"Kelamaan nunggu gak?"
Jessi pun bangun dari duduknya ketika Fauzan sampai dan langsung menghampirinya. Nafasnya masih tersenggal, sepertinya ia lari untuk bisa cepat mencapainya.
"Lumayan sih. Yaudah yuk langsung pulang!" ajak Jessi kemudian. Ia tidak lagi mau berlama-lama di tempat ini. Ada sesuatu yang mengancamnya.
"Kamu gak mau kemana dulu gitu? Serius mau langsung pulang aja?" Fauzan hanya merasa aneh dengan sikap Jessi yang terbilang tiba-tiba berubah.
Biasanya Jessi akan merengek pada Fauzan untuk mengelilingi mall dulu. Untuk apa pun itu, bahkan pernah dirinya menuruti Jessi hanya untuk berkeliling saja tanpa membeli apa pun lagi.
Namun, kali ini justru berbeda. Jessi minta langsung pulang. Entah ada apa atau memang hanya ingin saja.
"Enggak. Aku mau langsung pulang aja," jawabnya dengan raut wajah yang gelisah.
"Ada apa, By? Kamu kenapa gelisah gitu?" Tangan Fauzan menggenggam tangan Jessi yang terasa dingin.
"Udah aku gak apa-apa kok. Ayo pulang!" Jessi pun menarik tangan Fauzan agar segera berjalan. Lama jika harus menunggu pria itu berjalan lebih dulu.
***
Namun, ternyata dunia sedang tidak berpihak kepadanya. Di loby mall, mata dan wajah mereka bertemu. Jessi seketika mematung ditempat dengan pandangan lurus ke depan. Hatinya berdebar cukup kencang. Tangannya mengerat menggenggam tangan Fauzan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahinya.
"Hai apa kabar?" Sapaan kali ini membuat Jessi pusing. Kepalanya tiba-tiba saja pening padahal hanya mendengar sapaan biasa saja dari teman lama.
"Ba… Baik. Kamu, eh lo apa kabar?" balas Fauzan yang telah dengar gugup.
Pandangan mata Jessi benar-benar tidak lepas dari wanita yang ada di depannya ini. Tangannya yang menggenggam tangan Fauzan terasa berkeringat karena Fauzan juga sangat erat menggenggam tangannya.
"Gue baik. Kalian masih bareng? Langgeng yah!"
"Gue seneng bisa liat kalian lagi. Apalagi dengan kalian yang bareng-bareng kayak gini. Gue pikir kalian udah gak bareng," lanjutnya bicara.
Semakin banyak orang itu bicara, semakin Jessi merasa pusing. Bayangan masa lalu kembali hadir memenuhi kepalanya dengan banyaknya permasalahan.
"Disha. Apa kabar?" sapa Jessi sekuat tenaga. Maksud dari sapaan itu berbeda arti. Bukan kabar seperti itu yang Jessi maksud.
"Jess, gue baik. Kan tadi gue udah jawab. Lo masih bisa denger dengan normal, kan?" Entah apa maksudnya, bercanda atau memang sengaja. Tapi, dari nada bicaranya jelas terdengar sinis.
"Bagus deh. Udah punya pasangan lagi?"
Jessi memperhatikan ketika wanita yang bernama Disha itu malah melirik Fauzan yang terdiam gugup.
"Belum. Gue masih belum bisa move dari yang lama," jawabnya kemudian menatap Jessi mengejek.
"Cepet move on yah! Cepet cari pengganti. Kan gak seru kalo terus ngarepin cowok orang," celetuk Jessi kemudian menarik tangan Fauzan agar cepat pergi dari sana. Fauzan sendiri hanya pasrah saja tidak mau melawan.
***
"Gak nyusul Rere?" tanya Evelyn setelah Rere pergi meninggalkan mereka.
Mata Satria masih mengikuti jejak Rere meskipun wanita itu sudah tidak terlihat lagi.
"Gak perlu. Lagian semua belanjaan dia ada di mobil gue kok. Lo lagi apa disini?"
"Ehm… Gue lagi nemenin temen gue yang lagi belanja."
"Gimana hidup lo selama ini?" Satria adalah salah satu orang yang paling tahu kehidupan Evelyn sebelum mereka berpisah untuk jalan masing-masing.
"Masih sama. Sama kayak dulu. Tapi, sekarang sudah lebih baik. Setidaknya gue bukan lagi seorang perusak."
Satria menatap wanita di depannya ini dengan dalam. Tatapan matanya tulus melihat pada Evelyn.
"Lo gimana? Kalian semua gimana? Jessi dan Fauzan gimana?"
"Kita semua baik-baik aja. Kita masih sering bareng dan ketemu. Jessi dan Fauzan pun baik-baik aja," jawab Satria seperti tahu apa yang Evelyn inginkan.
"Lyn, kalo perlu sesuatu, jangan ragu hubungi gue yah! Gue akan selalu siap untuk lo sampai kapan pun itu," katanya pelan.
Evelyn mengangguk. Penampilan wanita itu begitu sederhana tapi tetap terlihat sangat cantik dengan polesan make up yang tipis.
"Iya," jawab Evelyn kemudian.
"Lo masih simpan nomor gue, kan? Gue gak pernah ganti nomor kok," katanya lagi.
"Iya."
"Yaudah kalo gitu gue harus pergi duluan. Lo baik-baik yah!"
Evelyn kembali mengangguk. Kemudian Satria benar-benar pergi. Kapan lagi bisa melihat Satria banyak bicara seperti tadi? Jika bukan hanya di hadapan seorang Evelyn.
***
"Ngapain lagi?" Baru saja membuka pintu tapi Rere sudah sewot saja bertanya pada seseorang di hadapannya itu.
"Gue cuma mau kasih belanjaan lo yang ketinggalan di mobil gue kalo lo lupa," jawabnya kemudian menaruh semua barang belanjaan Rere di dalam rumah dekat pintu.
"Sat, lo kenapa masih bisa baik sih sama dia?" tanya Rere menghentikan pergerakkan Satria yang sudah berbalik dan bersiap untuk pergi.
"Karena dia baik," jawabnya singkat kemudian benar-benar pergi meninggalkan rumah Rere.
Rere hanya bisa memperhatikannya dari pintu rumahnya, mobil Satria yang sudah melenggang jauh pergi.
"Susah emang ngomong sama kulkas dua belas pintu," gumam Rere yang kemudian menutup pintu rumahnya. Ingin segera merapihkan semua belanjaannya di tempatnya yang seharusnya.
***
Mereka hanya saling diam di dalam mobil. Wajah Jessi sudah semakin mengeras saja mengingat semuanya. Dari semua mantan Fauzan, hanya dialah yang paling menyebalkan menurut Jessi.
"Ayo pulang!"
Fauzan menurut dan kemudian mengemudikan mobilnya meninggalkan parkiran.
Di selama perjalanan mereka, tidak ada satu pun yang bisa memancing obrolan untuk mereka. Fauzan dan Jessi sama-sama bungkam. Tidak tahu harus memulai obrolan darimana untuk mencairkannya.
Kepala Jessi pusing, ia bingung harus bagaimana untuk menghadapi dirinya sekarang ini. Sudah bertahun-tahun lamanya kejadian pahit itu terjadi. Mengapa semuanya harus kembali saat sudah baik-baik saja seperti sekarang ini?
"Keluarga aku udah hancur. Semua yang aku inginkan sudah tidak bisa aku gapai. Kalo kamu mau buat aku semakin hancur, ayo sekarang aja. Biar nanti aku bangkitnya gak capek," kata Jessi pelan menyandarkan tubuh lemasnya di sandaran kursi.
Fauzan hanya bisa diam tak tahu harus membalas apalagi. Ia mengakui semua kesalahannya tapi kali ini ia benar-benar tidak tahu apa pun.
"Aku gak tahu apa pun perihal masalah ini, By. Jangan bicara gitu, kamu tahu juga kan kalo keluarga aku juga gak baik-baik aja?"
"Kamu tahu apa alasan aku kuliah di jurusan hukum. Apa alasan aku gak mau kerja. Kamu tahu semua itu kan, Fauzan?" Mereka memang tidak pernah bisa saling membentak meskipun sedang ribut hebat. Mereka selalu berusaha untuk memelankan suaranya untuk bicara meski dalam situasi apa pun.
Fauzan menunduk. Iya, dirinya tahu segala hal. Segala hal yang Jessi lakukan selama ini dengan alasan yang jelas.
"Aku harus apa sekarang? Untuk minta maaf rasanya aku udah gak berhak dapatin itu lagi," katanya lirih.
"Udah. Move on. Lupain masa lalu."