"Kinan!" teriak Leni
Seorang gadis bertubuh munggil matanya sipit dan sedikit berambut cokelat kemerahan mendekat Elisa Kinanti
Elis membalas pelukan gadis yang sudah beberapa hari ia rindukan.
"Kinan kenapa kau baru datang, sih, membuatku menanganinya sendirian telponku juga kau tidak angkat apalagi sms boro-boro."
Elis teetawa lalu kemudian tangannya mencubit lembut kedua pipi bakpao Leni temannya yang sudah menemani sampai sekarang. Mulai dari jaman SMA sampai tamat kuliah Leni tak pernah berubah gadis berdarah Sunda yang memilih gaya kebarat-baratan.
Mereka berdua kembali tertawa bersama entah apa yang ditertawakan rasanya sudah lama tak berjumpa. Elis mengandeng tangan sahabatnya memasuki ruko yang cukup sederhana tidak memilik lantai dua. Ruko yang berada di dalam gang sempit
Di dalam ruko inilah Elisa Kinanti memulai kariernya sebagai salah-satu copwriter bukan hanya ia ada juga Leni dan beberapa temannya yang memiliki hobi yang di minati bersama. Elis menyapu pandangan melihat di dekat meja buku-buku berserakan.
"Beberapa hari terakhir yang mencetak buku di penerbit kita sangat sedikit," ujar Leni
Elis menepuk bahu sahabatnya dengan pelan, "Namanya usaha pastinaik turunya ayolah semangat!" Elis tahu menjadi seorang penulis tidaklah mudah apalagi sekarang saat sebelum menikahuang ada satu-satunya tabungan ia pakai untuk membuka usaha penerbit indie Elis yang memiliki berstatus sarjana lebih memilih menghabiskan waktunya mengurusi buku karena sejak kecil itulah mimpinya.
"Kinan ..." ucap Leni ia menarik napasnya dalam-dalam lalu kemudian mengembuskan, "Apa kau masih yakin mempertahankan usaha penerbit ini. apa kita sebaiknya bekerja di perusahaan saja," Nyaris Leni putus asa melihat beberapa bulan terakhir kasus bencana yang melanda seluruh dunia membuat sistem pemasukan berkurang bahkan sekarang beberapa orang memilih menjadi seorang penulis digital.
Elis berjalan mendekat kursi plastik di atasnya bertumpuk dengan berbagai kertas coretan, tangannya mengapit dompet Elis menunduk mengambil kertas yang sudah berdebu lalu kemudIan menepuknya
"Leni ini kita kan semasa SMA gadis remaja di dalam ini punya mimpi yang sama lantas mengapa kita harus mengeluh kalau banyak sekarang yang memilih digital kenapa kita tidak coba mengikuti merombak pasar."
"Yah kau benar juga sih tapi kan ...."
"Ini tulisanmu waktu SMA kau yang paling semangat sekarang kok jadi nggak percaya diri."
Elis mengeser kardus beberapa tahun yang lalu Elis dan Leni memang satu sekolah memiliki kegemaran menciptakan ide. Akhirnya hubungan persahabatan mereka berdua maiah berlanjut.
Leni yang terbiasa membantu Elis dengan sebutan Kinan itu pun mengangguk
"Buka laptop mari bekerja!" Leni mengepalkan tangan matanya menyipit.
Elis selalu bersyukur meski memiliki hubungan pertemanan yang tidak besar setidaknya masih satu atau dua orang yang masih tetap mau berteman dengannya tak datang hanya karena butuh lalu pergi begitu saja.
"Leni, kau bereskan yang dekat lemari sana sepertinya kita harus menata ulang agar barang-barang yang muat. Aku matikan dulu komputer sebelah sini."
Mereka berdua mulai bekerja bersama merapaikan ebb5erapa barang yang cukup berantakan serta buku-buku berserakan di lantai.
"Huuf, kau kemana saja beberapa hari ini Kinan, aku cari di rumah, eh kosong."
"Itu aku, aku ...." Elis kebingungan harus menjawab sementara beberapa hari ia lalui dengan pesta pernikahan tanpa permintaan atau persetujuan
"Eh makan dulu yuk, mau makan apa Len?" tanya Elis mengaruk tekuknya
Leni mendongak ke atas dinding tangannya mengetuk-ngetuk. "Hm ... aku mau somay saja dan juga minuman lemon."
"Aku pesankan dulu sisa barang yang tidak terpakai taru dalam kardus saja."
Elis berjalan keluar melewati gang sempit kebetulan jarak penjual tak jauh dari ruko ia hanya perlu berjalan kaki beberapa menit saja.
***
"Kak berhenti dulu." Reza menatap lekat pinggir jalan melihat seorang wanita yang tak asing
Selina berbalik wajahnya kesal bukan main sudah bangun sepagi ini padahal.jadwal kuliahnya masih ada beberapa jam lagi mengantarkan sang adik berangkat sekolah.
"Kak Elis!" Reza membuka pintu mobil benar saja ia melihat sosok kakaknya yang sudah beberapa hari tidak mengirim kabar.
"Reza nanti kamu terlambat, biar aja sih dia mau hidup ke mana kek urusian dia. Masuk!" perintah Selina membuka pintu mobil ia juga harus turun adiknya ini sangat susah diatur.
"Kakak," panggil Reza tatapnya berubah sendu
"Eh." Elis berbalik saat mendengar seseorang memanggil suara yang tak asing. Melihat sosok adik yang sudah ia rindukan beberapa hari terakhir
Reza mendekat memeluk Kakaknya— Elis
"Kakak apa kabar, kenapa nggak pernah telpon Reza."
"Maaf Dik, Kakak sibuk akhri-akhir ini," ucap Elis berbohong
Lelaki berseragam putih abu-abu itu tak kunjung melepaskan pelukan ia sangat marah pada dirinya dan juga membenci keadaan.
"Adik ..."
Selina yang tak mau membuang waktu melihat adegan klies antara kakak tiri dan adik kandung lebih akrab ia melerai pelukan Reza.
"Reza! Ayo masuk, nanti kamu terlambat, ngapain kamu di sini. Nggak usah dekat-dekat Reza lagi ia bukan adik kandungmu!"
"Kak Selin!" ucap reza meninggi
Reza melepaskan pegangan tangan Kakaknya Selina.
"Jangan pernah ngomong kasar! Ka Elis juga Kakaku."
"Kamu masih sebut dia Kakak?!" tanya Selina lalu melirik Elis tak suka
"Dia yang sudah pisahin ayah dan ibu di masalalu kamu masih tetap nyebut dia Kakak?!"
Elis tersenyum lebar, "Adik sekolah, nanti kalau Kakak sudah tak sibuk pasti akan menghabiskan waktu bersama lagi."
"Kak, apa pria itu menyakiti?" tanya Reza mengintiminasi Reza bukanlah anak kecil lagi yang harus selalu tidak tahu keadaan.
"Tentu saja buktinya mengizinkan Kakak keluar rumah."
Elis berkata bohong ada guratan sedih di dalam perkataanya membebaskan bahkan kalaupun bernapas Adinata akan mengatur.
"Reza cepat naik!"
Suara klakson mobil berwarna merah sang pemilik yang sudah hampir kehabsian kesabaran Reza memegang tangan kakaknya.
"Bilangin Reza, kalau pria itu menyakiti Kakak,
"Biarin aja dia mau hidup atau mati itu bukan urusan Reza cepat naik atau ujianmu akan terlewat," semprot Selina yang mengeluarkan sedikit kepalanya dari kaca mobil kekesalan Selina masih tetap ada setiap kali melihat Reza yang jelas-jelas adik kandungnya Elis hanya kakak tiri
Reza segera masuk ke dalam mobil ia melambaikan tangannya.
Elis menatap kejauhan adiknya Elis tak marah atau sedih kalau Selina selalu saja berbuat tak suka sejak dulu Elis memang sadar diri posisinya hanya kakak tiri.
"Bang buah melonnya juga bungkus ya." Elis kembali mengambil bungkusan makannya
"Siap, Neng, eleh-eleh baru muncul setelah beberapa hari tidak membeli di sini."
"Lagi sibuk Mang, kapan-kapan deh ajak teman ke sini somay, Mang, enak pisan."
Kejauhan seseorang yang berada di dalam mobil sejak tadi memperhatikannya senyumnya merekah.