Setetes air mata luruh tak bisa lagi untuk ditahan. Benda yang layarnya sudah gelap itu masih setia ia genggam. Bahkan kini genggamannya lebih erat dari sebelumnya.
Jessica menutup mulutnya agar suara isakannya tidak ada yang mendengar. Kalian tahu semenyakitkan apa menahan tangisan? Menangis sendiri di dalam kamar yang sengaja mulai ia matikan lampunya. Kegelapan membantunya untuk tetap bertahan.
Ini bukan lagi tentang marah, bukan lagi tentang kesal, tapi sudah diatas kecewa. Apa namanya hal itu? Entahlah apa tapi yang jelas Jessica tahu adalah rasanya, begitu menyakitkan. Mungkin benci.
Apa yang membuatnya sampai harus menahan sesak? Menahan tangisannya? Menahan air matanya daritadi? Ya, daritadi sejak video call itu tersambung. Bukan karena rasa rindunya pada Evelyn. Kecewanya masih terlalu besar meskipun ada rindu yang melesak masuk.
Yaitu seseorang yang duduk tepat di sebelah Evelyn. Jessica diam ingin melihat apa yang akan mereka lakukan. Ia menunggu si laki-laki itu yang menampakkan dirinya, tapi nyatanya sampai sambungan video itu diputus secara sepihak, tidak ada lagi ia melihat bahkan siluetnya pun seakan hilang.
Iya, Jessica melihat keberadaan Fauzan, kekasihnya juga ada disana bersama dengan salah satu mantan sahabatnya yang pernah menggalikan dirinya lubang luka yang sangat dalam. Evelyn.
Tentang Jessica yang mengatakan rindu itu benar. Tentang Jessica yang mengatakan ingin menyusul yang bohong. Ia hanya ingin mengetes bagaimana reaksi orang-orang disana saat ia mengatakan hal demikian.
"Sakit," lirihnya masih dengan isak yang sulit ia hentikan. Kedua tangannya memeluk lututnya dan bersandar di pinggir kasur. Tubuhnya seketika saja luruh saat semuanya sudah diputuskan.
"Apa yang salah sih dari aku? Aku salah apa?" Untuk mengatakan hal itu saja ia butuh usaha karena tangisnya yang dilapisi segukan. Tak tahan rasanya, sakit sekali hati ini.
Jessica bangun dan berlari ke arah pintu untuk ia kunci dari dalam. Kamar yang gelap membuatnya kesulitan untuk menggapai knop pintu hingga menyebabkan dirinya tersandung karpet berbulu tebal. Lututnya tergores namun ia malah tersenyum. Tangisnya hilang diganti dengan senyuman sumringah seakan baru saja mendapatkan lotre.
Niatnya untuk mengunci pintu ia urungkan, melainkan dirinya yang malah keluar tak memperdulikan bagaimana penampilannya yang berantakan habis menangis.
Ia turun ke bawah yang dimana ada kedua orang tua serta kakak laki-lakinya disana sedang bersantai di ruang tamu. Tak ada obrolan apa pun, melainkan semuanya sibuk dengan gadget masing-masing.
Jessi berdiri di hadapan mereka namun tak ada yang memperhatikan. Tak mendapatkan respon, beralih ia mencari perhatian pada kakak laki-laki satu-satunya dan berhasil. Jeno membalas tatapan adiknya yang sudah tersenyum lebar berbeda dengan dirinya yang malah terkejut melihatnya.
Bagaimana tidak? Lutut Jessi tergores dan mengeluarkan cairan merah yang sudah mulai mengalir. Memang hanya sedikit tapi cukup mengejutkan. Ditambah lagi mata yang sembab, rambut yang berantakan. Meskipun masih dengan bibir yang terangkat lebar. Wajahnya juga masih pucat karena kesehatannya belum pulih normal.
"Kak, bagus gak? Tadi aku kesandung karpet eh berdarah deh. Padahal cuma ada bekas beling gelas aja disana, aku pikir bakal lebih dari ini. Tapi, nyatanya cuma kayak gini doang," katanya dengan caranya yang menggemaskan layaknya anak kecil. Anak kecil yang mengadu jika ia baru saja menemukan coklat di kamarnya.
Jeno menaruh ponselnya di sembarang tempat dan beranjak menghampiri Jessica untuk ia perhatikan lebih dekat.
Alin dan Surya yang mendengar suara riang putri satu-satunya itu pun ikut mengalihkan perhatian mereka. Mereka sama-sama beranjak dari duduknya karena terkejut dengan keadaan kacau Jessica.
"Lo kenapa sih, Dek? Kayak gini tuh bukan cuma doang, kenapa gak langsung dibersihin sih? Bekas beling apa lagi? Kenapa bisa ada bekas beling gelas?" omel Jeno khawatir. Ia yang biasanya gengsi menunjukkan rasa khawatirnya, kali ini tak memperdulikan hal itu. Adiknya sudah terlalu dalam terjatuh.
"Ih bagus tahu. Nanti aku mau buat deh di lutut yang satu lagi. Di tangan juga mau terus di jidat, di apa lagi yah? Muka aja kali yah sekalian?" Cara Jessi bertingkah seolah apa yang dirinya rasakan adalah sebuah kebahagiaan. Ia terlihat menikmati setiap luka yang ada pada dirinya. Rasa sakit karena lutut berdarah tidak sebanding dengan luka yang menganga lebar di dalam hatinya.
"Kalo masalah beling itu, tadi aku gak sengaja lempar gelas. Aku pikir gak akan pecah, eh ternyata pecah dan gak sengaja kena aku. Jadi gini deh," katanya lagi mengadu. Jawaban yang jujur.
Jeno bisa melihat mata Jessi yang masih berkaca-kaca dengan tingkahnya yang seperti anak kecil. Itu tidak normal untuknya.
"Dek, lo kenapa? Ada yang nyakitin lo?" Jeno mengguncang kedua bahu Jessi melihat adiknya yang sedang berpikir keras mengenai tempat mana lagi yang harus ia berikan luka.
"Sayang, kamu kenapa, Nak?" Alin sudah menangis saja padahal belum tahu apa masalahnya. Ia meraih telapak tangan Jessi yang terasa sangat dingin. Menggenggamnya dengan erat. Bagaimana pun sikapnya selama ini, Jessi tetaplah anak gadisnya satu-satunya. Hatinya ikut sakit ketika melihat bagaimana hancurnya Jessi saat ini.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanyanya begitu lirih. Seburuk apa pun orang tua, ia masih ada hati untuk seorang putra dan putrinya.
"Bunda? Bunda lihat deh luka di lutut aku, ini karya seni baru aku loh. Bagus, kan?" tanyanya yang kini meminta pendapat dari Alin.
Kemudian matanya beralih menatap Surya. Ia menghampiri laki-laki paruh baya itu dengan riangnya yang tak pudar. Seperti anak kecil pada ayahnya saja. Berharap jika dirinya akan disambut dengan hangat.
"Ayah, gimana, bagus, kan? Aku nanti mau buat lagi, Ayah mau temani, kan? Ayah mau request gak aku haru buat dimana lagi?"
Tanpa banyak kata Surya menarik Jessica ke dalam pelukkannya. Apa pun yang sedang ia rasakan, hanya sebuah pelukan lah yang akan menenangkannya.
Jeno dan Alin sama sekali tidak bisa bereaksi apapun melihat pelukan ayah dan anak itu. Mereka hanya diam sampai dimana Jessica mendorong kasar Surya untuk melepaskan pelukannya.
"Ih Ayah, aku kan cuma tanya pendapat aja, ngapain pake peluk segala sih?" Jessica marah dan langsung kembali ke kamarnya meninggalkan mereka semua yang masih bingung. Sikapnya berubah drastis.
Pandangan mereka tak lepas sampai pintu kamar Jessica tertutup dengan keras karena dibanting pemiliknya.
"Jessica kenapa yah? Dia kok bisa jadi kayak gitu sekarang?" tanya Alin entah pada siapa saja yang mau menjawabnya. Air matanya sudah ia hapus secepat itu.
"Kayaknya kita harus bawa dia ke rumah sakit jiwa deh," kata Surya dengan entengnya membuat delikan tajam muncul dari Jeno.
Tanpa segan Jeno menghampiri Surya dan membogem mentah wajah ayahnya itu. Tak peduli akan bagaimana ia nantinya yang pasti rasa puas timbul di dalam hatinya.
"Lo pikir adek gue gila? Dia cuma lagi sakit dikit doang lo udah mikir sejauh itu? Lo siapanya sih sebenarnya? Bapaknya bukan?" cecar Jeno tak memberikan kata ampun. Alin langsung sibuk memisahkan Jeno dari tubuh tumbang Surya yang sudah merah padam karena amarah.
"Kurang ajar kamu, Jeno. Kamu pikir bagus bertindak seperti itu kepada ayahmu sendiri?"
Jeno berdecih. Baru beberapa detik dirinya terharu dengan pelukan ayah dan anak tadi tapi sudah langsung dipatahkan oleh sikap tidak tahu diri ayahnya itu.
"Gak peduli gue kalo pun lo anggap gue anak durhaka. Tapi ayah mana yang tega masukin anaknya sendiri ke rumah sakit jiwa hanya karena bersikap sedikit aneh seperti tadi? Jessi gak ada sedikit pun ngerugiin lo yah, bahkan lo yang banyak ngerugiin dia dalam segala hal!" tunjuk Jeno dengan jari telunjuknya tepat di depan wajah marah Surya.
"Jeno sudah!" Hanya dua kata itu yang daritadi Alin katakan untuk menghentikan kemarahan anak sulungnya.
"Keputusan Bunda untuk cerai dari Ayah Jeno dukung, Bun. Sebelum lo masukin Jessi ke rumah sakit jiwa, lo yang bakal ngerasain hak itu duluan," kata Jeno kemudian segera berlalu menaiki tangga menuju ke kamarnya sendiri. Meninggalkan kedua orang tuanya yang saling diam masih mencerna situasi yang ada.