Chereads / Sayap Pelengkap / Chapter 29 - Berisik

Chapter 29 - Berisik

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Cleo langsung menemui Jessi di lokasi syuting wanita itu. Hari ini hari terakhir Jessi syuting iklan dalam tiga produk sekaligus. 

Dengan membawa kopi kesukaan mereka dan mie ayam langganan ketiganya, Cleo memasuki ruang tunggu tempat Jessi beristirahat. 

Cleo menaruh dengan perlahan semua barang bawaannya di atas meja, tidak mau mengganggu Jessi yang sedang tidur. Setelahnya ia kemudian duduk di kursi lainnya yang sudah disediakan oleh Maya. Melihat sahabatnya yang kelelahan, Cleo merasa bangga. Bangga karena Jessi yang selama ini ia lihat tidak pernah mau menyibukkan diri dengan sebuah pekerjaan kini mau mencoba hal baru. Bukan maksudnya Jessi pemalas atau manja, tapi karena sedari kecil Jessi tidak pernah diberikan tanggung jawab dan kepercayaan penuh dari satu keluarganya. Bahkan dari kakeknya sendiri melarang Jessi maupun Jeno untuk bekerja. 

"Jadwalnya selesai hari ini kan, May?" tanya Cleo pada Maya yang masih sibuk mencatat jadwal dua artisnya sekaligus. 

"Iya. Minggu depan baru ada lagi, bareng sama kamu juga, Cle. Udah selesai ujian kan kalo minggu depan?" 

Cleo mengangguk kemudian memainkan ponselnya untuk mengusir rasa bosan menunggu Jessi bangun. 

***

Rere mengecek cafe yang sudah selama ini tidak pernah ia urus. Selalu saja mempercayakannya pada asisten pribadinya. 

Ya, Rere memiliki satu cafe yang sudah dari sekolah menengah atas ia dirikan. Tidak ada yang tahu selain Cleo dan Jessica. Semua memandang Rere sebagai anak tunggal kaya raya yang tidak memiliki bakat apa pun selain melabrak orang lain. Nyatanya Rere mampu mendirikan sebuah cafe dari uang tabungannya sendiri selama ini. Tidak Rere sembunyikan, hanya saja tidak pernah ada yang bertanya jadi untuk apa menjelaskan. Cafe yang menjadi langganan teman-teman angkatannya itulah miliknya. 

Selama ini dirinya hanya sesekali mampir untuk mengecek keadaan dan kondisi pelanggannya. Dan itu pun dirinya lakukan sebagai pelanggan cafe. 

"Besok aku balik lagi semua data pengeluaran dan pemasukan harus sudah selesai di input. Gak ada kesalahan sedikit pun atau kalian akan tahu apa akibatnya," katanya dengan tegas pada dua orang karyawan laki-laki dihadapannya itu. 

"Baik, Kak!" Setelahnya mereka berdua pun keluar dari sebuah ruangan tempat Rere beristirahat di cafe ini. 

Hampir semua karyawannya adalah pegawai part-time yang masih mengatur jadwal sekolahnya. Rere memang sengaja menerima yang seperti itu untuk memberi mereka kesempatan mencari pengalaman bekerja. 

Merasa lelahnya sudah tuntas, Rere segera keluar dari ruangan dan kembali ke meja tamu. 

Hampir saja jantungnya copot kala matanya bertemu dengan salah satu pemilik mata hazel yang sedang melihat ke arahnya. Secepat mungkin ia menetralkan degup jantungnya dan semakin melangkah mendekat ke meja bar. 

"Ngapain lo disini?" tanya Rere mengalihkan rasa gugupnya. Bukannya apa, Rere hanya takut jika Satria akan  bertanya hal aneh mengenai keberadaannya yang keluar dari ruang karyawan. 

"Ngopi," jawab Satria santai. Ia kembali fokus dengan kopi yang dirinya pesan. Tanpa mau pusing dengan sikap Rere yang dirinya pun rasakan. 

"Oh," sahutnya gagap. 

"Gue balik deh," lanjutnya lagi kemudian beranjak berdiri dan dengan cepat meninggalkan tempat. 

Rere mengusap dadanya merasa lega karena Satria tidak menanyakan hal apa pun. Jangan sampai Satria tahu jika cafe itu miliknya, Rere hanya malas saja menjelaskan terlebih lagi jika Daneo tahu. Bisa bangkrut cafenya karena pasti setiap hari pria itu akan minta gratis. 

Segera Rere menaiki motornya dan meninggalkan cafe. 

***

Mata Satria mengikuti kemana langkah kaki Rere menuju. Jujur saja ia juga terkejut ketika tiba-tiba saja Rere keluar dari bukan tempatnya untuk pelanggan cafe. Namun, sengaja ia tidak bertanya langsung terlebih lagi melihat raut wajahnya yang tegang dan gugup. Satria semakin yakin jika ada yang wanita itu sembunyikan. 

Matanya kemudian menangkap dua orang pria yang berjalan masuk ke dalam cafe. Segera ia beranjak dari duduknya dan memilih meja kosong untuk mereka bicara. Entah ada apa Fauzan mengajak mereka untuk bertemu. 

"Daritadi, Sat? Rajin banget dah," kata Daneo menarik kursinya kemudian duduk setelah memesankan kopi untuk ia dan Fauzan. 

"Lumayan," jawab Satria singkat. Sudah biasa. 

"Oh iya, kenapa lo minta kita ketemu? Galau lagi? Apa udah ada keputusan mau pilih siapa?" cecar Daneo membuat Fauzan berdecih. Kepalanya sudah hampir pecah mendengar suara Daneo yang tidak berhenti bicara dari tadi.

Sedangkan Satria hanya diam saja menunggu sampai Fauzan sendiri yang mau bicara. 

"Gue ketemu ketua kelas," ujarnya membuat Daneo dan Satria bingung. 

"Ketua kelas siapa? Emang kerja pake ketua kelas segala gitu?" tanya Daneo polos dengan wajah tanpa dosa. 

"Dimas maksud lo?" tebak Satria masih ingat dengan nama satu pria itu. 

"Jangan sebut namanya. Kuping gue gatel," sentak Fauzan tak suka mendengar nama orang itu disebut. 

"Oh Dimas? Ketua kelas kita yang dulu? Yang suka sama Jessica itu? Mereka hampir jadian kan kalo lo gak gerak cepat?" 

"Berisik gak lo! Gue bilang jangan sebut namanya malah dijelasin panjang lebar lagi. Mau gue geprek lo?"

Daneo seketika mengatupkan bibirnya mencoba untuk diam dan tidak bicara apa pun lagi. Apa salahnya coba? Ia kan hanya mencoba mengingat siapa orang yang para sahabatnya maksud. Dia jadi berniat untuk tidak bicara sebelum Fauzan yang suruh. 

"Dimana lo ketemu dia?" 

"Gak penting gue ketemu dia dimana. Yang penting itu dan paling ngeselin, dia udah kontekan lagi sama Jessi. Ngeselin banget kan?"

"Darimana lo tahu kalo mereka udah saling kontekan lagi? Jessi bilang langsung gitu? Apa tuh orang yang bilang?" 

"Gak ada yang bilang sama gue. Gue tahu sendiri dari aplikasi pelacak yang sengaja gue instal di ponselnya Jessi untuk tahu apa aja yang dia lakuin lewat handphone-nya."

Satria dan Daneo mengerutkan keningnya, tidak mengerti dengan apa yang Fauzan maksud. Memangnya ada aplikasi yang seperti itu? 

"Aplikasi? Lo nyadap handphone-nya Jessi? Gak percaya lo sama dia?" 

"Ya gue pengen tahu aja apa yang dia lakuin lewat ponselnya." 

Satria tidak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya. Dia yang sering buat ulah, dia juga yang memiliki kecurigaan yang tinggi. Egois sekali. 

"Harusnya Jessi yang pasang aplikasi itu di handphone lo. Biar tahu dia gimana kelakuan lo dibelakang dia," kata Satria menyindir tepat pada sasarannya. 

Fauzan hanya mendengus kesal karena ia tidak bisa membantah. Apa yang Satria katakan memang tidak ada salahnya. 

Fauzan melihat salah satu sahabatnya lagi yang hanya diam. Tidak biasanya tuh orang diam saja mendengar cerita yang dirinya berikan. Ada apa? 

"Kenapa lo diem aja? Tumben kagak ada nyahutnya?" tanya Fauzan menatap Daneo yang diikuti juga oleh Satria. 

Bukannya menjawab, Daneo hanya menggelengkan kepalanya dengan mulut yang bungkam. 

Satria terkekeh menyadari apa maksud Daneo itu. "Coba lo suruh dia ngomong, Zan!"

Fauzan yang bingung hanya menurut saja apa kata Satria. 

"Ngomong lo!" 

Daneo menghembuskan nafasnya lega. Menahan bicara sudah seperti menahan nafas bagi Daneo. 

"Lo kan tadi nyuruh gue diem. Yaudah gue diem, eh pas gue udah diem lo malah nanya lagi. Padahal tadi tuh gue udah gatel banget pengen ngomong dan ceramahin lo tapi lo malah nyuruh gue diem terus. Harusnya lo tuh—"

"Shut diem! Jangan ngomong lagi. Lebih bagus lo diem aja!" 

Daneo kembali bungkam setelah Fauzan yang menyuruhnya. Berisik kata Fauzan.