengan kemeja berserta sarung lengkap sama peci di kepala. Citra tidak berkedip melihat betapa tampannya lelaki yang berdiri di depan matanya dengan sedikit air menetes dari rambutnya.
"Kenapa melihatku seperti itu? Kamu akan mengakui kalau aku tampan, bukan?" Ucap Saka penuh percaya diri dengan mengedipkan satu mata menggoda sang istri.
"Apa-apaan itu. Kakak terlalu percaya diri," sanggah Citra malu karena ketahuan.
"Kalau aku tidak tampan, tidak mungkin kamu akan jatuh cinta padaku. Bahkan sudah aku tolak berkali-kali nyatanya cinta itu tidak terhapus sedikit pun meski sudah termakan waktu." Ya, Saka memang benar jika Citra begitu mencintainya. Namun apakah harus pria itu ucapkan dengan lantang di depan gadis yang dulu mengejarnya.
"Tidak masalah, bukan jika aku melihatmu dengan penuh kekaguman? Toh aku ini istrimu dan yang pasti kamu sudah menjadi milikku," Goda Citra balik yang pasti membuat Saka langsung terdiam dan mengambil langkah cepat meninggalkan kamar dengan Citra yang terkikik melihat raut wajah malu Saka.
"Dasar lucu, hahaha." Tawa Citra semakin tergelak akibat tingkah suaminya. Saka yang belum terlalu jauh jaraknya dengan kamar tentu saja masih bisa mendengar bagaimana Citra menertawakan dirinya. "Sekali lagi kamu bertingkah bodoh di depan gadis itu Saka," gumam Saka sembari menepuk jidatnya.
**
Sepulang dari masjid, Citra membantu Nenek meracik bumbu juga menyiangi sayuran untuk sarapan sekaligus berdagang. Nenek Sena menjual nasi uduk setiap pagi, pelanggan tak pernah surut setiap harinya. Nasi uduk buatan Nenek Sena sudah terkenal di beberapa RT bahkan satu RW pun sudah mengakui keenakan masakan Nenek Sena.
Saka tidak ingin terlibat oleh urusan para wanita beda generasi di dapur. Dia memilih untuk masuk kamar dan membuka laptop meneliti pemasukan dari laporan yang dikirim oleh asisten pribadinya. Beberapa hari ini memang Saka lebih fokus pada Citra dan mengabaikan pekerjaan yang diserahkan oleh sang asisten.
Tak terasa waktu berjalan sangat cepat. Tepat pukul delapan pagi, Citra masuk dan mengajak Saka untuk sarapan bersama. "Kak, sarapan sudah siap." Saka menutup laptopnya, kebetulan memang pekerjaannya pun sudah selesai.
"Ayo!" Saka mendorong kursi roda Citra dan membawanya ke ruang makan.
"Kemana Nenek? Kenapa hanya kita berdua saja yang sarapan?" tidak mendapati kehadiran Nenek Sena membuat Saka bertanya-tanya. Apakah Nenek Sena sengaja membuat dia dan Citra semakin dekat dengan memberikan waktu berdua lebih banyak?
"Nenek ada di depan rumah untuk berdagang." Ah, Saka lupa kalau Nenek Sena menghasilkan uang dari berjualan nasi uduk di depan rumah.
"Kakak maul auk apa?" Tanya Citra sudah menggenggam piring berisi nasi uduk.
"Ehm, aku pakai sambal telur sama ayam saja."
"Tidak ingin pakai sayur?"
"Tidak terima kasih."
Citra mengambil makanan sesuai yang diminta Saka. Keduanya makan dalam hening, hingga tiba-tiba suara dering ponsel dari Saka memecah suasana. Saka melirik layar ponsel dan seketika matanya melotot kala panggilan video masuk dari seorang wanita.