Fauzan sudah siap dengan pakaian kantornya. Hari ini tepat satu bulan dirinya magang di sebuah farma sederhana yang masih merintis. Ia harus menyelesaikan masa magang dua tahun untuk lanjut tes advokat. Sebenarnya ia tidak pernah ada kepikiran sedikit pun untuk menjadi seorang advokat atau pengacara. Namun, karena sudah terlanjur masuk ke dalamnya, jadi tidak ada salahnya ia lanjutkan hingga tuntas.
Hanya untuk mengejar Jessi ia sampai melepaskan impiannya untuk menjadi seorang dokter. Beralih profesi pada hal yang sama sekali tidak ia pikirkan. Mungkin Jessi juga terpaksa karena untuk menghindari Fauzan, walaupun akhirnya tetap tak bisa Fauzan lepaskan.
Baru saja menapakkan kakinya di anak tangga, suara Ve sudah menggelegar mengisi setiap sudut rumah. Entah apa lagi sekarang masalahnya.
"Aku gak selingkuh, Sayang. Wanita itu cuma salah satu dari karyawanku yang suka cari perhatian aja," kata Argan menjelaskan pada Ve. Entah itu benar atau tidak, tidak ada yang tahu. Argan memiliki begitu banyak alasan untuk terus mengelabui Ve dan membuat wanita itu kembali percaya kepadanya.
"Drama terus!" sindir Fauzan sambil melangkah masuk ke dapur. Pertengkaran itu tidak akan membuat perut Fauzan kenyang. Jadi, lebih baik ia makan daripada kelaparan karena pertengkaran tidak jelas.
"Bohong! Cewek itu ngaku sering kamu transfer kok," balas Ve membentak. Wajahnya sudah merah penuh dengan emosi. Berbeda dengan Argan yang melunak untuk membujuk.
"Ya sering aku transfer kalo dia gajian. Dia kan karyawan aku," jawab Argan tak mau kalah.
"Harusnya kan bukan kamu yang transfer gaji pegawai. Terus kenapa kamu transfer dia secara langsung?"
"Emangnya salah kalo aku transfer dia langsung? Kan aku juga bosnya," jawab Argan membuat emosi Ve semakin melambung. Ditambah lagi melihat wajah pria itu yang seakan tidak ada dosa, Argan memang sering menyebalkan.
"Ih kamu nyebelin banget yah. Awas aja kalo aku menemukan bukti yang valid kalo kamu beneran selingkuh sama itu cewek!" Ve lantas menaiki tangga menuju ke kamarnya. Meninggalkan Argan sendiri.
"Huh untung nguras tenaga juga ribut pagi-pagi," gumam Argan berpura-pura mengusap peluh di keningnya. Kemudian ia berjalan menyusul Fauzan di meja makan.
"Mama kamu itu kalo udah marah nyedot tenaga semua orang kayaknya," kata Argan sambil mengambil makanannya sendiri ke atas piring.
Fauzan hanya terus menikmati makanannya tanpa berniat untuk menanggapi sang ayah. Ia sudah mengira juga jika pertengkaran tadi tidak akan membuat keluarganya hancur. Ve sangat menyukai uang dan kekayaan, tidak mungkin jika wanita itu mau menyerah pada Argan dan rela melepaskan semua kemewahannya saat ini.
"Gimana masa magang kamu? Ada yang sulit atau bahkan dipersulit?"
"Gak ada," jawab Fauzan seadanya. Ia tidak mau terlibat pembicaraan yang serius dengan ayahnya. Bisa bahaya nanti.
"Baguslah. Gak harus dua tahun di firma yang sama kok, Zan. Kamu bisa coba juga di firma yang lain biar bisa dapat pengalaman yang berbeda. Gak semua firma itu sama loh," katanya yang kali ini Fauzan dengarkan dengan baik.
Dalam hal serius, Argan memang orang yang cerdas. Dia mampu menganalisis masalah dan memecahkan solusinya dengan cara yang tidak masuk akal. Fauzan mencoba mengikuti jejak ayahnya tentang hal itu.
"Kamu bisa coba juga di firma kamu sendiri sebagai karyawan magang. Sekalian kamu lihat bagaimana kinerja pegawai disana. Kan gak ada yang tahu juga kalo kamu anak saya."
"Nanti Fauzan pikirin lagi deh, Pah."
***
"Kuliah pagi, Cle?"
Jessi baru saja bangun tapi kedua sahabatnya itu sudah rapih dengan penampilannya masing-masing. Rere terlihat sedang mengikat tali sepatu di sofa sana.
"Iya nih, Jess. Kamu kalo mau lanjut tidur, tidur lagi aja. Nanti pulang kuliah aku langsung balik. Lagian di rumah juga gak ada orang kok," jawab Cleo memasukkan semua barang yang ia butuhkan ke dalam tas.
Jessi menganggukkan kepalanya, mengerti. Melihat mereka sibuk rapih-rapih untuk kuliah, Jessi jadi rindu bagaimana semangatnya. Apalagi sedang diburu ujian seperti sekarang ini.
"Gue juga nanti balik kesini kok, Jess. Tapi, kayaknya agak sorean banget soalnya mau ke cafe dulu," sahut Rere yang kini sudah selesai dan tinggal pergi.
"Iya kalian tenang aja. Aku juga lagi males banget balik ke rumah. Kalian semangat yah ujiannya!"
"Oke thanks! Oh iya Jess, sorry sebelumnya tapi kita gak ada nyiapin sarapan apa pun. Lo bisa kan pesen aja?"
Rere dan Cleo benar-benar diburu waktu yang sudah menunjukkan pukul delapan tepat. Sedangkan jam kuliahnya sebentar lagi dimulai.
"Iya gak masalah kok. Kalian jangan lupa sarapan yah di kampus!"
Cleo dan Rere mengangkat jempolnya. "Kalo gitu kita pergi yah Jess. Baik-baik di rumah!"
Mereka berdua pun keluar dari kamar dengan tergesa. Meninggalkan Jessi sendiri dengan kesepian.
Ia beranjak dari duduknya dan menyibak gorden yang dilapisi beberapa gorden. Pantas saja dirinya bangun kesiangan seperti ini, cahaya matahari saja tidak diberi kesempatan untuk masuk. Berbeda dengan kamarnya yang sengaja dibuat celah untuk sinar matahari masuk dan mengganggu yang mengisinya.
Setelah memesan makanan lewat ponsel, Jessi segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Jadi, ia bisa langsung makan ketika makanannya sampai.
***
Fauzan tidak perlu ke rumah Jessi untuk menyapa atau sekedar berpamitan kerja pada wanita itu. Dirinya bisa langsung menuju ke kantor karena Jessi yang menyuruhnya, ia menurut saja takut Jessi semakin mendiamkannya.
Mobilnya berhenti tepat ketika lampu lalu lintas menunjukkan warma merah. Entah mengapa pagi ini rasanya begitu berbeda. Padahal tidak ada hal istimewa yang baru saja terjadi.
Matanya berkeliling menikmati jalann raya yang mulai penuh dengan kendaraan masing-masing. Setiap pagi memang seharusnya seperti ini. Tak sengaja ia menangkap seseorang yang sepertinya ia kenal tepat di sebelah mobilnya. Orang itu dengan motor kebanggaannya yang tidak pernah berubah dari dulu.
Fauzan menurunkan kaca mobilnya untuk memperjelas penglihatannya. Dan kebetulan orang itu pun menengok ke arahnya.
Ia berdecih ketika dugaannya benar. Matanya tidak salah lihat. Ia langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Rivalnya sedang memandangnya, malas sekali Fauzan harus bertatapan wajah dengan orang itu.
"Fauzan? Apa kabar?" sapa Dimas dari tempatnya berada.
Fauzan diam saja mengabaikan sapaan hangat dari orang itu. Rasa yang dulu tidak pernah hilang, baru melihat wajahnya saja Fauzan sudah muak. Ia pikir orang itu sudah ditelan bumi dan tak akan nampak lagi.
Dimas tersenyum maklum di balik helm fullface-nya itu. Ia tidak marah atau pun bagaimana pada Fauzan. Ia tahu jika pria itu masih menganggapnya sebagai saingan.
Bahkan sekarang Fauzan sudah seperti orang yang tidak pernah kenal sebelumnya. Padahal tadi dia yang lebih dulu ingin memastikannya.
"Gak berubah ternyata. Masih muka dua," kata Fauzan kemudian kembali mengemudikan mobilnya setelah lampu kembali hijau. Mengabaikan Dimas yang langsung mengerti apa maksudnya.
"Lo juga gak pernah berubah, Zan. Masih mengecewakan."