Pagi-pagi sekali di rumah Jessi sudah terjadi keributan. Jessi yang terbangun karena suara itu pun lantas menutup sebagian wajah dan telinganya menggunakan bantal. Ia masih ingin tidur karena baru bisa tidur dini hari. Tapi, sepagi ini dirinya sudah dibangunkan saja. Membuat kepala Jessi pusing dibuatnya.
Bantal saja belum mampu menghilangkan suara teriakan amarah dan lemparan benda itu dari telinganya Jessi. Jika sedang seperti ini, rasanya Jessi ingin tuli saja agar bisa hidup dengan tenang.
Jessi dengan rambut yang acak-acakan khas orang bangun tidur, baju tidurnya yang terlihat sedikit berantakan akibat tidak bisa tidur semalam, berjalan keluar dari kamarnya. Ia berdiri di atas lantai dua yang mewah ini. Di bawah sana terdapat tiga orang yang sedang beradu mulut bahkan mungkin juga fisik, Jessi tidak mau peduli.
Dua manusia paruh baya yang tak lain dan tak bukan adalah kedua orang tua Jessi sedang bertengkar hebat entah karena masalah apa Jessi tidak pernah ingin tahu. Pecahan guci bunga pun sudah bertebaran di lantai sana, Jessi menebak jika ini ulah bundanya. Mereka terus saja bertengkar tanpa peduli orang lain. Untung mereka tidak memiliki tetangga yang dekat, jika ada pasti sudah mengomel karena waktu paginya diganggu oleh suara bertengkar.
Sedangkan ada satu pria lagi di sana yang berbanding terbalik dengan keadaan dua manusia tadi. Pria ini hanya menyandarkan tubuhnya ke pilar dan melipat kedua tangannya di depan dada. Menonton drama pagi ini dengan tenang. Jessi juga sedang menyaksikannya dengan malas dari atas sini.
"Bunda, Papah! Kalo berantem bisa gak kecilin sedikit volumenya? Aku masih ngantuk ini!" seru Jessi dari atas sini membuat mereka yang sedang adu mulut menghentikannya dan beralih menatap Jessi.
Si pria tadi pun ikut melihat ke arah adiknya. Namanya Jenofan Afhdal Kurnia, kakak kandung dari Jessi.
"Udah pagi, keluar sana cari sarapan. Kacang rebus sama popcorn kalo ada sekalian," katanya yang malah Jessi tanggapi dengan malas.
Ia jelas tahu apa maksud kakaknya itu. Tidak menurut, Jessi kembali membalikkan badannya dan masuk ke dalam kamar. Semoga saja masih bisa melanjutkan tidur indahnya.
Manusia yang tadi Jessi panggil bunda dan papah itu beralih memperhatikan Jeno yang sudah berdiri dari tadi dan mereka pun tahu itu.
"Loh kenapa malah ngeliatin Jeno? Lanjutin lah ributnya!" titahnya dengan polos tanpa dosa. Memangnya Jeno salah apa hingga mendapat dosa?
Pria paruh baya yang sudah berpenampilan rapih itu membuang nafasnya kasar, ia berdecak keras kemudian berlalu pergi meninggalkan rumahnya. Kepalanya sedang panas, memang salah dirinya harus bertengkar di depan anak-anaknya seperti tadi. Tapi, ini bukanlah yang pertama kali, sudah tak terhitung lagi yang keberapa kali Jessi dan Jeno menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar mengguncangkan rumah.
Melihat suaminya yang keluar rumah meninggalkan dirinya, sang istri pun ikut membuang nafasnya kasar. Ia menoleh pada Jeno. Tapi, yang ditatap malah balik menatapnya kecewa.
Jeno mendesah kecewa. "Yah, Bun, kok udahan sih? Padahal Jeno udah mau pesen popcorn sama kacang rebus loh. Ayo dong lagi, Jeno panggilin papah yah suruh masuk lagi?"
Sudah lah kesal karena si suami, sekarang putra sulungnya malah membuatnya tambah emosi. Ia berbalik badang dengan kasar dan meninggalkan Jeno menuju ke kamarnya sendiri dengan menghentakkan kakinya kesal.
Jeno menyeringai sinis. Ia berdecak masih kecewa tontonannya setiap pagi ini harus berhenti menggantung tanpa kepastian.
"Untung gue belom pesen gofood," katanya. Melihat ruangan yang seperti kapal pecah ini, membuat Jeno malah tambah risih dan pusing. Alhasil dirinya berbalik badan dan menuju ke kamarnya sendiri. Siapa tahu bisa mengikuti jejak Jessi menyambangi alam mimpi lagi.
***
Jessi memakan sarapannya di jam hampir dua belas siang. Sudah waktunya makan siang tapi Jessi malah masih sarapan. Saat dirinya terbangun karena suara ribut itu, ternyata Fauzan mengabarinya jika dirinya akan ada interview kerja hari ini. Jessi telat membalasnya untuk itulah ia malah langsung menanyakan hasilnya yang belum di jawab oleh Fauzan.
"Non, mau Bibi buatkan soto untuk mengganjal perut sampai malam?" Seorang wanita tua yang sudah sangat lama bekerja dengan keluarga Jessi itu bertanya padanya.
"Iya, Bi. Kangen banget aku sama soto buatan Bibi. Tapi, nanti langsung ke kamar aku aja yah Bi!"
"Iya Non, baik. Oh iya, tadi Den Jeno berpesan jika Non Jessi sudah bangun, disuruh tanya mau dibelikkan makanan apa?"
"Oh iya, Bi. Makasih yah," ucap Jessi dengan tulus.
Entah pada kemana seluruh keluarganya. Pokoknya, setelah ia bangun bunda dan kakaknya itu sudah pergi saja tidak ada di rumah. Alhasil, Jessi harus menikmati makanan sendirian.
Ah tidak, hanya roti dan selai strawberry saja pun. Tidak pernah mau makanan berat jika untuk sarapan, itu adalah kebiasaan Jessi. Mau jam berapa pun sarapannya, harus roti saja sebagai pengganjalnya. Entah karena apa.
Selesai makan, Jessi kembali ke kamarnya. Mau apa lagi memangnya? Toh kuliah juga sudah selesai dan ia tidak bekerja sama sekali.
***
Ponselnya terus saja berderib dari tadi hampir membuat Jessi melemparkan ponselnya itu ke atas kasur.
Terdapat tulisan nama Cleo di layar sana. Jessi segera menerima sambungannya.
"Hallo, kenapa Cle?" tanya Jessi gontai berjalan ke arah meja belajarnya. Mendudukkan dirinya malas di atas kursi serba biru mudanha itu.
"Aku cuma mau kasih tahu kamu aja kalo tas yang kemarin kamu tanyain udah ada di Indonesia. Kalo kamu mau biar aku sekalian pesenin nih!"
Jessi bergumam untuk membalasnya. Cleo pasti sudah mengerti apa maksudnya seperti itu. Buktinya saja wanita itu langsung mengatakan ya dan memerankannya.
"Oke, Jess udah aku pesenin. Jangan kaget yah kalo ada paket dateng. Jangan mikirin transfer yah, langsung kirim aja ke rekening yang biasa."
Setelah itu panggilan pun diputuskan sepihak oleh Cleo. Banyak suara yang berisik disana. Cleo pasti sedang pemotretan. Ah, Jessi jadi ingin kesana. Melihat langsung bagaimana pekerjaan sahabatnya itu.
Ia mengirimkan chat pada Cleo.
Jessica
11:54
Cle, aku mau ke lokasi pemotretan kamu, kirim alamatnya dong!
Tak lama Cleo membalasnya dengan langsung memberikan alamat lengkapnya lewat google maps. Tanpa bertanya apa pun, Cleo langsung memberikannya.
Dengan segera Jessi menyandang tas kecilnya yang hanya berisi ponsel, dompet dan bedak serta lipstik kecil dengan warna kesukaannya. Tak lupa dirinya mengunci pintu kamarnya agar tidak ada yang bisa sembarangan masuk tanpa izin dirinya.
Sebelum meninggalkan rumah, Jessi terlebih dahulu menemui pegawai rumahnya yang tadi akan memasakkannga soto itu.
"Bi, Jessi mau keluar sebentar. Nanti sotonya taruh di dapur aja dulu. Satu lagi kalo ada Fauzan datang bilang aja aku ketemu sama Cleo yah!"
Si wanita tua itu mengangguk. "Iya, Non. Baik," jawabnya yang memang sudah terbiasa seperti itu. Urusan bohong atau tidak itu bukan urusannya, yang terpenting dirinya melakukan pekerjaan sesuai dengan apa yang bosnya katakan.
Jessi pun segera beranjak pergi dari posisinya dan meninggalkan rumah dengan mobil yang sudah lama tidak ia pakai karena Fauzan yang melarangnya bepergian sendiri dengan membawa kendaraan sendiri.