"Udah yah kita pisah disini," kata Fauzan menghentikan langkah kakinya di depan gedung mall. Semuanya juga ikut menghentikan perjalanannya.
Jessi dan Cleo langsung bertatapan sendu. Sedih karena mereka akan kembali berpisah dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Jessi mungkin bisa kapan saja bertemu, tapi Cleo memiliki jadwal yang sibuk setiap harinya. Mereka pun berpelukan untuk menyalurkan kesedihan ini. Rere bukannya tidak dianggap, ia memang tidak suka dengan adegan seperti itu. Menggelikan katanya, dan tidak mau juga. Tapi, kadang Cleo ataupun Jessi suka iseng dengan menariknya ke dalam pelukkan mereka, seperti sekarang ini. Cleo langsung menarik Rere agar bergabung untuk masuk ke dalam pelukkan mereka.
Ia jelas saja terkejut terlebih lagi Jessi dan Cleo memeluknya dengan begitu erat seakan memang tidak mau dilepaskan. Rere terus berusaha memberontak ingin keluar.
"Lepasin gue woyy!"
"Kita bakalan lama lagi ketemunya, Re," kata Cleo mendramatisir keadaan.
"Ya gak gini juga dong! Bisa mati gue kalo lo pekuk kenceng banget," balas Rere sedikit berteriak.
"Udah Re, nikmatin aja," sahut Jessi berada di pihak Cleo.
"Gak waras," Rere berdecak kesal karena usahanya sia-sia. Ternyata tenaga Cleo ditambah dengan Jessi sangatlah kuat.
Sedangkan para pria hanya tertawa melihat tingkah para wanita itu. Tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Mungkin hanya usia mereka saja yang bertambah. Meskipun lama tidak bertemu, tapi seperti tidak ada rasa canggung di antara mereka.
***
"Dadah semua!" Cleo melambaikan tangannya pada mereka yang masih belum beranjak dari posisinya masing-masing. Sedangkan Cleo sudah dipaksa masuk oleh kekasihnya karena bosan melihat Cleo terus mendrama dengan para sahabatnya itu.
Jessi membalas lambaian tangan Cleo sampai wanita itu benar-benar masuk ke dalam mobil Daneo. Sedangkan Rere hanya berdecak saja malas dengan tingkah dua sahabatnya itu. Meskipun dalam hati ia juga merasa sedih karena waktu yang mereka miliki tidak sebebas dulu lagi.
"Yaudah kita juga balik lah," kata Fauzan merangkul bahu Jessi posesif.
"Gue juga mau balik kali," dengus Rere kemudian tanpa berpamitan seperti Cleo ia berjalan menjauhi mereka. Menuju ke motornya sendiri. Motor sport yang biasanya para pria pakai, kini wanita itu yang pakai. Hanya Rere yang mengendaru motor, sedangkan yang lainnya memilih untuk naik mobil pribadi.
"Lah gue pikir dia bareng sama lo, Sat?"
Satria menggeleng pelan. Kemudian dirinya bersalaman ala pria dengan Fauzan dan pamitan biasa dengan Jessi dan segera pergi juga meninggalkan sepasang kekasih itu berdua.
"Yuk ah balik!" ajak Fauzan yang langsung di angguki setuju oleh Jessi.
***
"Selamat malam, Tante!" sapa Jessica ramah pada wanita yang memiliki usia sekitar empat puluh tahunan itu yang sedang duduk di sofa ruang tamunya sambil membaca majalah dengan fokus tak mau di ganggu.
Jangankan untuk membalas sapaan Jessi, bahkan menoleh pada kekasih putranya itu pun tidak. Tidak ramah, kasih Bintang satu!
Jessi sudah tidak aneh bahkan tersinggung lagi dengan sikapnya, sudah kuat mental dirinya untuk berhadapan dengan ibu-ibu ini. Jessi langsung saja duduk agak jauh dari posisinya, tidak mau kena omel yang lainnya lagi seperti biasa. Untuk duduk saja bahkan Jessi merasa tidak nyaman.
"Non Jessi mau minum apa?" tanya seorang wanita yang sepertinya berada di usia tiga puluh tahunan ke atas pada Jessica.
"Air putih saja."
Jessi langsung menoleh pada wanita itu yang masih fokus membaca majalah tapi sudah menjawab pertanyaan pembantunya seperti mewakili Jessi.
Jessi kembali menatap yang menawarinya itu dan mengulas senyum manis di bibirnya. "Iya air putih aja," jawab Jessi.
Si wanita dengan name tag Anays di baju seragam khas pekerja rumah Fauzan itu membalas senyuman Jessi, seakan tahu apa yang sedang Jessi rasakan. Kemudian ia berlalu menyiapkan apa yang Jessi pinta.
***
"Udah selesai?" tanya Jessi langsung berdiri saat Fauzan kembali ke hadapannya.
"Udah. Yuk!" ajaknya langsung menggandeng tangan Jessi tidak peduli jika ia berada di hadapan orang tuanya.
"Hanya antar pulang saja," kata si wanita paruh baya itu tanpa menoleh.
Jessi dan Fauzan yang sudah akan melangkah, kembali menghentikan jalannya. Mereka sama-sama menoleh pada wanita itu.
Sudah hampir lima belas menit Jessi menunggu Fauzan membersihkan tubuhnya, tapi wanita itu belum sama sekali mengubah posisinya. Bahkan untuk mengobrol dan bertegur sapa dengan Jessica saja tidak ada.
"Iya, Mah," jawab Fauzan tak memperpanjang.
Tanpa ada kata pamit, mereka berdua pun segera melangkah keluar dari rumah mewah ini. Besar dan luas sekali rumah yang Fauzan tempati saat ini.
***
"Jangan pernah capek yah sama sikap mama!"
Jessi yang hanya memandangi langit gelap dan lampu-lampu indah di pinggir jalan lewat kaca mobil pun menoleh pada Fauzan yang sedang menyetir.
Ia tersenyum hangat dan merapihkan rambut kekasihnya yang sedikit berantakan. Sepertinya habis mandi tidak menyisir rambut.
"Aku kan udah pernah bilang untuk gak akan nyerah sampai kamu sendiri yang minta menyerah," jawab Jessi kembali duduk dengan tenang di jok penumpangnya.
Fauzan membalas senyuman itu dengan sesekali menoleh pada kekasihnya yang masih saja betah memandanginya.
"Kamu kenapa ngeliatin aku terus kayak gitu sih?" Fauzan bukannya risih mendapat perlakuan seperti itu dari Jessi, justru ia salah tingkah. Harusnya dia lah yang membuat Jessi salah tingkah dengan perlakuannya, ini mengapa jadi dirinya yang harus blushing?
"Memandangi wajah pria tampan itu bisa meningkatkan daya kerja otak kita tahu," jawaban Jessi yang tidak pernah berubah.
Kemudian mereka berdua terkekeh bersamaan. Jessi hanya suka melakukan itu. Lagipula ia melakukannya pada kekasihnya sendiri kok, bukan kekasih orang lain.
Jessi tiba-tiba saja berhenti tertawa dan melamum memandangi jalanan malam yang dipenuhi dengan hiasan lampu hiasan Natal dan sebentar lagi tahun akan kembali berganti.
Bukannya Fauzan tidak peka dan tidak peduli melihat kekasihnya yang diam saja. Ia sudah sangat hapal dengan kebiasaan wanita itu yang kadang langsung diam. Bukan karena ada hal apa pun, tapi memang seperti itulah sifatnya. Meskipun di tempat ramai sekalipun dia bisa merubah keadaan hatinya secepat itu.
"By, adanya aku buat hubungan kamu dan mama merenggang gak?"
Fauzan menoleh sekilas ketika Jessi bertanya. Pertanyaan konyol yang entah sudah ke berapa kali Jessi tanyakan dari awal mereka berhubungan dan diketahui oleh keluarga masing-masing.
"Pertanyaannya kenapa gak pernah di upgrade sih?"
Jessi tersenyum tipis mengetahui jawaban yang sebenarnya. Entah mengapa juga dirinya tiba-tiba saja ingin bertanya seperti itu. Ia menatap Fauzan yang masih fokus menyetir ingin mengantarkannya ke rumahnya.
"Apa mau nanya apalagi?" tanya Fauzan langsung ngegas sambil tetap fokus menyetir. Membuat Jessi sedikit terkejut, pasalnya ia baru saja akan membuka mulutnya untuk kembali bertanya. Tapi, Fauzan sudah mendahuluinya membuatnya mengurungkan niatnya itu.
"Enggak jadi," jawab Jessi menciut.
"Maaf buat kaget. Ayo mau nanya apalagi?" tanya Fauzan lagi menurunkan nada bicaranya menjadi lebih pelan dan lembut.
Jessi kembali menoleh pada Fauzan. Mencari letak kejujuran atas pertanyaan Fauzan tadi yang menanyakan apa pertanyaannya lagi.
"Bukan mau nanya," kata Jessi pelan.
"Terus apa?"
"Cuma mau bilang, kalo semakin parah bilang yah! Biar aku bisa nyerah."