Tersisa tinggal Fauzan yang ada di dalam ruangan Jessi menemani wanita itu yang hanya diam melamun. Jeno sudah pergi untuk segera melakukan kegiatannya yaitu bekerja, sama seperti Alin dan Surya.
Tadi dirinya sudah menawari Jessi ingin makan siang apa? Tapi, wanita itu malah menolak dan hanya diam sampai sekarang. Dan yang bisa Fauzan lakukan sekarang hanyalah memakan habis makanan miliknya dengan tanpa selera.
"Jess, kamu beneran gak mau ini? Makanan kesukaan kamu loh ini," tawar Fauzan lagi namun tak sama sekali mendapat respon baik.
Fauzan kembali menundukkan kepala menahan miris. Jujur saja, ia merasa tidak berguna menjadi seorang pasangan, apa yang sedang terjadi pada Jessi saja dirinya tidak tahu. Apa yang menjadi penyebab kelakuan Jessi seperti ini saja dirinya tidak tahu apa pun.
Fauzan menaruh makanannya di atas lemari laci di sebelah brankar. Dirinya memilih duduk di atas kasur dengan menggenggam tangan kekasihnya.
"Kalo perlu cerita, aku bisa kok jadi pendengar yang baik untuk kamu. Kalo pun aku yang menjadi topik cerita kegundahan kamu itu, aku siap untuk dengerin biar jadi bahan intropeksi diriku."
Fauzan menatap lirih wajah Jessi yang pucat tanpa ekspresi. Sebesar itu kah masalah yang sedang Jessi tampung hingga membuat dirinya frustasi? Hatinya berdenyut nyeri menatap serta mengelus bekas luka yang terbungkus kasa di pergelangan tangan Jessi.
"Banyak yang sayang sama kamu, By. Aku sayang banget sama kamu, gak mau kamu sampai kenapa-napa. Jangan gini lagi yah? Di dunia ini tidak segelap itu kok," katanya lagi menahan sesak.
Jessi memberikan senyuman sinisnya menatap dinding luas di depannya. Enggan menatap langsung pria yang menjadi kekasihnya itu.
"Aku gak ada masalah apa pun kok. Semalem cuma iseng aja, pengen tahu masih hidup atau enggak. Hidup aku udah cukup berwarna dengan segala cerita yang hadir. Siapa pun gak perlu khawatir dan kasihan," balasan Jessi membuat nafas Fauzan tercekat. Bisa-bisanya wanita ini mengatakan hal itu dengan mudahnya.
"Aku sebejat itu yah untuk kamu? Aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk merubah diri," ujar Fauzan tak kuasa menahan dadanya yang semakin sesak. Ia tidak peduli jikalau pun dirinya akan dianggap lemah karena menangis. Hatinya memang sudah tidak sanggup untuk menahannya lagi.
Jessi memutar wajahnya menatap Fauzan dengan tanpa ekspresi. Meneliti setiap inchi dari permukaan wajah kekasihnya. Menyaksikan tetesan air yang sedikit demi sedikit mulai turun dari mata bulat kekasihnya. Bibir yang bergetar dengan isakan kecil mengiringi.
"Hidupku gak selalu tentang kamu, By. Aku kan udah bilang kalo aku lakuin ini karena iseng aja. Jangan nangis!" Tangannya yang lemah menghapus jejak air mata yang tertinggal di pipi mulus Fauzan. Jadi tidak tega jika melihat Fauzan menangis seperti ini.
Fauzan menahan tangan Jessi yang sedang menghapus air matanya, ia genggam tangan itu dengan erat. Entah ada apa pada dirinya, yang pasti ia sangat jatuh hati pada satu wanita ini. Wanita yang entah memiliki berapa banyak stok sabar dalam hidupnya. Fauzan tahu sesulit apa keluarga Jessi dan Jessi pun sebaliknya. Tapi, ia tidak tahu jika Jessi sudah selemah itu hingga berniat mengakhiri hidupnya.
Dalam hidup Fauzan, hanya Jessi yang mampu menjadi segalanya bidang dalam satu tubuh, satu orang dan satu raga. Meskipun entah sudah berapa banyak dirinya membuat Jessi kecewa. Lagi dan lagi Jessi mampu memaafkannya dengan tanpa syarat. Jika malam itu Jeno tidak tepat waktu menyelamatkan nyawa adiknya, entah akan seperti apa hidup Fauzan ke depannya. Tidak ada yang lebay dalam rumus bahagia, hanya mereka saja yang tidak mampu menerima cara bahagia orang lain.
Ayahnya tukang selingkuh, ibunya otoriter, posesif, semuanya serba diatur entah memang memilihkan yang terbaik untuknya atau tidak suka saja jika anaknya bahagia atas pilihannya sendiri. Fauzan bersyukur ia masih memiliki kedua orang tua lengkap dan jika dibandingkan dengan Jessi, ia masih berada satu tingkat di atas wanita itu. Ia masih memiliki seorang kekasih baik hati dan penyabar yang bernama Jessica Afdhal Malika yang selalu bisa dirinya andalkan.
"By, aku lakuin ini bukan karena kamu. Bukan karena siapa pun. Gak perlu ada yang merasa bersalah atas kejadian ini. Aku ngelakuin hal bodoh seperti semalam memang karena aku bodoh. Karena pikiranku kacau. Hidupku yang gak ada artinya. Aku yang terlalu lelah, hatiku lemah, aku capek sama hidup ini. Kamu atau siapa pun itu gak ada hubungannya sama kejadian ini. Udah yah, jangan menyalahkan diri kamu sendiri." Tangan Jessi terus saja mengelus pipi Fauzan membersihkannya dari jejak air mata. Padahal, kini dirinya lah yang sudah banjir air mata.
"Kamu berarti untuk aku, By. Kamu segalanya untuk aku. Kamu istimewa, jangan lakuin hal seperti itu lagi yah! Itu gak baik. Kamu punya aku, kamu punya sahabat kamu, kamu punya tuhan. Jangan mudah nyerah dan lakuin hal bodoh. Aku gak tahu kalo semalam Jeno harus terlambat nyelametin kamu, apa yang akan terjadi sama aku selanjutnya." Fauzan mengusap lembut kepala Jessi. Memberikan kasih sayang tulusnya yang tidak pernah berubah. Separuh hidupnya sudah bersama dengan Jessi, apa yang akan ia lakukan tanpa Jessi benar-benar tidak bisa Fauzan pikirkan. Dirinya butuh wanita itu, tapi dengan egoisnya ia tidak pernah memikirkan apa yang Jessi butuhkan. Jika Fauzan tanya apa yang wanita itu butuhkan, maka dirinya harus merelakan kehilangan. Karena kebutuhan Jessi adalah tanpa dirinya. Jessi pasti akan lebih bahagia tanpanya. Fauzan tidak mau. Fauzan mau egois saja jika soal Jessi.
"Maaf kalo aku gak pernah biarin kamu lepas sendiri. Maaf kalo aku kesannya mengekang kamu. Aku gak pernah mau kehilangan kamu, By. Aku gak akan pernah dapat lagi wanita seperti kamu. Aku sayang banget sama kamu, By." Air mata Fauzan kembali jatuh.
Jessi menganggukkan kepalanya. Saat ini dirinya merasakan bagaimana Fauzan yang dulu telah kembali di hadapannya.
Fauzan mengangkat wajahnya menatap Jessi dengan dalam. Ada satu hal yang ingin dirinya akui kepada wanita itu. Namun, rasa takut kembali mengecewakan Jessi muncul.
"Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Aku tahu mungkin ini akan buat kamu kecewa, tapi aku tetap memilih untuk jujur. Aku gak mau ada rahasia di antara kita."
"Tentang apa?" tanya Jessica mengerutkan keningnya. Air matanya sudah lebih dulu ia hapus serta air mata Fauzan juga.
Fauzan memejamkan matanya sejenak. Meyakinkan kembali dirinya jika semua akan baik-baik saja. Akan lebih buruk jika ia tidak melakukannya sekarang. Akan lebih menyakitkan jika Jessi mengetahuinya dari orang lain. Kemudian Fauzan kembali membuka matanya dan mulai berbicara setelah meredakan ketegangan dirinya sendiri.
"Malam sehabis jalan sama kamu, Evelyn hubungi aku lagi minta ketemu. Aku gak tahu dia dapat nomorku lagi darimana? Tapi, aku tolak kok, aku gak ketemu sama dia dan dia pun mengerti akan hal itu." Fauzan mencoba menjelaskan setenang mungkin agar Jessi mengerti dan tidak salah paham. Ia tidak mau hal ini kembali menjadi bahan keributan di dalam hubungannya yang kembali membaik ini.
Wajah Jessi langsung tegang. Ia terkejut, baru saja semalam dirinya melakukan percobaan bunuh diri yang gagal karena diselamatkan. Siang ini ia sudah kembali disuruh bunuh diri. Bukannya lebay, mungkin memang terdengar biasa saja. Tapi, percayalah itu sangat menyakitkan. Ingatannya tentang luka yang lalu kembali hadir. Ia yang sudah hampir melupakannya dipaksa untuk kembali merasakan bagaimana sakitnya hari itu.
"Yakin kamu tolak? Bukannya kamu sangat suka dengan wanita itu? Sahabatku? Evelyn," tanggap Jessi terkekeh sinis. Ia ingat sekali bagaimana mereka bisa bersama dan berpisah. Berapa lama mereka menjalin kasih dan siapa yang tersakiti. Jessi tidak bisa lupa meski sudah bertahun-tahun ia coba lupakan.
"Aku udah sama sekali gak ada rasa apa pun sama Lyn. Hubungan kita dulu cuma ke khilafah aku, kenakalan aku, rasa penasaran aku aja. Gak ada niat aku untuk serius suka sama dia. Aku bodoh karena ngelakuin hal itu dan semakin bodoh karena Evelyn orangnya. Maaf! Tapi aku bener-bener gak ada rasa apa pun sama dia. Aku cuma sayang sama kamu aja, By. Aku serius jujur."
Fauzan menggenggam erat tangan Jessi bahkan tanpa sadar menekan punggung tangan Jessi yang dibalut infus. Jessi juga tidak menepisnya seakan ia menikmati rasa sakit itu.
"Kamu tahu kan kenapa aku jadi kurang percaya sama kamu?"