(POV DOVA)
Mendengar ancaman itu, rasanya aku ingin menghajar bandit kurang ajar yang baru saja berteriak padaku. Dia pikir aku takut?
Sebelum aku sempat berlari menghampiri bandit itu, seseorang meremas pundak kananku dari belakang. "Hey, jangan mudah terpancing emosi."
Aku menepis tangan di pundakku.
"Sudah kubilang, aku ini punya tujuan yang berbeda dengan kalian semua," gertakku tegas. Aku memegang erat-erat gulungan lukisan di tanganku. "Aku tidak mau mengulur waktu lagi dengan kekerasan," jelasku. "Hanya bandit itu yang tahu di mana temanku. Aku akan lakukan negosiasi supaya lebih cepat."
"Apa maksudmu?"
Aku menoleh pada seluruh anggota tim misi hitam di belakangku. Aku menatap mereka dengan waspada.
"Jangan bilang kalau kau mau menukar lukisan itu dengan temanmu."
"Tepat sekali," balasku tersenyum. Aku mundur beberapa langkah menjauhi tim misi hitam. "Lagipula, ini bukan misiku."
"Aku tidak akan membiarkanmu merusak misi hitam kami!" ancam salah satu dari mereka geram.
Aku tidak peduli. Akan kuhadapi tiga orang ini sekaligus. Lukisan ini adalah kunci kembalinya Suri padaku.
Seseorang yang lain maju dan menenangkan rekan satu timnya. "Santai saja, bro. Kenapa tidak kita duplikat saja lukisan ini?"
Aku menaikkan alis, kurang paham dengan isi pembicaraan.
"Oya, kau mungkin belum tahu. Nanti kalau kau sudah naik level ke misi hitam, akan ada banyak teknologi baru yang akan kau pelajari. Salah satunya semacam high quality printer."
"High quality printer?"
"Itu adalah teknologi yang bisa menduplikat gambar menjadi sama persis dengan aslinya," lanjut salah satu dari mereka. "Bahkan bisa mencetak wajah tiruan yang sama persis seperti di foto, untuk kepentingan penyamaran, contohnya pada penggunaan hyperreal masks."
"Benar juga. Kita bisa pakai itu juga untuk menduplikat lukisan ini," sahut yang lain.
Aku masih diam memegang erat gulungan di tanganku.
"Tidak usah cemas. Kami janji akan berikan duplikatnya padamu, tapi serahkan dulu lukisan itu."
"Tidak," gertakku.
"Kau sendiri yang bilang tidak ingin membuang banyak waktu. Kau pikir kami akan meloloskanmu begitu saja dengan membawa lukisan itu?"
"Ya, kau sendiri yang bilang ingin segera bertemu kawanmu itu."
Aku menghela napas. Kurasa mereka ada benarnya. Waktuku tidak banyak. "Kalau begitu, aku juga ikut kembali ke EMA bersama lukisan ini."
"Baiklah."
****
Elite Mastermind Academy ternyata punya sebuah ruangan khusus yang isinya peralatan canggih yang dibutuhkan oleh para calon mata-mata dalam menjalankan misi mereka. Semua peralatan ini hanya bisa digunakan oleh murid yang sudah sampai ke level misi hitam.
Di hadapanku kini ada sebuah printer dengan ukuran tiga kali lipat lebih besar dari normal. Cara kerjanya mirip sistem fotocopy. Sebuah foto diletakkan untuk digandakan, lalu hasilnya akan segera muncul dengan warna yang sangat persis dengan aslinya.
"Aku tinggal menggulungnya, dan ... selesai. Sekarang apa kau bisa bedakan yang mana yang asli?"
Aku menggeleng saat mengamati dua lukisan itu satu persatu. Benar-benar mirip.
"Ambil ini," katanya sambil melempar salah satu gulungan padaku. Aku bahkan tidak tahu lukisan yang kuterima ini yang asli atau palsu. "Maaf kami pun tidak bisa berlama-lama karena harus segera menyerahkan ini ke Pak Ferdy."
"Oke, sampai jumpa." Aku bergegas menuju pintu keluar.
****
Aku akhirnya kembali pada bandit-bandit di pelabuhan dan mencoba mengadakan negosiasi dengan mereka. Hari semakin pagi. Kegelapan pelan-pelan mulai sirna.
Salah seorang dari mereka maju dan berteriak. "Jadi, kau bawa lukisannya?"
Aku segera mengangkat gulungan di tanganku setinggi mungkin.
Salah satu dari mereka juga balas mengangkat begitu banyak kunci yang terkait pada satu ring.
Aku paham. Itu pasti kunci dari tempat Suri berada. "Katakan di mana dia sekarang?"
"Lucuti semua senjata yang kau bawa!"
Apa-apaan ini?
"Kami tidak mau ada keributan, karena ini sudah pagi," lanjut salah satu dari para bandit.
Aku menahan napasku, lalu melirik pada arloji di tanganku. Sudah setengah jam berlalu sejak Suri pergi, dan ini bukan waktunya untuk menunda lagi. Aku bergegas meletakkan semua senjata yang aku punya di tanah begitu saja.
Mereka semua serentak tertawa.
"Ikuti aku," lanjutnya.
Aku melangkah sesuai perintahnya. Sekumpulan bandit di belakang mengawasiku terus sampai kami semua tiba di sebuah tempat yang berisi begitu banyak kotak besar dengan pintu.
Salah satu bandit maju membuka kunci dari satu box paling kiri.
"Suri!" seruku spontan. Di dalam sana bisa kulihat dengan jelas gadis itu sedang duduk bersandar dengan kondisi tak sadarkan diri. Rupanya semua kotak besar ini adalah ruangan pendingin yang biasa ada di pelabuhan untuk menampung hasil tangkapan dari laut.
Tiba-tiba seseorang melipat lenganku ke belakang, dan mengikatnya dengan cepat. Salah satu dari mereka menempelkan ujung revolver ke kepalaku. Lalu lukisan dalam genggamanku ditarik paksa.
"Cepat masuk, bodoh!"
****
"Suri!"
Aku memanggil-manggil namanya. Tidak peduli dengan pintu ruangan pendingin yang tiba-tiba ditutup dari luar. Lalu kudengar bunyi terkunci dan gelak tawa para mafia yang makin lama makin meredup hinga lenyap tak terdengar sama sekali.
"Suri!"
Sangat sulit bergerak dengan kedua tangan terikat ke belakang, bahkan untuk menggapai gadis itu lebih sulit lagi. Kutatap gadis itu dari dekat. Tangan dan kakinya diikat sekaligus. Kedua matanya terpejam. Wajahnya tampak lelah. Aku mulai cemas.
"Suri, bangunlah!"
Aku memalingkan wajah ke sekelilingku. Di sini sangat gelap, aku hampir tidak bisa melihat apapun. Aku tidak bisa menjangkau apapun dengan tangan terikat. Lalu aku memaksa otakku untuk berpikir lebih keras. Apakah ada jalan keluar? Seberapa lama kami berdua bisa bertahan? Terutama Suri. Karena ia lebih dulu berada di sini sebelum aku.
Bajuku lembab karena bersandar pada dinding berlapis es. Segera aku bangkit berdiri dan mencoba mencari celah tersembunyi, atau pun jalan keluar lain yang bisa kutemukan. Aku harus berjalan pelan-pelan karena permukaan lantai sangat licin. Dingin menyeruak, mulai menusuk sampai tulang-tulangku terasa sakit. Dasar mafia sialan.
Dingin.
Kalau begini terus, kami berdua bisa mati karena hipotermia. Ini berbahaya.
Untungnya kedua kakiku masih bisa berjalan sempurna. Aku sibuk mondar-mandir sejak tadi untuk menciptakan panas di tubuhku sendiri. Aku harus melawan hawa dingin ini. Sebisa mungkin, aku harus mengulur waktu entah sampai kapan. Aku harus bertahan.
Aku terjatuh tiba-tiba dengan posisi tengkurap. Bukan karena permukaan lantai yang licin, tapi sepertinya karena aku baru saja tersandung oleh sesuatu yang keras. Sulit sekali bergerak dalam posisi ini dengan kedua tangan terikat. Akhirnya dengan susah payah aku bisa bangkit berdiri dan menelusuri permukaan lantai dari ruang pendingin ini. Ternyata itu adalah sebuah gundukan kecil dari es yang terletak di lantai dekat sudut dinding. Aku mengusapnya dengan kaki kananku. Dugaanku benar, ternyata ini adalah alarm man-in-chamber yang membeku!
Kalau saja alarm ini tidak membeku, aku seharusnya bisa menekan tombolnya dengan kakiku. Tapi ternyata tidak semudah itu. Bahkan tombolnya tertutupi oleh lapisan es yang keras dan juga dingin.
Aku coba menendangnya sekuat tenaga. Barangkali aku bisa menghancurkan lapisan es yang menutupi tombol alarm. Tapi ternyata sulit sekali. Es ini sepertinya terbentuk sejak sangat lama sehingga menjadi sangat tebal.
Aku lagi-lagi menoleh ke belakang, mengamati Suri dengan cemas. Ia belum juga bergerak sejak tadi. Keadaannya benar-benar membuatku semakin tertekan.
Aku kembali berusaha dengan alarm beku ini. Kutendang sekuat tenaga sebelum hawa dingin semakin menyakitiku. Gerakan berulang-ulang ini cukup melelahkan. Tapi aku harus tetap melakukannya karena hanya ini satu-satunya harapan
Akhirnya perlahan-lahan mulai terjadi keretakan.
Sekarang, aku menendang makin kuat sampai ujung kakiku sakit. Keretakan yang ditimbulkan jadi makin besar. Pecahan es mulai berserakan. Lama kelamaan, tombol itu terlihat seutuhnya tanpa ada lapisan es yang menutupinya. Aku benar-benar tidak sabar untuk segera keluar dari sini, sehingga aku langsung menekan tombol itu dengan kakiku. Lalu aku menghela napas lega dan jatuh terduduk saking pegalnya.
Aku menunggu sekitar dua menit sampai akhirnya dua orang petugas keamanan pelabuhan berseragam resmi datang membuka pintu ruang pendingin ini. Mereka tentu saja terheran-heran saat melihat Suri dan aku terikat.
"Apakah kalian berdua baik-baik saja?"
"Sedang apa kalian di dalam sini? Siapa yang mengikat kalian?"
Dua petugas berseragam itu segera membuka ikatan tangan Suri dan juga ikatanku. Aku sama sekali tidak menjawab rentetan pertanyaan yang diberikan, karena itu semua tidak penting bagiku. Yang aku harus lakukan sekarang adalah membawa Suri keluar secepatnya.
Aku memeluknya dengan napas terengah-engah. Ia sangat dingin.
"Suri," bisikku di telinganya.
Aku buru-buru melepaskan jas seragamku dan memakaikannya pada Suri. Aku kemudian memeluknya lagi. Pipiku menempel di pipinya yang terasa sangat dingin. Aku semakin kalut. Lalu aku menggendongnya sambil mencari sinar matahari pagi untuk membantuku menghangatkan tubuhnya.
****