Chereads / Spy's Unreachable Target / Chapter 8 - BAB 8: CINDERELLA DADAKAN

Chapter 8 - BAB 8: CINDERELLA DADAKAN

"Oh, memang," kataku kikuk. "Ini kan hari kerja. Kalau sensus penduduk dilakukan pada siang hari, tidak akan ada orang di rumah. Semuanya pergi bekerja."

"Alibi yang bagus." sahut Manda.

"Oh iya, sepertinya tadi kau lupa mengunci pintu," lanjutku basa-basi.

Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung karena tidak pernah absen mengambil kelas kewarganegaraan. Lalu aku menghela napas, berusaha mengatur irama napasku senormal mungkin. Tapi degup jantungku tetap tidak karuan. Entah karena tertangkap saat menjalankan misi, atau karena tatapan mata cowok ini begitu hangat. Seandainya waktu dapat berhenti sebentar saja.

"Memangnya apa yang sedang kau cari?" tanya cowok itu heran. 

Narkoba di saku jaket ini. Aku nyaris saja ingin menjawab itu, karena terhipnotis oleh tatapan matanya. Aku sampai mengira dia itu penyihir yang jatuh ke bumi, lalu menyamar menjadi cowok tampan. 

"Aku mencari tahu mengenai semua orang yang tinggal di rumah ini," jawabku setelah berpikir keras.

"Baiklah, namaku Vilas Ordha. Ayahku Benjamin Ordha, dan ibuku Maya Ordha. Mereka sudah tidur," kata cowok yang bernama Vilas di depanku. "Ada lagi yang kurang?"

"Oke, cukup," kataku. "Formulir sensus versi lengkap akan dikirim dalam bentuk link google form via email, harap ditunggu maksimal lima hari ke depan."

"Hanya itu saja?" Vilas meragu. "Sebentar ya. Aku akan menyalakan lampu."

Gawat. Aku menghembuskan napas, mencoba tenang. "Tidak perlu. Aku akan segera pergi karena masih banyak rumah yang harus aku kunjungi." 

Lalu aku berjalan menghampiri pintu dengan terburu-buru.

Vilas mendadak menggenggam tanganku.

Aku menahan napas. Jantungku berdebar. Kini aku kehabisan ide untuk bersandiwara lebih jauh lagi. Benar-benar ingin kabur saja rasanya.

"Bolehkah aku tahu siapa namamu?" tanya Vilas dari kegelapan. 

Untung saja di sini gelap, jadi ia tidak bisa melihat wajahku yang memerah malu seperti kepiting rebus. "Maaf waktuku tidak banyak," jawabku. "Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan."

"Oh begitu, ya," ucap Vilas, terdengar kecewa. "Bisakah kita bertemu lagi?"

"Halo? Halo? Ini Freya. Kalian berdua di mana? Aku tidak bisa lama-lama parkir di sini karena baru saja aku ditegur polisi lalu lintas."

Aku buru-buru membuka pintu. "Mungkin lain kali," balasku pada Vilas. 

Vilas melepaskan tanganku pelan-pelan. "Hati-hati ya."

Ya ampun, aku bisa merasakan hatiku yang meleleh terbakar suara merdu di ruangan gelap itu. Ramah tapi macho juga, ia seolah-olah mencemaskan aku. Andai saja aku bisa lebih lama berada di sini. Tapi setidaknya walaupun agak redup, aku masih bisa samar-samar memandangi cowok bernama Vilas itu dari dekat. Namun sekarang, aku harus pergi sebelum ayah dan ibunya Vilas bangun untuk menginterogasiku lebih jauh. Oh, aku malam ini benar-benar seperti Cinderella yang harus meninggalkan pangeran tampan sebelum jam dua belas malam.

****

Aku dan Manda berlari di bawah bayangan tembok, menyelinap di antara tiang-tiang listrik yang dipenuhi tempelan brosur lusuh. Kami berdua segera menaiki satu-satunya mobil yang terparkir di pinggir jalan itu. Setelah kami naik, Freya segera mengemudi dengan kecepatan tinggi.

"Aku agak ngantuk," keluh Freya. 

"Kita bahas misi ini besok saja, ya?" ajakku menahan kantuk.

"Oke." Manda bersandar ke jendela mobil.

****

Keesokan harinya, kami bertiga bangun agak kesiangan di asrama putri Elite Mastermind Academy. Saat terbangun, semuanya panik dan terburu-buru mempersiapkan diri.

"Kalian siap?" tanya Manda bersiap membuka pintu kamar. 

"Siap!" kataku dan Freya bersamaan.

Kami bertiga segera menuju ruangan pusat divisi dan menemui Pak Ferdy.

"Permisi, Pak. Kami sepertinya ingin melaporkan sesuatu mengenai misi kami," kataku mengawali pembicaraan.

Pak Ferdy membetulkan letak kacamatanya dan memandangi kami satu per satu. "Sebentar, ini misi yang mana? Banyak murid dapat misi dari saya, jadi harus jelas ya."

"Ini misi merah di sebuah konser," lanjutku.

"Ah, benar! Aku ingat, yang bandar narkoba jaringan internasional?" Lalu ia membongkar sebuah map berisi kertas-kertas berwarna merah. Ia memilih salah satunya, lalu mendekatkan kertas itu ke wajahnya. "Jadi, bagaimana? Konsernya sudah lewat, kan? Informasi apa yang kalian dapatkan?"

"Sebenarnya kami tidak dapat informasinya," jelasku takut-takut. "Tapi kami punya barang bukti."

"Coba tunjukkan," tantang Pak Ferdy tak percaya.

Aku merogoh tas ranselku. Kucari di sela-sela buku. 

"Masih lama?" Pak Ferdy tak sabar.

Aku melirik Freya dan Manda. "Hilang," bisikku.

Freya dan Manda saling bertatapan. "Hilang di mana?" 

Kami bertiga lalu meminta izin untuk berdiskusi pada Pak Ferdy. 

"Sepertinya jatuh saat aku dipergoki pemilik rumah," kataku panik. "Aku yakin telah mengantonginya. Aku sempat memegangnya. Aku ...,"

Freya dan Manda menepuk pundakku. 

"Tidak usah dipikirkan. Seperti katamu, misi hitam bukanlah kapasitas kita," ucap Manda menenangkan.

"Aku jadi merasa bersalah padamu karena kau nyaris terkena bahaya, Suri." hibur Freya.

Pak Ferdy melambai pada kami bertiga. "Kalau begitu, aku akan melelang misi ini besok."

****