Cleo mengajak Rere untuk ke rumah Jessi. Wanita itu merasa jika sahabatnya sedang tidak baik-baik saja sekarang ini. Untuk itulah ia memaksa Rere agar mau menemaninya ke rumah Jessi.
"Jessi tuh paling gak suka loh kita ke rumahnya tanpa kasih tahu dia dulu. Ini lo yakin mau kesana?"
Rere, Cleo dan Jessi berteman bukan baru sehari dua hari, tapi melainkan sudah bertahun-tahun. Sudah pasti mereka tahu dengan jelas apa yang masing-masing sukai dan tidak sukai. Hal yang paling tidak Jessi sukai adalah ketika teman-temannya datang tanpa izin dari dia dulu.
"Aku yakin banget, Re. Ayolah! Ini perasaan aku bilang kalo Jessi lagi butuh kita. Kita harus cepet-cepet ke rumahnya sekarang," jawab Cleo dengan cepat. Dari raut wajahnya memang terlihat panik dan khawatir.
Akan tetapi, Rere tidak bisa sepenuhnya percaya pada Cleo. Mau bagaimana pun Jessi akan sangat marah jika mereka melakukan hal yang dirinya tidak sukai.
"Tapi Jessi pasti akan marah, Cle. Lo kayak gak tahu dia aja deh," balas Rere tetap dengan pendiriannya.
"Gue ajak dia ketemu aja deh sekarang. Tapi enggak di rumahnya," lanjut Rere kemudian merogoh ponselnya yang ada di saku celananya.
"Enggak. Jangan kasih tahu dia. Dia gak akan mau jujur kalo di tanya lewat telepon. Harus kita tanya langsung," cegah Cleo saat Rere sudah akan menekan ikon telepon.
"Cle, gue ajak dia ketemu di luar buat kita tanya langsung asal jangan di rumahnya. Lo sendiri kan tahu kalo Jessi gak suka kita ke rumahnya tanpa dia tahu. Gue gak mau nanggung resiko dia marah yah, Cle."
Bagaimana pun sikap Rere, ia selalu mengutamakan kenyamanan para sahabatnya. Selama ini ia selalu berusaha agar tidak melakukan hal yang sahabatnya tidak sukai. Ia sangat menjaga perasaan dan privasi mereka meskipun mereka teman dekat. Dekat bukan berarti harus tahu segalanya bukan?
Cleo diam untuk berpikir. Apa yang Rere katakan memang ada benarnya juga. Jessi benci jika ada orang yang melanggar dirinya.
"Yaudah deh. Ajak dia ketemu di luar aja," balas Cleo pada akhirnya.
***
"Tadi gue ketemu Disha," kata Fauzan memulai percakapan mereka.
Daneo terkejut bukan main. Sedangkan Satria hanya diam meskipun ia juga ikut terkejut.
"Disha? Disha yang kita kenal? Serius lo? Terus gimana?" cecar Daneo penasaran.
"Ya gak gimana-gimana. Gue ketemu juga lagi bareng sama Jessi," jawab Fauzan lesu. Entah apa yang membuat semangatnya menurun. Takut Jessi marah, atau karena bertemu dengan sang mantan?
"Sama Jessi? Terus gimana dia? Marah dong sama lo? Ya kali gak marah-marah," tambah Daneo semakin panas. Obrolan yang seperti inilah yang dirinya butuhkan untuk menyegarkan kepalanya.
"Lo pada kan tahu kalo Jessi paling gak bisa marah apalagi ngebentak gue."
"Iya juga sih. Padahal gue langsung ngebayangin kalo dia jambak rambut lo sampe botak," sahut Daneo mengarang.
"Pala lo gue botakkin," balas Fauzan sewot.
Daneo hanya memberikan cengirannya saja ketika mendapat delikan tajam dari Fauzan.
"Gue juga tadi ketemu Evelyn," cetus Satria membuat Fauzan terkejut. Daneo sudah pasti ikut terkejut juga. Malah lebih hiperbola.
"Se… Serius lo? Dimana? Gimana dia sekarang?" tanya Daneo langsung heboh.
"Dia baik-baik aja kok. Gue ketemu pas lagi sama Rere," jawab Satria menjelaskan dengan jujur.
Bukannya dia fokus dengan jawaban dari pertanyaannya, ia malah salah fokus dengan siapa yang bersama dengan Satria saat itu.
"Lo lagi sama Rere? Ngapain?"
Satria langsung menatap Daneo dengan tajam. Memang sepertinya pria itu segera dimusnahkan dari muka bumi ini. Semakin lama hidup semakin membawa emosi ke dalam hidup teman-temannya.
"Jaga otak lo. Gue ketemu Rere di minimarket. Evelyn juga ada disana," jawab Satria seakan tahu apa yang ada di dalam pikiran Daneo.
"Ya otak gue gagal traveling deh," decaknya kecewa.
"Kemarin malem dia hubungi gue minta ketemu."
"Terus? Terus?"
"Gue jawab, gue harus izin sama Jessi dulu. Tapi dia langsung bilang gak jadi," jawab Fauzan semakin sendu. Kepalanya seakan mau copot saja dari tempatnya memikirkan semua hal yang tiba-tiba saja datang.
Daneo dan Satria menghela nafas secara bersamaan. Apa yang ada di pikiran keduanya sama. Masalah Fauzan tapi mereka berdua juga malah ikut pusing memikirkan solusinya.
"Tinggal gue yang belum ketemu Vanesha," ucap Daneo di tengah keheningan mereka. Membuat Satria dan Fauzan seketika melotot.
***
Jessi dan Jeno duduk dengan santai du sofa ruang tamu. Tangannya ada di dagu untuk menopang kepalanya, kakinya dilipat saling tindih. Sedangkan Jeno hanya menyandarkan tubuhnya dengan santai bersebelahan dengan sang adik.
Di hadapan mereka sedang ada pertunjukkan gulat yang paling seru di sepanjang masa. Tontonan mereka ribut-ributan tapi yang menonton hanya duduk santai seperti di pantai menatap laut luas yang membentang indah.
"Bun, itu vas bunga yang satu lagi belum pecah," kata Jeno menunjuk vas bunga yang ada di sebelah Jessi.
Tak dihiraukan, malah semakin seru sepertinya.
"Gue kasih aja kali yah. Kan sayang kalo ditinggal sendirian," gumam Jessi kemudian bangkit dari duduknya sembari membawa vas bunga yang tadi Jeno tunjukkan.
"Bunda, Ayah. Berhenti dulu berantemnya. Ini vas bunga satu lagi belum pecah," kata Jessi menyodorkan vas bunga itu dengan wajah polosnya.
Alin dan Surya berhenti beradu mulut. Ia menatap anak bungsu wanita satu-satunya itu.
"Kamu ini apa-apaan sih, Jessi? Masuk ke kamar kamu sana!" titah Alin membentak Jessi.
Namun, yang dibentak malah tak bergeming di tempatnya. Wajahnya malah semakin polos seakan memang tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.
"Tadi aku lagi dikamar kalian manggil suruh ke bawah buat nonton kalian berantem. Sekarang aku udah disini masa malah di suruh balik ke kamar lagi sih," decak Jessi kecewa.
"Yaudah deh aku balik ke kamar. Nih vas bunganya. Gampang kalo habis kita beli aja lagi nanti," lanjutnya kemudian menyerehakan vas bunga itu ke tangan Alin. Sedangkan dirinya langsung berbalik badan menuju ke kamarnya.
"Gak seru. Malah disuruh bubar," kata Jessi pada Jeno yang melihat ke arahnya dan lanjut melangkah menuju ke kamarnya.
"Anak kamu itu. Makanya urus dia dengan benar. Seorang ibu itu harusnya bisa menjadi tempat sekolah pertama untuk anak-anaknya. Agar dia bisa tahu dan paham akan sopan santun." Surya bicara tepat di depan wajah Alin. Membuat suasana semakin panas lagi. Entah apa yang menjadi awal pemicu mereka bisa bertengkar.
"Kamu juga harus bisa menjadi mesin atm berjalan untuk keluarga kamu. Jangan hanya menuntut orang lain untuk tampil sempurna jika kamu sendiri saja belum bisa dari sekadar baik."