VIAN: Menunggu Mual
Lagi aku meniduri Niar. Entah sudah yang ke berapa kalinya aku menyebar benih dalam rahimnya. Seingat ku, sudah dua bulan terakhir ini aku banyak menyetubuhinya berkali-kali. Namun, hingga detik ini. Niar belum mengatakan apapun pada ku tentang berhasilkah satu benih ku tumbuh dalam rahimnya.
Lalu hari ini...
Setelah ku sadari tiap butir air matanya yang sebenarnya tidak ingin aku pergi. Juga setelah ia mengatakan padaku, ingin agar aku mengemasnya dalam koper yang akan ku bawa ke Malaysia. Tiba-tiba saja terpikirkan oleh ku untuk membatalkan keberangkatan ini jika saja istri tengah hamil.
Tapi, saat ku tanyakan hal itu padanya. Jawab Niar adalah...
"Tidak, Mas. Saya merasa baik-baik saja"
Itu jawaban Niar ketika aku bertanya. Adakah tanda kehamilan yang ia rasakan.
"Tapi kemarin katamu, kamu mulai mual"
"Iya... Memang... Tapi kan sudah biasa saya mual jika bulan saya akan datang" Jawabnya.
Iya sih.
Sungguh aku berharap mualnya bukan karena bulannya yang akan segera datang. Tentu aku berharap mual itu adalah tanda kehamilannya yang tidak ia sadari. Atau mungkin tanda yang ingin ia tepis karena ragu.
Apa ku minta dia untuk melakukan tes urine saja ya?
"Kalau tes urine bagaimana?" Tawar ku.
"Tidak agh! Saya tidak mau terlalu banyak berharap. Kalau hasilnya negatif, yang ada hanya akan membuat saya semakin kecewa. Saya tidak mau. Nanti saja jika tandanya sudah benar-benar signifikan. Tanpa mas Vian suruh pasti akan saya lakukan sendiri. Mas Vian tidak perlu khawatir lah. Pikirkan saja tentang kepergian mas Vian yang tinggal menghitung jari." Jawabnya menolak tawaran ku.
Jujur aku kecewa dengan jawaban Niar. Tapi aku juga sadar yang ia katakan juga ada benarnya. Terlebih diriku yang saat ini benar-benar berharap. Anakku telah tumbuh dalam rahim Niar.
"Mas Vian ingin segera punya anak ya?"
"Ya iyalah... Memang kamu tidak ingin juga?"
"Ya ingin juga lah. Tapi, mas Vian kan akan sekolah lagi. Saya pikir nanti saja mungkin ya. Saya ingin mas Vian ada di sisi saya selama saya hamil dan melahirkan nanti"
Ya itu maksud ku. Cobalah untuk melakukan tes urine. Jika hasilnya positif, aku tidak akan pergi, Niar! Astaga gemas kan aku hingga bergumam sendiri.
Kendati aku sangat berharap dan begitu ingin. Namun aku mencoba untuk mengerti yang Niar rasakan. Apalagi setelah ku sadari waktu kepergian ku tinggal menghitung hari saja. Ku pikir tidak akan mungkin bisa lekas diketahui hasilnya.
Hemp! Yasudah lah. Mungkin memang nanti saat sekolah ku sudah selesai. Baru berhasil satu benih ku tumbuh di rahim Daniar.
"Mas!" Panggil Niar tiba-tiba.
"Ya?"
"Boleh saya minta tolong?" Pintanya.
"Boleh... Tentu saja. Apa?" Jawabku seraya berjalan mendekatinya.
"Saya tiba-tiba ingin makan soto ayam yang di jual di depan rumah sakit. Tapi saya juga ingin makan di sana. Tapi kan tidak mungkin ya. Tapi saya ingin makan. Jadi tolong belikan!" Pintanya tiba-tiba juga.
Hah? Ribet sekali! Belum pernah Niar seperti ini sebelumnya.
"Heeee!" Tambahnya sembari menunjukkan gigi putihnya.
"Baiklah! Nanti pulang kerja. Sekalian" Jawab ku.
"Aaaa... Sekarang!" Katanya merengek manja.
"Kenapa tiba-tiba manja begini sih? Tumben?" Keluh ku.
"Hehehe... Sebelum mas Vian pergi. Saya ingin di manja. Ya ya ya ya" Jawabnya dengan menunjukkan wajah lugu tanpa dosanya.
Astaga! Ada-ada saja! Ku pikir karena apa. Sudah aku berharap dia mungkin mengidam begitu. Kan berarti dia hamil ya. Kan aku juga bisa membatalkan kepergian ku ya. Lha! Ternyata hanya ingin di manja!
Hemp! Yasudahlah... Ku turuti saja. Mumpung masih bisa aku menyenangkannya.
Benar-benar aku menuruti permintaan Niar itu. Ku beli tadi yang Niar minta. Lalu aku lekas kembali setelah ku dapatkan makanan itu. Ada pun yang ku dapat adalah. Senyum dan wajah puas Niar saat menyantap habis semua kuah soto ini. Hingga tak tersisa.
"Enak?" Tanyaku.
"Enak... Hemp!" Jawabnya seraya tersenyum. Lalu lagi menunjukkan gigi putihnya.
Selesai Niar dengan makan siangnya. Ia lekas mengemas dan merapihkan lagi dapur ini. Sementara aku kembali duduk dengan tenang dan hendak menghabiskan waktu. Lalu, tiba-tiba saja. Niar. Dia mengejutkan ku dengan berlari ke arah kamar kami dan menuju kamar mandi. Kemudian.
Howekkk!
Howekkk!
Howekkk!
Dia memuntahkan seluruh isi perutnya.
Lha! Kenapa tiba-tiba muntah?
Aku menyusulnya. Telah Niar dipenuhi banyak keringat dingin. Sekujur tubuhnya gemetar. Seolah seluruh tenaganya habis seiring habisnya pula seluruh isi perutnya.
"Kenapa?" Tanyaku. "Masuk angin?"
Lantas Niar mencoba meraih sebagian baju. Di remasnya dengan kencang kemejaku ku ini. Lalu ia menyingkap seluruh rambutnya.
"Mas!" Panggilnya. "Apa iya saya hamil?" Katanya membuat ku terkejut.
"Hemp? Tadi kata mu tidak" Jawabku.
"Ya tapi aku tiba-tiba muntah seperti ini. Jangan-jangan memang iya saya hamil seperti katamu"
Sejenak aku terdiam.
"Ku belikan testpeck ya?" Tawar ku.
"Tidak! Tidak usah. Saya ada satu. Dulu pernah kak Nana beri. Ada di bawah tumpukan baju saya di almari"
Aku mengangguk.
Sejenak ku tinggalkan Niar dan mengambil benda kecil itu. Lalu aku lekas kembali dan memberikannya pada Niar.
Sungguh hati ku begitu bergetar. Tentu aku berharap seperti yang aku inginkan. Agar hasilnya positif. Lalu aku akan membatalkan semuanya. Tak kan aku pedulikan tentang beasiswa yang berada di tangan ku. Lalu ku pikir juga akan memberitahu semua orang di rumah sakit bahwa Niar adalah istri ku. Apa pun yang terjadi setelah akan aku hadapi.
Dua menit berlalu. Jujur saja jantung makin berdebar. Makin pula aku gelisah oleh karena Niar tak kunjung keluar dari dalam kamar mandi. Tidak juga ku dengar apapun. Kecuali bunyi air yang mengalir.
Ku ambil napas panjang sembari ku buat diri ku tenang. Sekali kedua bola mataku terpejam dan berharap Niar lekas muncul di hadapan ku. Dengan mengatakan hasil seperti yang aku harapkan.
Lalu, saat itu juga ku lihat pintu kamar mandi yang mulai terbuka dan Niar mulai melangkah keluar. Dilihatnya aku sekali untuk kemudian ia tertunduk. Ku lihat satu tangannya yang sepertinya tengah memegangi benda kecil itu. Tengah ia sembunyikan di balik tubuhnya.
"Bagaimana?" Tanyaku seraya mendekatinya.
Niar pun mengambil napas panjang. Satu butir air matanya jatuh kemudian jatuh lagi secara bergantian. Diberikannya tespeck itu pada ku dengan gemetar. Masih pula kepalanya tertunduk menahan malu atau apalah itu. Lantas ku terima benda kecil. Yang ternyata hanya ada satu garis berwarna merah.
"Maaf, Mas. Aku mengecewakan mu!" Katanya sembari menutupi sebagian wajahnya.
"Iya... Tidak apa! Nanti kita coba lagi. Ya?" Ucap ku seraya meraih tubuhnya. Memeluknya dan membiarkan ia menangis sejadi yang ia mau.
Niar mengangguk.
Sementara aku pun menahan segala emosi. Mengepal tangan ku ingin memukul sesuatu. Lalu menerima kenyataan bahwa aku memang harus pergi.