VIAN: Cara Melindungi Niar
Kami akan segera berpisah. Setelah aku tahu nilai ujian yang ku dapat. Belum ada ketentuan memang, tapi berdasarkan persyaratannya. Nilai yang ku dapat benar-benar memenuhi kriteria.
Jujur, aku lemas. Dan jujur saja, aku sebenarnya tidak ingin berhasil dalam ujian penerima ini. Sungguh, sejujurnya selama mengerjakan pun aku hanya asal-asalan. Berharap nilai yang ku dapat tak memenuhi kriteria penerimaan. Agar tak perlu aku pergi meninggalkan Niar.
Sedang istri ku.
"Syukurlah, Dokter Vian. Anda di terima. Saya senang sekali. Ya Tuhan! Tidak sia-sia usaha kita selama ini. Saya senang, dokter Vian. Sungguh sayang senang" Katanya sembari mengoyak dan memeluk ku dengan kedua tangannya.
Hanya ku balas pelukan itu dengan menepuk kecil punggungnya. Berusaha menyambut bahagianya atas keberhasilan ku. Walau aku sendiri tidak sebahagia dirinya.
"Anda tidak senang?" Katanya sembari menengadahkan kepalaku. Agar aku melihatnya.
"Senang. Aku senang jika kamu juga senang" Jawabku.
"Hem? Benarkah? Tapi kenapa wajah Anda tidak terlihat senang? Coba senyum... Emmmm..." Tambahnya sembari mengarahkan bibir ku ini agar membentuk senyuman seperti yang dia minta.
Aku menurut dengan memaksa.
Hari berlalu setelah ujian ku waktu itu. Telah ku terima sebuah email yang menyatakan kebenaran bahwa aku memang mendapatkan beasiswa itu. Juga berisi jadwal kapan harus aku berangkat. Serta semua yang harus aku penuhi.
"Satu bulan lagi ya, Dokter?" Ucap Niar yang tiba-tiba muncul dari belakang ku.
"Emp em. Pasport dan visa ku belum jadi ya?" Tambah ku yang masih berusaha ingin membatalkan.
"Mungkin dua minggu lagi. Kalau memang belum jadi sampai mendekati waktu keberangkatan, nanti kita telpon saja kantor kedutaan"
Hemp!
Kenapa ada jalan saja sih!
Hagh!
Sepertinya aku tidak bisa menghindar lagi. Aku harus menghadapinya dan menyelesaikan sekolah ini. Tapi yang lebih penting dari itu semua adalah aku harus rela dan ikhlas meninggalkan Niar.
Lalu ku pikir juga sudah waktunya untuk berpamitan. Juga melepas jabatan ku sebagai kepala IGD. Maka hari ini, setelah aku memastikan bahwa IGD sedikit lengang. Tanpa memberitahu Niar dan perawat lainnya aku meninggalkan IGD lalu ku tuju ruang HRD. Hendak ku temui dokter Wahyu.
Walau begitu berat kedua kaki ku ini melangkah maju. Bahkan aku sangat ragu setibanya di ruangan dokter Wahyu. Juga dengan berat hati, aku mengetuk pintu ruangan ini lalu mengucap salam.
"Oh... Dokter Vian. Silakan masuk. Mari duduk... Tumben Anda ke ruangan saya. Biasanya juga saya yang ke IGD" Kata dokter Wahyu.
"Iya. Ada yang ingin saya sampaikan. Dan saya tidak ingin ada banyak yang tahu"
"Waduh... Ada apa ini? Kenapa sepertinya nampak sangat penting ya?"
Agh! Sadar pula atasan ku ini. Bahwa ada hal yang harus aku sampaikan. Dan ini sangat penting.
"Iya... Saya memang akan mengatakan hal yang sangat penting" Tambah ku membuat dokter Wahyu makin tercengang.
Baiklah! Tentu kali ini aku bukan hanya akan berpamitan untuk bersekolah. Namun aku juga akan mengatakan pada dokter Wahyu bahwa Daniar adalah istri ku. Lalu mengalihkan jabatan ku ini padanya.
"Ada apa dokter Vian. Saya kok jadi ikut tegang rasanya"
"Hemp! Tidak apa, dokter Wahyu. Saya hanya akan berpamitan untuk sekolah lagi"
"Oh.... Astaga! Saya pikir ada apa. Rupanya hanya karena Anda akan bersekolah lagi. Hemp! Syukurlah saya pikir karena satu hal yang lain hingga Anda harus meninggalkan IGD" Jawab dokter Wahyu.
"Memang saya akan meninggalkan IGD" Jawab ku membuat dokter Wahyu lantas tercekat dan ternganga.
"Hah! Maksud Anda? Meninggalkan IGD?"
"Saya akan melanjutkan sekolah saya di luar negeri. Hanya coba-coba sebenarnya, tapi ternyata coba-coba saya itu justru berbuah saya harus meninggalkan IGD"
"Oh... Begitu rupanya. Kalau begitu Anda akan izin cuti untuk bersekolah. Tidak benar-benar meninggalkan IGD selamanya"
Aku mengangguk. Walau memang benar seperti yang di maksud dokter Wahyu. Bahwa aku memang akan kembali ke rumah sakit ini. Tapi nanti, entah kapan. Lama sekali sepertinya.
"Baiklah... Saya memberikan izin cuti sekolah itu untuk Anda. Hemp... Memang kebetulan sekali IGD baru menerima dokter baru. Sekarang saya pikir saya harus mencari dokter baru lagi untuk menutupi posisi Anda"
"Terima kasih, dokter Wahyu. Maaf saya merepotkan" Jawabku dengan segala kerendahan hati.
"Ya tidak apa... Sudah biasa seperti ini, apa lagi di IGD. Setelah spesialis Anda selesai, nanti Anda akan segera pindah ke poli. Yaaa memang seperti... Sangat di sayangkan memang, apalagi Anda baru saja menduduki jabatan sebagai kepala IGD"
"Oh.. Untuk hal itu. Emp... Kalau Daniar saja bagaimana yang menjadi kepala IGD. Menggantikan saya" Tawaku.
Adapun dokter Wahyu kini makin terheran. Oleh karena aku menyebut nama istri ku. Satu nama yang tidak mungkin aku sebutkan mungkin dimata dokter Wahyu.
"Eeee... Kenapa Daniar? Eeee maksud saya kenapa Anda tiba-tiba merekomendasikan Daniar untuk menggantikan Anda?"
Sebenarnya alasan ku adalah agar para perawat senior tak ada yang akan menyudutkan istri ku lagi. Oleh karena aku tak lagi berada di sisi. Jadi ku pikir jika Niar menjadi pimpinan mereka, setidaknya mereka para perawat senior, bisa sedikit memberikan rasa hormat.
Tapi jelas sekali aku tidak mungkin mengatakan alasan ku pada dokter Wahyu. Terlalu amat bersifat pribadi. Terlebih sebentar lagi aku akan mengatakan padanya bahwa Niar adalah istri ku.
"Bukankah memang hanya Niar yang pantas. Seperti yang Anda tahu, dia adalah seorang doktor. Jujur saja, terkadang saya merasa kalah dengannya" Jawabku berusaha profesional.
"Iya sih... Memang itu benar. Tapi saya pernah menawarkan jabatan itu pada Niar, namun Niar menolaknya"
"Kali ini dia akan menerimanya. Tempo hari, dia sudah mengatakan pada saya bahwa dia mau meneruskan jabatan saya itu" Lagi jawaban ku membuat dokter Wahyu terheran.
"Tunggu, tunggu... Ini kenapa saya merasa ada yang aneh dengan ucapan Anda barusan ya? Mohon maaf, tapi sepertinya ada sesuatu antar Anda dan juga Daniar"
Saatnya mengaku. Ku tundukkan kepalaku. Lalu lagi ku gunakan seluruh kerendahan hati ku. Untuk mengaku.
"Iya... Daniar istri saya"
"Hah?" Dokter Vian ternganga.
"Iya... Dia istri saya" Tambah ku meyakinkan.
Saat itulah aku mencoba menjelaskan semuanya. Tentang alasan mengapa pernikahan ini kami sembunyikan. Lalu juga sejak kapan aku dan Niar menikah. Juga sebab aku menikahi Niar. Beruntung dokter Wahyu mau mengerti. Ia mengangguk. Bahkan ia pun mau memenuhi permintaan terakhir ku.
"Tolong jangan beritahu siapapun tentang hubungan saya dan Daniar. Biar nanti saya dan Niar sendiri yang akan mengatakan pada yang lainnya. Saya mohon. Bantu saya untuk melindungi istri saya"