Kepalaku pusing.
Aku membuka mataku pelan-pelan. Kedua mataku silau terpapar cahaya matahari pagi. Tak ada yang bisa kulakukan selain membuka mata, karena sekujur tubuhku terasa berat untuk digerakkan.
Tapi di sampingku, terlihat jelas Dova dengan kemeja putihnya tanpa jas seragam sekolah, duduk menyandarkan kepalanya pada tangan kananku. Ia rupanya tertidur sangat pulas sampai tidak menyadari bahwa aku sekarang sudah bangun.
Aku baru sadar ternyata aku memakai double jas seragam. Apakah yang kupakai ini milik Dova? Sepertinya memang iya. Aku lupa tentang kejadian sebelum kami berdua sampai di sini. Yang aku ingat malah tentang truk kontainer besar di pelabuhan. Dan, oh! Di mana lukisan terkutuk itu?
Aku memaksakan diri untuk duduk walaupun dengan susah payah. Dova jadi terbangun karena guncangan dari tempat tidur ini.
"Suri," panggil Dova lembut. Ia mengerjapkan kedua matanya lalu menatapku "Kau sudah bangun, ya?"
Aku menghela napas, lalu menarik tanganku dari genggaman Dova. Dova tidak mau melepaskannya, malah menempelkan tanganku di kedua pipinya secara bergantian.
"Apa kau merasa hangat sekarang?" tanya Dova memejamkan matanya sambil menyentuh tanganku.
Mendadak aku bingung melihat tingkah laku sahabatku ini. "Apa yang sebenarnya terjadi? Di mana kita sekarang? Di mana lukisan itu?"
Dova menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Istirahat saja dulu."
Lalu aku mencoba turun dari tempat tidurku.
Dova lagi-lagi menahanku. "Kau belum sepenuhnya pulih, Suri."
Aku menggeleng. "Jangan membuatku bingung, Dova," balasku. "Di mana kita sekarang? Dan mengapa wajahmu memar?"
Dova menghela napas. "Kita ada di rumah sakit. Kemarin kau pingsan karena kedinginan."
"Lukisannya bagaimana?"
"Aman," jawabnya. "Tim misi hitam sudah menyerahkannya pada Pak Ferdy, kita dapat bantuan waktu itu."
Aku lagi-lagi memaksakan diri untuk turun dari tempat tidurku. Dova menyangga badanku saat kakiku menyentuh lantai.
"Jangan memaksakan dirimu, kau tahu aku hampir saja kehilanganmu." Dova memelukku. Entah ia sedang membantuku berdiri atau justru memelukku, aku tidak tahu.
"Kumohon jelaskan semuanya padaku," rengekku. "Kenapa kaki kananmu di perban?"
"Ada retakan pada tulangnya," jawab Dova santai. Ia bahkan tersenyum saat mengatakannya. "Hanya sedikit, kok."
Air mataku keluar tanpa sadar. "Apa yang terjadi padamu?"
"Aku menendang es."
"Bohong," bantahku sambil melepaskan pelukannya.
"Percayalah padaku." Dova memelukku lagi. Ia mendorongku pelan untuk duduk di tepi ranjang rumah sakit. "Apa aku selama ini pernah berbohong padamu?"
Aku menangis. "Tidak pernah."
Dova tertawa pelan. "Sekarang aku ingin kau menjawabku, Suri. Apakah kau masih kedinginan?"
"Tidak," jawabku.
Dova melepaskan pelukannya. Lalu ia menghela napas panjang. Ia fokus menatap jendela yang terguyur cahaya matahari pagi. "Syukurlah," desahnya.
"Justru kau yang selalu bersikap dingin padaku. Biasanya kau sangat cuek," protesku padanya. Pagi ini Dova berubah menjadi lebih ramah dari biasanya. Ia banyak tersenyum. "Mengapa kau bersikap hangat pagi ini?"
"Aku kan sudah bilang," balasnya menatapku. "Aku hampir saja kehilanganmu."
"Apakah aku dalam bahaya?" tanyaku.
"Iya tadinya." Dova mengangguk. "Sekarang tidak lagi."
"Apa aku harus kembali berada dalam bahaya agar kita berdua bisa akrab seperti dulu?"
Dova menatapku dalam-dalam. Ia mengacak-acak rambutku sambil tersenyum. "Jangan lakukan hal bodoh lagi, Suri. Kecuali kau senang melihatku terlilit perban lebih banyak dari ini."
"Aku cuma ingin kau berubah."
Dova lagi-lagi menghela napas. "Baiklah, kalau itu yang kau mau."
****
Kami berdua kembali ke asrama sekolah dengan menaiki taxi. Dova membukakan pintu untukku, baru setelah itu ia masuk dan menutup pintunya dengan rapat.
"Elite Mastermind Academy, ya," seru Dova pada supir taxi.
Taxi melaju kencang menyusuri jalanan yang sepi di siang hari. Sepertinya aku tertidur cukup lama. Sekarang aku merasa sangat segar dan sehat, sementara Dova masih terlihat mengantuk. Aku curiga ia belum tidur karena sibuk mengawasiku. Kepalanya tertunduk dengan kedua mata tertutup. Ia berusaha keras untuk duduk setegap mungkin.
"Tidur saja," perintahku. "Tidak usah ditahan-tahan."
Dova tiba-tiba menjatuhkan kepalanya ke pangkuanku.
"Maksudku bukan begini," protesku dengan canggung.
Aku yakin ia mendengar suaraku, tapi ia diam saja dan melanjutkan tidurnya. Melihat wajahnya yang kelelahan itu, aku jadi tidak tega membangunkannya.
Begitu sampai di tempat tujuan, kami berdua segera turun dari taxi. Dova mengantarku sampai lift asrama, lalu kami berpisah. Entah kenapa, tiba-tiba aku jadi mencemaskannya, karena ia masih tampak sangat mengantuk.
****