Hari ini tanpa siapa pun Jessi mengelilingi gedung perbelanjaan sendirian. Fauzan sedang ada urusan dengan salah satu perusahaan ayahnya. Sedangkan Cleo dan Rere, Jessi tidak mau merepotkan mereka dulu. Sudah cukup seharian kemarin mereka menemaninya berkeliling.
Matanya berbinar begitu melihat dress coklat dengan title yang sangat indah. Kakinya langsung melangkah cepat membawanya masuk ke dalam satu toko itu. Berharap jika tidak akan ada yang mendahului dirinya untuk mengambil dress itu.
Namun, saat sudah tinggal sebentar lagi kakinya mencapai manekin itu, sepasang tangan dengan segera mencapainya. Mendahului Jessi mengambil pakaian itu. Membuat Jessi seketika murung.
"Yah udah keduluan," decaknya kecewa. Ia paling tidak suka dengan yang namanya keributan dan rebutan. Jika orang lain menginginkannya ya silahkan ambil, dirinya akan cari yang lain. Meskipun dengan perasaan yang dongkol.
Tubuhnya hendak berbalik tapi tertahan dengan wajah yang mengambil pakaiannya itu. Wanita yang mendahuluinya mendapatkan dress cantik itu. Tubuhnya seketika berdiri tegak menatap lurus wanita itu yang tidak sendirian. Dia sepertinya bersama dengan teman wanitanya juga.
Lututnya lemas, matanya menatap sendu. Dia masih ada di kota bahkan tempat yang sama dengan yang kakinya pijak?
Saat wanita itu akan berbalik, refleks Jessi juga ikut membalikkan badannya menghindari pertemuan mereka.
Kakinya langsung membawanya keluar dari toko pakaian itu. Ia sudah tidak ingin berbelanja apa pun lagi. Sudah cukup wajahnya membuat dirinya kehilangan seluruh hasrat belanjanya.
***
Jessi duduk sendiri di sebuah restoran yang berada di satu lantai yang berbeda dengan toko tadi. Berharap jika dirinya tidak akan bertemu lagi dengan orang itu. Bahkan jika boleh untuk selamanya.
"Silahkan, Kak!" Seorang pelayan wanita datang membawa pesanan yang Jessi pilih. Sepiring mie Aceh dengan es jeruk yang menemani.
"Terima kasih," ucapnya yang dibalas anggukan kepala tipis dan senyuman manis. Kemudian ia meninggalkan Jessi sendiri lagi.
Berharap bisa menjernihkan pikiran atas pertengkaran tadi pagi, malah membuat isi pikirannya kembali penuh.
Jessi menghabiskan makanannya dan ingin cepat pulang. Namun, dering ponselnya menghentikan acara makannya. Ia mengangkat lebih dulu panggilan masuk dari Fauzan itu.
"By, kamu dimana? Perlu aku susul gak?"
"Aku lagi makan nih. Kamu…," ucapan Jessi terhenti di udara ketika baru saja akan menjawab. Pikirannya kembali pada wanita tadi, bagaimana jika Fauzan bertemu dengannya? Bagaimana jika mereka yang dulu… Ah sudahlah, biar saja Fauzan menjemputnya. Urusan bertemu atau tidak menjadi urusan belakangan. Toh kalau pun Fauzan tidak bisa menggenggam kepercayaan yang sudah Jessi berikan, itu akan menjadi pilihan Jessi.
"Iya kamu jemput aja. Nanti aku kirim lokasinya," jawabnya kemudian.
"Oke. Kamu cepet kirim lokasinya yah!"
"Iya. Yaudah yah aku tutup dulu. Lagi makan soalnya," katanya. Baru setelah mendapat jawaban dari Fauzan ia menutup panggilannya. Dan kembali menaruh ponselnya di atas meja. Kembali melanjutkan makannya.
***
Rere memarkirkan motornya di depan minimarket. Kemudian dirinya masuk untuk membeli segala bahan keperluannya untuk satu bulan. Sebenarnya ia mengakui kesalahannya yang justru membawa motor dan bukannya mobil. Dimana ia akan menaruh semua belanjaannya jika seperti itu?
Untungnya dia sudah mengenal salah satu pegawai di minimarket ini. Jadi, bisa untuk dirinya mintai pertolongan membawakan belanjaannya dengan mobil.
"Re? Belanja?" Rere yang sedang mengambil beberapa tisu toilet langsung berbalik ketika mendengar ada yang menyapanya.
"Eh? Iyalah belanja. Lo pikir lagi apa emang?" balasnya ketus. Awalnya itu terkejut ketika melihat Satria lah yang menyapanya tadi. Namun, secepat kilat ia merubah ekspresi terkejutnya itu dengan biasa saja.
"Kirain emang kerja gitu," sahutnya santai. Ia juga mengambil beberapa kotak tisue toilet dan memasukkannya ke dalam troli belanjaannya.
Rere memutar bola matanya malas ia kemudian melanjutkan acara belanjanya dan meninggalkan Satria disana sendiri.
Selain untuk melanjutkan mencari sesuatu yang dirinya cari, Rere juga lakukan itu untuk menghindar. Berada dekat terlalu lama dengan Satria bisa menimbulkan efek yang tidak baik untuk kesehatan jantungnya.
Matanya membola ketika melihat keberadaan seseorang di ambang pintu minimarket. Meskipun posisi wanita itu menyamping dan sedang bermain ponsel, tapi Rere masih bisa mengenalinya dengan jelas.
Evelyn. Wanita itu yang pernah membuat sahabatnya terpuruk dan sedih. Tadinya ia ingin menghampiri wanita tadi, akan tetapi langsung terhenti ketika ingat jika ia sedang belanja. Ia teruskan saja tanpa mau memperdulikan keberadaan wanita dengan aksen bule itu.
***
"Evelyn?"
Rere menoleh ketika mendengar seseorang mengucapkan nama itu. Ia berbalik badan dan mendapati Satria yang sedang terkejut karena melihat wanita yang sama.
Mereka sedang mengantri untuk membayar. Rere mengalihkan fokusnya kembali untuk membayar semua belanjaannya.
"Kak Bima, bisa sekalian minta tolong gak?" tanya Rere dengan tidak enak hati.
Satria yang berdiri dibelakangnya juga ikut menoleh. Ia terus memperhatikan apa yang sedang wanita di depannya ini lakukan.
"Iya kenapa, Re? Kalo bisa aku pasti bantu kok," jawabnya dengan ramah.
"Aku kan belanja banyak banget, tapi bodohnya malah bawa motor. Ada yang bisa gak yah anterin semua belanjaan aku ke rumah?"
Laki-laki yang sedang berhadapan dengan Rere itu terkekeh. Bukan sekali wanita itu melakukan hal ini. Ini yang kedua kalinya.
"Oh iya gak apa-apa, nanti biar aku aja yang bantu. Ada mobil produksi kok," jawabnya setelah menyelesaikan kekehannya.
"Gak perlu. Biar saya aja yang bantu," sahut Satria dari belakang membuat Rere langsung menatapnya.
"Gak perlu kok, Sat. Gue minta tolong pihak sini aja," balas Rere tidak mau terlibat lebih jauh dengan Satria.
"Lo ngerepotin kalo ngandelin pihak sini. Mending bareng gue aja, lagian kita juga searah, kan?"
Rere tidak bisa mengelak lagi. Lagipula memang benar, rumah mereka berada di jalan yang searah.
"Ya udah deh," jawab Rere kemudian.
***
Evelyn yang sedang berdiri di depan pintu minimarket terkejut ketika pintu tiba-tiba saja terbuka. Terlebih lagi melihat siapa yang kini ada di hadapannya.
"Satria? Rere?"
Rere memutarkan bola matanya malas. Melihat wajah polos Evelyn membuatnya muak, bahkan ingin muntah. Berbeda dengan Satria yang menatap wanita itu dingin.
"Kalian abis belanja yah?" tanyanya basa-basi.
"Bukan. Kita abis bercocok tanam," jawab Rere ketus.
"Re!" tegur Satria tidak suka dengan balasn kasar dari Rere.
"Kok kalian bisa bareng sih? Kalian udah jadian, kah?"
"Kenapa? Mau lo rusak? Lagian apa hubungannya sih hidup gue?" Rere paling tidak bisa berhadapan dengan orang yang memiliki dua wajah.
Evelyn menunduk mendengar balasan ketus dari Rere. Ia tidak akan marah, ia tahu mengapa Rere bersikap seperti itu kepadanya.
"Sorry, Lyn. Jangan dimasukkin ke hati yah ucapannya Rere. Lo apa kabar?" tanya Satria tetap dengan nada datar dan dinginnya.
"Iya. Gak masalah kok, Satria. Gue baik. Lo gimana?"
Melihat interaksi di antara mereka, membuat Rere semakin muak. Bisa-bisanya ia masih melihat interaksi yang begitu baik di antara mereka.
Tidak tahan, Rere dengan segera pergi meninggalkan mereka menaiki motornya. Membiarkan saja belanjaannya ada di dalam mobil Satria.
"Entah begitu baik atau begitu bodoh. Mereka semua gak waras!"