"Cleo, kira-kira aku bisa gak yah jadi kayak kamu?"
Mereka sedang ada di sebuah studio foto tempat Cleo melakukan pemotretan untuk sampul majalah bulanan. Mendengar Jessi yang bertanya seperti itu membuat Cleo mengerutkan keningnya.
"Maksudnya?" Cleo tidak mengerti dengan arah maksud dan tujuan pertanyaan Jessi, salah saja otaknya yang lemot.
"Mau jadi model juga," kata Jessi menjelaskan secara singkat meskipun rasa gugupnya tinggi sekali.
Mendengar perkataan Jessi barusan, manager Cleo yang duduk di sebelah Jessi langsung menghampiri mereka.
"Kamu beneran mau jadi model? Serius? Gak lagi becanda, kan?" cecarnya bertanya.
Cleo dan Jessi menatap wanita itu dengan kaget. Kepala Jessi perlahan bergerak mengangguk.
"Kalo gitu saya minta nomor handphone kamu. Biar saya mudah mengabari," katanya kemudian menyodorkan ponselnya pada Jessi.
Cleo yang masih belum mengerti lantas mengambil alih ponsel Maya, Managernya.
"Ini maksudnya gimana sih? Ngapain kamu minta nomornya Jessi?" tanya Cleo tanpa dosa.
Maya yang mengerti jika modelnya ini kadang kurang asupan vitamin, segera mengambil kursi untuk duduk dekat dengan Cleo. Menjelaskan padanya secara perlahan agar bisa dimengerti.
"Jadi gini Cleo, Jessi ini mau jadi model kayak kamu. Makanya aku minta nomor dia biar mudah ngasih kabar kalo ada yang butuhin dia. Ngerti?"
Cleo menganggukkan kepalanya setelah mencerna secara perlahan apa yang Maya katakan. Jessi jadi terkekeh melihat tingkah Cleo yang seperti anak kecil.
"Oh gitu. Kamu kenapa mau jadi model, Jes? Langkah kamu untuk jadi advokat kan sedikit lagi," kata Cleo yang kurang mengerti dengan isi pikiran Jessi.
"Siapa bilang aku mau jadi advokat?"
"Ya kamu aja kuliahnya di fakultas hukum. Terus buat apa kamu belajar tentang hukum kalo kamu gak mau jadi advokat?"
"Untuk jadi advokat memang wajib belajar tentang ilmu hukum. Tapi, yang belajar ilmu hukum gak wajib jadi advokat. Terserah dia dong mau jadi apa? Kok kamu ngatur?" balas Jessi yang kini bukan hanya membuat Cleo yang bingung, melainkan juga Maya.
"Terserah kamu deh, Jes."
"Eh tapi kan kamu gak suka sorot lampu kamera? Kok sekarang mau jadi model yang harus terbiasa dengan suasana seperti itu?"
"Kenapa sih emangnya kalo aku mau jadi model? Takut kesaing kamu?"
Cleo melotot tajam mendengarnya. "Dih, siapa juga yang takut kesaing. Lagian aku kan cuma tanya kenapa kamu malah mau jadi Model yang justru keluar dari zona kamu," jelas Cleo kesal dengan setiap balasan daru Jessi.
Jessi tertawa pelan karena berhasil membuat Cleo kesal kepadanya.
"Aku mau keluar dari zona nyamanku. Mencoba menjadi Jessica yang baru. Bukan Jessi yang terus terpuruk di dalam kamar," kata Jessi serius.
Cleo mendengarkan apa yang Jessi katakan dengan serius. Ia tahu dan mengerti apa maksud sahabatnya itu. Bukan maksudnya dirinya takut kalah saing, hanya saja Cleo tahu jika Jessi tidak suka dengan dunia Cleo yang seperti ini. Jelas saja jika Cleo terkejut ketika tiba-tiba Jessi mengatakan ingin masuk ke dalam dunianya.
"Yaudah nanti aku bantuin kamu untuk masuk lebih mudah ke dalam dunia ini. Karena masuk ke dalam dunia seperti ini itu tidak mudah. Tapi, aku yakin untuk kamu semuanya akan lebih mudah," balas Cleo kemudian.
***
Rere duduk sendirian menikmati coffe latte di Caffe Ceriwis. Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Padahal Rere sudah memakai hoodie yang tebal sekali untuk membantu menghangatkan tubuhnya.
Matanya memandang bintang di langit yang malam ini sangat banyak. Kebiasaanya menghitung bintang harus terhenti ketika tiba-tiba saja kursi kosong di depannya diisi oleh seseorang yang dirinya kenal.
"Ngapain lo disini? Gak sopan banget," decak Rere kembali menatap langit yang penuh dengan bintang.
Satria memandang Rere tak lepas dengan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
Penampilan Satria malam ini membuat Rere ingin terus menatapnya. Hoodie putih dengan jeans hitam, sepatu jordan. Kepalanya tertutup kupluk hoodie, rambut yang sudah gondrong sengaja dikeluarkan dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku hoodie. Benar-benar membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. Ah sial, Rere semakin jatuh cinta.
"Nemenin lo yang sendirian," jawab Satria santai.
Satria yang biasanya berpenampilan rapih malam ini sangat berbeda. Penampilannya hampir mirip dengan Rere, sudah seperti pasangan saja.
Rere diam tak menjawab. Sekuat tenaga ia tidak mau menatap Satria. Pria itu akan semakin besar kepala jika Rere menunjukkan kekagumannya kepadanya.
"Masih benci sama Evelyn?" tanya Satria tiba-tiba membuat Rere yang sedang menahan salah tingkah langsung berubah 90°.
Matanya mendelik menatap Satria dengan tajam. Tidak ada tatapan kekaguman untuk pria itu di dalam mata Rere.
"Kalo lo kesini cuma buat bahas cewek itu, mending lo pergi. Gue muak," sarkas Rere tak memakai hati.
"Dia udah minta maaf sama Jessi, kan?"
"Masih aja yah lo bahas dia? Bela aja terus. Udah dikecewain juga," balas Rere benar-benar tidak suka dengan pembahasan mereka malam ini.
"Gue sama Jessi yang dikecewain kan, Re? Kok lo yang gak bisa maafin?"
"Satria, lo bodoh apa gimana sih? Cewek di dunia ini tuh banyak." gue di depan lo, Sat.
"Gue cuma maafin dia aja kok, Re. Bukan berarti gue masih sayang sama dia," elak Satria.
"Halah. Bullshit!"
"Gue cuma mau lo maafin dia dan udah selesai. Gak ada urusan apa pun lagi."
"Apa buktinya dia mau minta maaf? Kelakuannya aja gak menunjukkan kalo tuh cewek mau minta maaf sama gue dan temen-temen gue. Jadi cowok jangan terlalu lemah, Sat."
Tanpa mendengarkan apa pun lagi, Rere lantas beranjak dan meninggalkan tempat itu. Sudah cukup dirinya tidak mau membahas tentang wanita itu lagi. Tidak lagi.
***
"Lo sama Jessi gimana, Zan?" tanya Daneo yang menemani Fauzan bermain PS di rumahnya.
"Baik-baik aja."
Daneo langsung mendelik tidak percaya mendengarnya. Bagaimana bisa mereka baik-baik saja sementara banyak sekali masalah yang ada.
"Kok bisa?"
Fauzan membalas tatapan Daneo dengan tajam.
"Maksud lo apa nanya kayak gitu? Berharap hubungan gue hancur sama Jessica?" tanya balik Fauzan dengan sewot.
"Ya enggak, maksdunya, kalo hubungan diluar sana tuh pasti udah langsung hancur. Putus gitu," jawab Daneo dengan tenang. Lah, memang apa salahnya?
"Lo doain gue putus sama Jessi?"
"Ya iyalah. Ya kali gue doain sahabat gue menderita terus. Kenapa lo? Gak suka?"
Fauzan menahan kesal karena tidak semua yang Daneo katakan itu salah. Hubungan itu memang sudah tidak lagis sehat. Sudah terlalu banyak hal yang menghancurkan keduanya.
"Jangan lah lo doain yang gak baik gitu."
"Itu doa baik loh yang pernah gue harapkan, Zan. Jessi lepas dari lo itu harapan baik yang harus semua orang aamiin kan."
Fauzan berdecak kesal mendengarnya. Sejahat itukah dirinya sampai membuat sahabatnya sendiri pun mengharapkan Jessi bisa pergi dari hidupnya?
"Makanya kalo gak mau ditinggalin Jessi, berubah. Jangan egois, Bro!"