Lima belas menit kemudian mobil berhenti di depan Jessi, Cleo dan Rere berdiri. Mereka jelas saja mengetahui siapa orang yang ada di dalam mobil ini.
Sampai seorang pria datang dengan hanya menggunakan hoodie hitam dan celana jeans hitamnga juga. Menghampiri Jessi dengan tatapan penuh kekhawatiran. Jessi jadi semakin merasa bersalah kembali melihatnya.
"Maaf," cicit Jessi menundukkan kepalanya.
"Cleo, Rere, makasih yah udah jagain Jessi."
Rere hanya mengangguk tak mempermasalahkan. Cleo juga melakukan hal yang sama karena ikut takut dengan melihat tatapan Fauzan.
"Ayo pulang!" ajaknya kemudian menarik tangan Jessi.
"Hati-hati!" seru Cleo saat melihat Jessi sudah masuk ke dalam mobil Fauzan.
Tadi, sebelum mereka berangkat ke mall, mobil Jessi sudah di bawa pulang kembali oleh supirnya yang ia minta untuk datang.
Melihat mobil Fauzan sudah berlalu dari hadapan mereka, Rere dan Cleo pun kemudian menuju ke kendaraan mereka masing-masing.
***
Di dalam mobil mereka hanya diam saja. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan baik Fauzan maupun Jessi. Suasana seperti itu membuat Jessi jadi tambah takut untuk hanya sekedar menatap Fauzan saja.
"Udah makan malam belum?" tanya Fauzan dingin tetap menatap lurus ke jalanan.
"Udah," jawab Jessi singkat. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang.
"Maaf," cicit Jessi lagi mengingat permintaan maafnya belum juga dijawab.
"Hemm…." Fauzan hanya membalasnya dengan deheman saja.
"Kok cuma gitu jawabnya? Dimaafin enggak?" tanya Jessi dengan suara yang kesal. Ia hanya butuh iya atau tidak, tapi pria itu malah menjawabnya dengan hal lain.
"Aku gak marah, By. Cuma khawatir. Kebiasaan jelek kamu tuh yang buat aku cemas. Kapan sih aku pernah ngelarang kamu buat pergi sama siapa aja? Gak pernah, kan? Tapi aku cuma minta satu syarat aja, kabar. Kenapa susah banget sih cuma buat sekedar angkat telepon?" Suara Fauzan lirih dan pelan. Ia tidak pernah membentak Jessi selama ini, apa pun kesalahannya. Ingat! Apa pun.
Jessi semakin menundukkan kepalanya, menyadari kesalahannya.
"Maaf," ucapnya lagi tidak tahu harus berkata apa lagi.
"Iya. Belajar untuk gak ngulang kesalahan yang sama yah!"
Jessi mengangguk dengan antusias mendengar Fauzan sudah memaafkannya. Memang bukan hanya sekali atau dua kali, sudah berkali-kali. Entah memang sengaja atau memang tidak Jessi sadari untuk melakukan hal itu.
"Aku tadi hubungi Cleo juga gak diangkat. Kenapa itu?" tanya Fauzan mengingat jika sebelumnya juga ia sudah menghubungi Cleo untuk menanyakan keberadaan Jessi.
Jessi menggelengkan kepalanya dengan wajah yang lugu tapi terlihat menggemaskan di mata Fauzan.
"Gak tau. Dia gak bilang apa-apa sama aku. Cuma Rere aja yang tadi bilang," jawabnya kemudian.
"Oh yaudah lah. Kita mau langsung pulang atau mau cari sesuatu dulu?"
Fauzan sudah sangat hapal dengan semua kebiasaan Jessi. Terlebih jika mereka pulang malam habis dari suatu tempat, maka wanita itu tidak akan mau langsung pulang dan akan meminta untuk mencari makanan pedagang kaki lima di sekitar mereka.
"Cari jajanan dulu," jawabnya yang langsung dibenarkan oleh hati Fauzan jika tebakkannya memang benar.
"Oke!"
***
"Mana Fauzan, Mah?" tanya seorang pria paruh baya dengan masih menggunakan setelah kerjanya.
Ia mendudukkan tubuhnya di sofa empuk miliknya yang harganya selangit dan ia beli hasil jerih payahnya sendiri.
Wanita yang ditanya itu terus menatap layar televisi dengan pandangan yang tak lepas.
"Keluar," jawabnya ketus. Bahkan untuk menatap sang suami pun enggan.
"Ya kemana? Ada yang mau aku bicarakan dengan dia," katanya lagi tak puas dengan jawaban singkat istrinya itu.
Bukannya menjawab, wanita itu malah beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan si suami sendirian di ruang tamu.
"Yah malah ditinggal lagi. Bukan setan kali gue sampe dicuekin kayak gitu," katanya jenaka.
Ia kemudian mengeluarkan ponselnya dan membuka sosial medianya. Melihat begitu banyak wanita seksi dengan berbagai pose dan pakaian membuat matanya berbinar. Matanya celingukan takut ada yang melihat kelakuan bodohnya itu. Setelah merasa aman, ia lanjut lagi menikmati semua foto itu.
Argantara Bima, nama pria yang menjadi ayah kandung Fauzan itu memang memilki sifat kurang ajar. Ia tak pernah bisa cukup dengan memperhatikan istri cantiknya saja. Bukannya selingkuh yang nyata, tapi dengan menikmati foto wanita lain saja bukankah itu sama saja dengan selingkuh?
Argan memiliki lima perusahaan dengan bidang yang berbeda. Salah satunya adalah kantor pengacara yang sengaja ia akan turunkan pada Fauzan. Dua minimarket, satu gedung entertainment, dan satu lagi toko busana.
Semua ia miliki bukan dari uang orang tua atau warisan. Tapi benar-benar dari hasil kerja kerasnya selama delapan belas tahun terakhir ini.
Istrinya atau ibu kandung Fauzan bernama Veve Aldiansyah, atau biasa teman sosialitanya memanggil Ve. Wanita itu memiliki sikap tegas, jutek, perhatian, dan pemilih. Namun, semua sikap itu ia miliki sejak mereka mengalami kekayaan yang berlimpah. Pada Jessi saja Veve tidak ramah sama sekali karena memang tidak menyetujui karena menurutnya keluarga Jessi berada di bawah dari urutan kekayaannya.
Berbeda dengan Argan yang justru sangat menyetujui hubungan Jessi dan Fauzan. Ia sudah menyayangi Jessi layaknya anak sendiri. Tapi, hubungannya lah dengan Fauzan yang kadang tidak baik-baik saja.
Sering sekali berdebat tentang hal sepele. Tapi, mereka tidak pernh ribut yang parah sampai saling membenci. Hanya sesekali saja yang membuat mereka merenggang.
Setiap kali habis pulang dari luar negeri mengurus pelebaran bisnisnya, Argan tidak pernah lupa membelikan Jessi oleh-oleh berupa barang mewah yang akan membuat Veve semakin tidak menyukai Jessi.
***
Setelah mengelilingi kota untuk mencari berbagai macam jajanan kota pinggir jalan yang sangat enak itu, akhirnya mereka sampai di depan rumah Jessi. Sudah ada dua mobil dan satu motor terparkir rapih disana. Jika sudah seperti ini, jangan sampai Fauzan pulang tanpa pamit pada mereka.
Fauzan pun ikut turun dan masuk ke dalam rumah bersama dengan Jessi, membantu wanita itu dengan banyaknya makanan yang sudah mereka beli. Untuk menemani Jessi menonton drama katanya.
Suasana rumah sangat sepi setiap harinya, terlebih lagi di malam hari.
Jeno yang baru saja keluar dari dapur menatap sinis seorang Fauzan. Jangankan menyapa, untuk memberi senyum saja tidak. Jeno dengan santainya berjalan melewati mereka berdua menuju ke lantai dua dimana kamarnya berada.
Fauzan sudah biasa mendapatkan perlakuan seperti itu dari kakak kekasihnya. Tak lama, Seorang pria paruh baya juga keluar dari dapur. Sepertinya mereka baru saja menyelesaikan makan malamnya.
Dengan segera Fauzan menghampirinya dan menyalami punggung tangannya dengan sopan.
"Eh Fauzan, sudah makan malam?" tanyanya begitu ramah. Berbeda dengan tadi pagi yang ribut tidak jelas.
"Sudah, Om. Ini cuma mau antar Jessi pulang aja," jawabnya juga tak kalah ramah.
Jessi juga melakukan hal yang sama, menyalami punggung tangan ayahnya. Meski ada rasa malas di hatinya.