Kini mereka bertiga sedang duduk di sebuah kursi kayu yang ada di taman kampus. Cleo juga sudah ada disini bersama dengan mereka. Namun, Rere masih saja belum tenang karena tantangannya pada Evelyn tadi.
Cleo dan Jessi hanya menemani saja sahabatnya yang sedang cemas berlebihan. Takut jika sesuatu yang sudah ia sembunyikan lama itu akan terbongkar juga pada akhirnya oleh seseorang yang tidak ingin dirinya ingat.
"Oh ayolah Re, kenapa masih cemas sih? Lyn juga kan gak jadi ngomong tadi," kata Cleo yang sejujurnya muak melihat Rere yang hanya diam saja dengan wajah yang tajam entah menatap apa.
"Iya, Re. Lyn gak akan bener-bener ngomong kok," tambah Jessi mencoba untuk menenangkan Rere.
"Kita gak kenal sama tuh cewek. Dia gak bisa dipercaya, Jes, Cle. Udah jelas banget dia itu pengkhianat," balas Rere tetap tak bisa tenang. Kepercayaannya untuk Evelyn benar-benar sudah hilang.
"Ya lagian juga kenapa harus takut sih? Biarin aja lah Satria tahu semuanya. Lo bilang udah gak peduli, kan?"
Cleo sudah tahu semua kejadian sebelum dirinya hadir karena mereka sendiri yang menceritakannya begitu ia tiba.
Rere menatap Cleo tajam. Ia sadar jika wanita itu sedang mengejeknya. Itu kan hanya untuk menantang Evelyn saja, dirinya tidak benar-benar serius mengatakan semua hal itu.
"Udah. Re, ayo balik. Cleo juga udah selesai, kan?"
Daripada Jessi pusing melihat tingkah dua sahabatnya yang pasti tak lama lagi akan bertengkar, lebih baik dirinya mengajak mereka berdua untuk segera pulang. Tujuan mereka juga sudah tercapai kok, menjemput Cleo.
***
Jam di pergelangan tangan Jessi sudah menunjukkan pukul delapan malam. Dan suara dering dari ponselnya tak berhenti daritadi. Jessi tahu jelas siapa orang yang menghubunginya daritadi namun ia abaikan itu. Sengaja, sengaja dirinya mengabaikan.
Karena kesal, akhirnya Jessi mematikan ponselnya agar tidak lagi mendengar suara dering yang membuatnya muak.
Tak lama pintu kamarnya terbuka dari luar dan menampilkan seorang wanita yang berhasil melahirkannya namun tidak berhasil mendidiknya.
"Bunda boleh masuk?" tanyanya begitu sopan. Kadang Jessi terbuai dengan tutur kata Alin kepadanya, tapi itu bisa dihitung jari kapan ia melakukannya.
Jessi menganggukkan kepala tanpa menjawabnya. Alin pun masuk dan kembali menutup pintunya. Berjalan menghampiri Jessi dan duduk di pinggir ranjang. Membelakangi Jessi yang berada di tengah ranjang.
"Kamu apa kabar?"
Pertanyaan basic yang setahun sekali Alin tanyakan kepadanya. Setiap tanggal sepuluh bulan sebelas.
"Baik. Bunda apa kabar?" Mereka seperti anak dan ibu yang lama tidak bertemu. Padahal kenyataanya setiap hari bertatap muka tanpa saling memperdulikan.
"Gimana hari kamu? Menyenangkan?" tanya Alin masih mempertahankan posisinya.
Sebenarnya Jessi kurang mengerti apa yang sebenarnya sedang bundanya lakukan sekarang. Mengapa ia bisa bersikap aneh seperti ini.
"Biasa aja. Gak ada yang spesial," jawab Jessi memperhatikan punggung sang bunda.
"Mau Bunda masakan sesuatu? Kesukaan kamu?"
Jessi diam. Ia benar-benar tidak paham. Apa bundanya hanya melakukan hal ini kepadanya atau pada Jeno juga?
"Bun, ada apa sih sebenarnya sama tanggal ini? Kenaa Bunda selalu bersikap aneh?" Akhirnya Jessi memberanikan diri untuk menanyakan hal itu yang selalu ia tahan setiap tahunnya.
Terhitung ini adalah tahun ketujuh Alin melakukan hal seperti ini setiap tahunnya. Tidak ada yang aneh hanya bertanya kegiatan anaknya seharian dan menanyakan kabar lalu bertanya tentang masakan. Jessi merasa tidak ada yang tertinggal dalam ingatannya sampai dirinya harus melupakan apa penyebab bundanya seperti ini.
"Nanti kamu turun ke bawah yah terus makan masakan Bunda. Bunda turun duluan," katanya tanpa memberikan Jessi jawaban apa pun. Malah membuat Jessi semakin tidak paham.
Ia membiarkan saja bundanya untuk keluar dari kamarnya dan meninggalkan dirinya sendiri lagi dengan kebingungan yang sama.
***
"Kenapa semalaman gak angkat telepon aku? Kenaa malah dimatiin juga ponselnya?"
Jessi hanya terus memainkan sebuah rubrik kesukaannya sambil mendengarkan semua pertanyaan keluar dari mulut Fauzan. Sudah selama setengah jam mereka duduk seperti ini. Jessi yang tak berhenti bermain sendiri sementara Fauzan mengeluarkan begitu banyak pertanyaan.
"Jawab, By!" tekan Fauzan karena kesal dirinya diabaikan.
Jessi menaruh benda berbentuk kubik itu di atas meja yang membatasi kedekatan mereka.
Matanya menatap angin dengan perasaan yang menerawang. Rasa lelah kembali hadir setiap kali ia melakukan hal seperti ini.
"Aku mau berhenti," kata Jessi tiba-tiba membuat Fauzan terkejut. Bukan pertama kali Jessi mengatakan hal itu dengan maksud yang sama, namun Fauzan terus saja menolaknya.
"Jangan."
Jessi menatap kekasihnya itu dengan lamat. Memperhatikan setiap detail wajah Fauzan. Banyak hal yang mampu membuat dirinya jatuh hati pada lelaki ini, dan banyak hal juga yang membuat dirinya sakit hati karena orang yang sama.
"Banyak yang suka sama kamu. Mudah untuk kamu mendekati siapa pun yang kamu mau. Bahkan aku udah kasih kamu kesempatan untuk mencari yang lain. Dan aku tahu kamu berhasil. Tapi, kenapa gak mau lepas juga dari aku? Wanita itu lebih baik loh dari aku. Dia pintar, cantik, mandiri, tegas, baik hati, dan juga menyayangi kamu dengan tulus melebihi aku mungkin."
Segaris senyuman Jessi berikan untuk sang kekasih. Ia bukannya tidak lagi mencintai Fauzan hingga menyerahkannya pada wanita lain. Ada alasan yang tidak perlu laki-laki itu ketahui mengapa ia melakukan semua hal ini.
Fauzan menarik cepat kedua tangan Jessi yang ada di atas meja untuk ia genggam. Ketakutannya untuk kehilangan wanita ini begitu besar. Benar jika dirinya mampu menemukan wanita lain yang mencintainya dengan tulus, namun ia tidak mampu untuk menemukan wanita yang bisa menggantikan posisi Jessica dalam segala hal.
"Kamu tahu alasannya. Aku sayang sama kamu. Sangat dan sangat. Aku memang pernah mengizinkan wanita lain untuk masuk ke dalam kehidupanku sesuai yang kamu katakan, tapi dia terlempar begitu saja dari tempatnya. Aku gak bisa lepasin kamu hanya untuk perempuan itu. Jangan pernah minta untuk aku lepasin kamu, Jess. Kamu berharga untuk aku," katanya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Sebutlah Jessica munafik, egois dan labil. Dirinya pernah mengizinkan Fauzan berpaling mencari wanita lain namun dirinya juga yang sakit hati. Dirinya juga yang tak mampu untuk melihatnya. Meminta terus menerus Fauzan untuk melepaskan dirinya tapi saat melihat tatapan Fauzan pada Evelyn saja ia tak sanggup. Jessica memang begitu egois dengan alasan yang tak jelas.
"Bisa kok. Kamu bisa mencintai Evelyn sesuai yang kamu mau. Kamu sudah berhasil memberikan hati kamu untuk dia. Tinggal lepasin aku dan semuanya akan kembali normal."
Bohong semua perkataannya. Tak ada satu pun hal yang jujur yang kali ini Jessica katakan. Jessica hanya sedang mencoba membunuh dirinya secara perlahan dengan kesakitan yang ia buat sendiri. Bodoh memang.