"Bodoh, kenapa juga aku tadi menciumnya? Dasar bodoh, bodoh, bodoh. Kenapa pula Citra itu harus pura-pura tidur segala dan kenapa aku harus terbawa perasaan. Bukan, bukan dia yang salah. Ini semua salahku sendiri. Benar-benar tidak berguna kamu Saka," rutuk Saka pada dirinya sendiri.
Kotak makan yang masih ditangan dia letakkan begitu saja di atas meja makan. Dirinya masih menyesali dengan kejadiaan beberapa saat tadi. Rasa gerah menyelimuti tubuhnya, cepat Saka menyambar handuk dan membersihkan diri.
Saka keluar dengan rambutnya yang basah. Tanpa kembali ke kamar mandi, pria itu langsung memakai pakaian yang sudah dikirim Taksa tadi sore. Ya, selama Saka berada di rumah Citra, dia meminta Taksa untuk mengambil beberapa potong pakaian untuknya.
"Bagaimana? Kamu sudah mulai mengurusnya?" Tanya Saka pada seseorang di seberang sana.
"Sudah, aku sudah menyiapkan semuanya. Mungkin dalam waktu tiga hari kalian sudah bisa melangsungkan pernikahan."
"Bagus. Kamu memang tidak pernah mengecewakan aku."
"Tapi kamu selalu mengecewakan aku," balas orang entah berada dimana saat ini.
"Kapan aku mengecewakanmu?" Tanya Saka tidak terima.
"Hampir setiap hari. Tapi untuk keputusanmu kali ini, aku minta kamu tidak mengecewakanku. Citra sudah ku anggap seperti adik sendiri. Jika kamu menyakitinya, sama saja kamu menyakitiku juga. Dan kamu tahu, aku tidak akan pernah memaafkanmu. Ingatlah perkataanku malam ini selalu. Aku akan sangat rela melepaskan persahabatan kita demi dia." Orang yang selama ini membantunya memberi ultimatum paten yang tidak bisa diganggu gugat ataupun diprotes olehnya.
"Kamu tenang saja, Tak. Aku berharap juga sepertimu, semoga aku tidak akan pernah mengecewakan kamu dan semua orang," jawab Saka pada Taksa.
"Aku pegang kata-katamu." Panggilan pun diakhiri sepihak oleh Taksa.
"Maafkan aku, Taksa. Sepertinya aku akan kembali mengecewakanmu," gumam Saka selepas perbincangan mereka berdua melalui saluran seluler.
Merasa perut keroncongan, Saka melangkah menuju meja makan dan membuka menu yang disiaokan Nenek Sena untuknya. Terlihat begitu menggugah seleranya, tanpa menunggu lama, Saka langsung makan lahap.
Tiga hari sudah, Saka akhirnya menikahi Citra. Hari ini merupakan hario bersejarah bagi Citra dan Saka. Selama tiga hari terakhir, Saka membuktikan ucapannya dan menunjukkan keseriusannya dalam merawat Citra. Nenek Sena bahagia akan perilaku Saka pada sang cucu, tapi tidak dengan Citra. Gadis itu sudah bisa memahami keadaan, mungkin untuk kedepannya dia harus mempersiapkan hati kalau seandainya Saka masih tidak bisa mencintainya. Biarlah dia mengikuti alur yang dibuat oleh Allah dan Saka. Semua demi Nenek dan juga kesembuhannya. Menolak pun tiada guna karena pasti pernikahan memang tetap harus terlaksana. Maka cara terbaik adalah menikmati kesempatan yang ada.
Bila Citra bisa berjalan lagi, setidaknya saat keduanya memutuskan untuk berpisah, Citra bisa mencari pekerjaan bagus agar hidupnya terjamin. Dia berjanji akan membahagiakan sang Nenek, satu-satunya orang yang tulus mencintainya. Bisa ditebak bagaimana ending dari perjalanan cinta dia kepada Saka nanti.
Akan tetapi, bukankah masih ada Tuhan yang maha membolak balikkan hati umatnya? Semua atas kendali dan kuasa-Nya. Citra berharap apa yang ada dalam bayangan tidak pernah terjadi. Seorang perias sudah selesai merias dirinya. Citra nampak begitu cantik, walaupun menggunakan make up natural.
"Hari ini hari keberuntunganku," tutur sang perias. Citra menautkan kedua alis.
"Mau tahu?" Citra tersenyum lalu mengangguk.
"Karena aku tidak perlu menghabiskan make up untuk merias wajahmu. Baru kali ini aku berhemat dalam merias." Wanita berdandan tebal itu pun terkikik.
"Kamu dengan make up tipis saja sudah seperti bidadari, bagaimana jika aku pertebal, ya?" Lanjut sang perias lagi.
"Terima kasih."
Ceklek.
Keduanya menoleh bersamaan menghadap seseorang yang baru saja masuk. "Ayo keluar, Nduk! Kamu harus menyambut suamimu." Nenek Sena melihat kegugupan pada wajah sang cucu, wanita baya itu pun menyunggingkan senyumnya.
"Jangan gugup, Saka terlihat sangat tampan. Apa kamu tidak ingin melihatnya," sembur Adel yang baru masuk menghampiri pengantin wanita.
"Kak Adel?"
"Hem? Apa? Kamu cantik Citra, aku yakin pasti Saka tidak akan bisa melepaskan pandangan matanya darimu. Kamu sungguh mempesona hari ini. Beruntung sekali Saka mendapatkan wanita sepertimu, sakinah mawadah warohmah ya… semoga kalian disatukan seterusnya sampai hanya maut yang bisa memisahkan kalian berdua. Amin."
"Amin," ucap Nenek barsamaan dengan Citra.
"Ya sudah, biar aku saja yang mendorong Citra, Nek." Adel mengambil alih pegangan kursi roda dari tangan Nenek Sena.
"Terima kasih cah ayu."
"Sama-sama, Nek."
Acara pernikahan dilaksanakan di ruang tamu rumah Citra. Hanya akad nikah yang dihadiri orang terdekat dan beberapa tetangga saja. Tidak terlalu banyak memang karena ini permintaan mempelai sendiri. Bahkan keluarga dari pihak Saka tidak ada satu pun yang hadir, hanya Taksa, Novan dan juga Dino yang berpasang-pasangan sebagai saksi dan keluarga dari pihak Saka.
Degup jantung Citra bertalu dua kali lebih cepat, bukan. Sepuluh kali lebih cepat. Bagaimana tidak? Pada akhirnya takdir menyatukan Citra bersama orang yang dia cintai. Berulang kali ditolak dengan kata-kata pedas tanpa perasaan, ternyata Allah mempunyai rencana lain. Meskipun Citra tahu bahwa hati Saka masih belum untuknya.
Seperti apapun pernikahan mereka, hal itu tetap membuat Citra grogi. Berkali-kali gadis itu menghela nafas, mencoba menghilangkan kegusaran yang tengah melanda. Suara kursi roda mengalihkan semua orang agar tertuju pada seseorang yang baru bergabung.
Mereka takjub akan kecantikan Citra, meskipun dia gadis lumpuh, namun tetap tidak menghilangkan aura kecantikan dalam diri Citra. Bahkan Saka pun tidak bisa menyangkal bagaimana sempurnanya istrinya kini. Semakin jarak mendekatkan dirinya kepada orang tercinta, semakin gemetaran tubuh Citra.
Tentu saja semua itu tidak luput dari penglihatan Saka, pria yang sedari tadi tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun, mengetahui pasti apa yang sedang dirasakan oleh pasangannya kini.
Saka langsung beranjak berdiri, memangkas jaraknya dari Citra. Dengan lembut, Saka mengambil kedua tangan Citra dan mengalungkannya ke leher. Mengangkat tubuh mungil Citra, mendudukkan di depan penghulu.
"Nak Citra, sekarang kamu sudah sah menjadi istri dari Nak Saka Raiden Toru. Silahkan tanda tangani buku nikah ini, begitu pun nak Saka." Bapak penghulu menyodorkan buku kecil dua dihadapan masing-masing pengantin.
Usai menandatangani buku nikah, sang penghulu meminta Saka dan Citra saling memasang cincin di jari masing-masing. Kemudian mempelai wanita mencium tangan mempelai pria, diakhiri dengan Saka mencium kening Citra.
Senyum bahagia tercetak jelas diwajah keduanya. Seolah lupa dengan rasa benci juga niat awal menikah, Saka seperti menikmati moment bersejarah baginya dan gadis di sampingnya. Semua orang memberikan selamat tak terkecuali para sahabat Saka. Satu per satu memberikan doa tulus untuk keberlangsungan mereka berdua.