Chereads / Spy's Unreachable Target / Chapter 11 - BAB 11: MENCARI LUKISAN TERKUTUK

Chapter 11 - BAB 11: MENCARI LUKISAN TERKUTUK

Setelah melalui perjalanan yang cukup lama, akhirnya kami tiba di sebuah tempat di tepi laut. Cuaca terasa sangat panas di sini. Aku, Dova, dan Roy memakai pakaian seperti wisatawan yang hendak liburan ke pantai. Kami memakai baju bercorak, kacamata hitam, dan topi untuk menghalau terik matahari. Kami bertiga memutuskan untuk meninggalkan barang di penginapan yang paling dekat dengan pantai, agar mendukung peran kami sebagai wisatawan. Kami tiba di museum terbesar di kota ini dengan menaiki taxi.

Kami bertiga masuk ke dalam museum seusai membeli tiket.

"Sepertinya bingkai lukisannya yang itu," kataku menunjuk sebuah area yang dikelilingi garis polisi. Lalu aku menoleh ke tempat lain. "Aneh, justru area itu seharusnya paling tersorot CCTV, seharusnya kita punya petunjuk lain yang lebih jelas."

"Ya, memang," balas Dova dengan mata terpicing. "Kurasa aku akan mendekati pihak keamanan sekarang."

Aku mengangguk. "Lebih baik kita berpencar."

"Pasang earphone kalian masing-masing, jangan lupa," timpal Roy sambil memasang earphone di kedua telinganya.

Aku bergegas menuju kerumunan para pengunjung, dan bersikap seolah aku sangat antusias dengan karya seni abstrak yang mereka komentari. Padahal sebenarnya aku tidak terlalu paham juga sih, tapi demi kelancaran komunikasi akan kulakukan yang terbaik.

"Aku suka lukisan ini," pujiku, mencoba mengawali pembicaraan dengan wanita asing di sebelahku. Ia lebih tua dariku, berkaca mata, dan berkulit pucat.

Wanita berkaca mata itu mengangguk padaku. "Iya, aku juga. Kombinasi warna yang dipilih benar-benar menggambarkan keadaan objek secara nyata."

Aku menyeringai. "Pesannya tersampaikan dengan baik."

"Sebenarnya tersampaikan atau tidak itu tergantung dari sudut pandang mana," balasnya serius.

Aku buru-buru mengangguk untuk menghindari perdebatan. "Benar. Terlalu subjektif, bukan?" ucapku sok paham. "Nah, kalau bingkai itu kenapa dikelilingi garis polisi, ya?"

Wanita itu menoleh ke arah yang aku tunjuk. "Oh, itu! Lukisan terkutuk," ujarnya dengan raut wajah penuh kengerian. "Konon katanya, pelukisnya sendiri hilang setelah merampungkan lukisan itu."

"Hilang?" heranku. "Kapan kejadiannya?"

"Benar-benar lenyap tanpa jejak," jelasnya. "Itu terjadi sekitar enam bulan yang lalu."

"Oh," gumamku mengangguk. "Seram juga."

"Setelah itu, lukisannya dibawa ke sini untuk dipajang. Dan empat hari yang lalu, lukisannya tiba-tiba hilang," lanjutnya. Kemudian wanita itu pamit karena ponselnya berdering.

Aku diam sejenak, mulai tenggelam dalam pikiranku.

"Hey kalian, apa kalian dengar aku?" 

Tiba-tiba earphoneku menyiarkan sebuah suara.

"Dengar, kok," jawab Roy dari kejauhan.

"Apa kalian sudah selesai?" tanya Dova, terdengar seolah buru-buru "Aku ingin membicarakan sesuatu."

Aku celingak-celinguk, memastikan sekelilingku. "Baiklah, kalau begitu kita berkumpul di lukisan kuning dekat jendela. Di sana sangat sepi," bisikku seraya mundur dari kerumunan.

"Oke," bisik Dova dan Roy serentak.

Segera aku melangkah ke tempat yang menurutku aman untuk berdiskusi. Kami tiba bersamaan di depan lukisan yang mungkin saja hampir tidak dilirik oleh pengunjung sama sekali.

Dova berdiri di depanku. Aku memperhatikannya diam-diam dari ujung kaki hingga kepala. Untuk seseorang yang biasanya terlalu akrab dengan warna monokrom, seperti putih, hitam, dan abu-abu, memakai pakaian bertema pantai dengan balutan warna-warni mencolok membuatnya tampak sangat berbeda. Seperti bukan Dova saja.

"Aku dapat informasi menarik," kata Roy pelan. "Harga lukisan terkutuk itu sangat mahal. Bahkan pernah ada turis asing yang menawarnya sampai tiga puluh ribu dollar. Aku sendiri bingung mengapa harganya bisa semahal itu."

"Sepertinya mahal karena kisah di balik pembuatannya," sambungku dengan yakin. "Pelukisnya hilang secara misterius sesaat setelah lukisan itu selesai dibuat."

"Misi ini agak membingungkanku." Raut wajah Dova yang tadinya tenang, kini berubah menjadi lebih serius. "Aku juga baru dapat informasi dari pos keamanan, bahwa Seno Joan, si pelukis lukisan terkutuk, adalah mantan pegawai keamanan di sini. Dan ia tidak pernah memberi kabar lagi sejak ia dinyatakan hilang mendadak."

"Ke mana dia sebenarnya?" heranku. "Apakah setelah itu tidak pernah ditemukan hal aneh seperti-"

"Mayat, misalnya?" potong Roy, menebak jalan pikiranku. "Setahuku Seno Joan tinggal di dekat pelabuhan. Bagaimana kalau kita periksa langsung ke sana?" usul Roy penuh semangat. "Kebetulan Pak Ferdy sudah memberiku alamat lengkapnya."

Dova mengangguk. "Ide yang bagus." 

"Aku setuju," ucapku.

****

Setelah mengganti baju, kami bertiga akhirnya sampai di sebuah gang sempit, setelah sebelumnya menaiki bus kota yang penuh sesak. Tidak ada hal menarik di sini. Sama seperti pemukiman pada umumnya, banyak anak kecil berkejar-kejaran di sekitar kami.

"Gang Pinus nomor tujuh." Roy membetulkan letak kacamata sambil terus mengamati sekelilingnya. "Seharusnya ada di dekat sini."

Jalan yang kami lalui tidak terlalu bagus. Banyak yang berlubang, sehingga kini banyak genangan air, mungkin bekas hujan semalam. Lebar jalannya kira-kira hanya dua meter, tidak memungkinkan bagi kendaraan roda empat untuk melaluinya. Dan jika aku perhatikan lebih teliti, jarak antar rumah terlalu mepet, seolah-olah tidak akan mungkin ada pembicaraan rahasia antar rumah, karena dindingnya pun terlalu tipis. Tapi kurasa hal ini cukup menguntungkan, karena aku mungkin bisa mendapat informasi lebih banyak dari para warga di sekitar sini.

"Guys, coba kita periksa rumah yang ada di sana," perintahku sambil menunjuk sebuah rumah rusak di pojok gang. Beberapa gentingnya pecah, temboknya retak, dan terlalu banyak rumput liar memenuhi pekarangannya. "Nomor rumahnya mungkin tertutup dedaunan lebat itu."

Kami bertiga lalu menghampiri rumah yang aku maksud. Aku menyibak dedaunan yang menutupi nomor rumahnya, dan benar saja ada angka tujuh di baliknya. Kami bertiga memastikan situasi dalam kondisi aman, lalu melompati pagar.

Dova mengetuk pintunya. Berawal dari ketukan pelan nan sopan, menjadi keras dan berisik. Tidak ada respon sama sekali. Ia akhirnya berhenti mengetuk, mungkin khawatir merusak daun pintunya yang lapuk termakan usia.

"Kosong," keluhku menyimpulkan. "Si pelukis itu benar-benar lenyap."

Roy melangkah kembali setelah sempat mengintip lewat jendela kamar. "Sejauh ini memang tak ada siapapun,"

"Permisi, apakah kalian debt collector?"

Tiba-tiba sebuah suara wanita mengagetkan kami. Kami bertiga serentak menoleh ke sumber suara di dekat pagar rumah. Wanita itu memiliki rambut putih, dengan baju terusan cokelat tua renda-renda. Badannya bungkuk, dan ia berdiri di tepi jalan dengan bantuan tongkat. Sepertinya dia salah seorang tetangga yang kebetulan lewat.

"Oh, iya," jawabku spontan. Lumayan, dapat ide yang bagus. "Kami ingin pemilik rumah ini melunasi hutangnya."

"Penampilan kalian tidak seperti debt collector yang biasa datang. Kalian terlalu kurus," selidik wanita tua. Ia menatap kami sangat lama. Situasi jadi canggung.

"Oh, jadi ada debt collector lain yang pernah datang ke sini selain kami bertiga, ya?" sahut Dova memainkan perannya.

Nenek itu mengangguk dengan kerutan di dahinya. Ia rupanya sedang berusaha mengingat sesuatu. "Ya, memang ada. Tapi itu sudah lama sekali, mungkin sejak enam bulan yang lalu tidak pernah ada lagi yang datang mencari Seno Joan," katanya dengan suara gemetaran. Lalu ia batuk-batuk. "Mungkin mereka semua menyerah," lanjutnya. "Dulu ia biasa melukis di pekarangan ini, sambil menyapa seluruh tetangga yang lewat. Lalu tiba-tiba ia menghilang, meninggalkan sebuah lukisan berbau busuk penuh cipratan darah."

"Rupanya Seno Joan benar-benar menghilang," gerutu Roy menghentakkan kaki ke tanah, tampak pura-pura kesal.

"Hampir semua orang bilang begitu, kecuali aku," jelas nenek bertongkat. Nada suaranya meninggi. Kurasa ia tidak main-main dengan ucapannya barusan.

"Maaf, apa maksudmu?" heranku. 

"Rumahku persis di depan rumah ini," paparnya sambil menunjuk letak rumahnya. "Pernah pada suatu malam, aku melihat kilatan cahaya dari jendela rumah ini."

"Kira-kira cahaya apa itu?" selidik Dova.

Nenek itu menatap kami dengan tajam.  "Aku yakin itu arwah Seno Joan."

Aku terperanjat, "Jadi, kau bisa melihat hantu?"

Belum selesai kami mendapat informasi penting mengenai rumah kosong ini, pintu rumah milik nenek bertongkat itu terbuka. Lalu seorang laki-laki yang lebih muda darinya muncul. "Ibu! Jangan bicara pada orang asing sembarangan!" serunya.

Laki-laki itu menghampiri ibunya dan membimbingnya menuju jalan pulang. Kemudian ia menoleh sebentar dan tersenyum pada kami dengan sopan. "Ah, maafkan ibuku ya. Dia memang suka ngelantur, abaikan saja ucapannya barusan," katanya. "Sudah lama ibuku mengalami gangguan jiwa semenjak Seno Joan menghilang. Ia selalu mengaku-ngaku pernah melihat arwahnya."

Aku balas tersenyum dan melambaikan tangan pada ibu dan anak itu. Lalu aku menatap Dova dan Roy secara bergantian, lalu berbisik sepelan mungkin, "Lebih baik kita kembali ke penginapan saja. Aku punya rencana lain."

****