Suasana pelabuhan di malam hari begitu sibuk, padat, dan berisik. Rupanya ada beberapa kapal yang baru tiba, diikuti dengan proses bongkar muat barang, dan serbuan keluar dari begitu banyak penumpang. Ada banyak sekali crane dan gudang berpendingin di sekitarku, mungkin banyak hasil tangkapan dari laut disimpan di sana.
Kubiarkan angin laut menerpaku. Sejenak aku fokus memandangi langit, lalu mulai mengintai diam-diam ke barisan perahu jauh di depanku. Sekilas, tak terlihat adanya sesuatu yang mencurigakan.
Aku mendekat ke arah dermaga.
Barisan perahu semakin terlihat jelas. Tidak terlalu banyak, hanya ada lima atau enam. Mungkin sebelumnya sudah ada banyak perahu yang berangkat membawa nelayan pergi melaut di sore hari menjelang malam. Tidak sulit bagiku untuk menemukan sebuah perahu putih lusuh bernomor 27 yang ditulis dengan cat biru tua.
Aku menghampiri perahu itu.
Dari jarak dekat, bisa terlihat seorang pria berjanggut hitam tengah tertidur pulas di atasnya. Ia mendengkur sangat keras, mengingatkanku pada film bajak laut yang pernah kutonton dulu.
Aku mengetuk ujung kayu perahu berulang kali. Dan, untuk yang terakhir kalinya, aku menendang perahu itu sampai bergoyang karena pria berjanggut tak juga bangun.
"Apa itu tadi?!"
Pria berjanggut itu kaget. Ia lalu duduk dan mengerjapkan kedua matanya dengan linglung. Perlahan ia mencondongkan tubuhnya agar bisa melihatku dengan jelas. Aku hanya berdiri menatapnya.
"Siapa kau? Apa kau yang membangunkanku?"
Aku mengangguk cepat. Pria itu perlahan bangkit berdiri, lalu melangkah naik ke dermaga apung kecil yang tengah kupijak. Dari jarak sedekat ini bisa kulihat matanya merah dan keningnya penuh keringat.
Pria itu melihatku sambil menahan kantuk. "Mengapa kau membangunkanku? Menurutmu apa warna laut saat ini?"
Aku terkejut dengan pertanyaannya. Kurasa itu bukan cuma basa-basi. Apakah ia baru saja meminta kode rahasia itu?
"Menurutmu apa warna laut saat ini, Nona?" tanyanya sekali lagi.
"Perak," jawabku singkat.
Ekspresi wajah pria berjanggut itu berubah drastis, dari yang awalnya tampak lelah dan mengantuk menjadi antusias sekaligus bersemangat.
"Oh, ya! Menurutku juga begitu," serunya lebih keras. Kemudian ia berjalan menjauhi laut, seolah menuntunku ke suatu tempat.
Aku berjalan mengikutinya tanpa banyak bertanya. Sepertinya orang ini sudah biasa menjadi perantara dari pihak luar menuju persembunyian para mafia. Kami berjalan cukup jauh sampai akhirnya tiba di depan suatu truk kontainer tua usang tanpa roda sama sekali. Langkahnya terhenti tiba-tiba.
Aku mengamati sosok itu dengan waspada.
Pria berjanggut itu menoleh padaku dan melambaikan tangannya, lalu ia pergi begitu saja. Kurasa memang inilah sarang para bandit yang kucari.
Aku kembali melayangkan pandang pada truk kontainer tua di hadapanku. Segera aku memberi informasi mengenai lokasiku pada Dova dan Roy melalui ponsel.
Saat mulai mengantuk, aku memaksakan diriku untuk mendekat dan mengintip dari celah pintu yang tidak terkunci. Sepertinya pintu ini sengaja tidak ditutup rapat, karena di dalam sana memang minim ventilasi. Orang-orang di dalamnya sedang tertidur serempak. Di tengah-tengah mereka ada sekitar empat kardus berukuran sedang yang menarik perhatianku.
Pelan-pelan aku menggeledahnya satu persatu. Ada begitu banyak barang di sini, dan semuanya mahal-mahal. Aku menduga komplotan ini termasuk dalam jaringan black market. Di sini bisa kutemukan banyak gulungan kain dari luar negeri, ponsel impor, bahkan senjata api. Dan untungnya, aku menemukan gulungan lukisan itu, The Dancing Smoke.
Namun, baru saja aku hendak mengeluarkan gulungan lukisan dari dalam kotak, tiba-tiba yang membekap mulut dan hidungku dari belakang.
Aku melawan.
Sesaat kemudian, semuanya menjadi gelap.
****
(POV DOVA)
"Kerja bagus, Cordova. Kau dan rekan-rekanmu akan dapat poin," Pak Ferdy membolak-balik lembaran kertas di mejanya. "Misi merah ini selanjutnya akan menjadi misi hitam."
Aku menghela napas lega.
"Tapi kau harus memberitahukan lokasinya ke tim hitam ini," lanjutnya sambil membetulkan letak kacamata. "Setelah itu, misi merah dianggap selesai."
Lalu, datang tiga orang kakak kelas laki-laki, semuanya anggota tim misi hitam. Mereka semua terlihat antusias dengan misi yang akan segera diberikan.
Tiba-tiba ponselku bergetar, aku mendapat titik lokasi mafia lukisan. Suri rupanya telah menemukannya. Rupanya kekhawatiranku padanya terlalu berlebihan, karena mungkin pada akhirnya ia tetap baik-baik saja di sana. Semoga.
Aku coba meneleponnya.
Tak ada jawaban.
Aku ulangi sekali lagi.
Tak ada jawaban lagi.
Aku terhenyak, sementara Pak Ferdy masih menunggu responku. Segera aku menunjukkan layar ponselku dan menjelaskan pada tim misi hitam mengenai hal penting itu. "Ada mafia lukisan bersembunyi di sini. Kemungkinan jumlah mereka banyak."
"Oke, selanjutnya serahkan pada kami," tawar salah satu dari anggota tim itu ramah.
Aku cepat-cepat menggeleng. "Aku akan ikut juga ke sana."
"Tidak perlu, Cordova," cegah Pak Ferdy santai. "Misimu sudah selesai sekarang. Kau bebas."
"Terima kasih, tapi aku punya satu orang teman yang belum kembali," jelasku. Aku berharap penolakan halus dariku bisa dipahami.
"Jangan terlalu dipikirkan, kami akan memberitahumu jika sudah menemukan temanmu itu," sambung para anggota tim misi hitam.
Aku terdiam sejenak. "Tidak, aku harus melihatnya langsung," bantahku. "Untuk memastikannya. Agar aku tahu ia baik-baik saja."
"Cordova!" gertak Pak Ferdy. "Jika kau melakukan itu, kau akan dianggap mencampuri misi tim lain tanpa perintah atasan. Dan itu berarti pelanggaran."
"Aku akan terima konsekuensinya," tegasku tanpa ragu.
"Apakah temanmu itu seorang perempuan?" Pak Ferdy menghela napas. "Seorang mata-mata tidak boleh jatuh cinta sembarangan. Seorang mata-mata tidak mementingkan apapun, kecuali misinya."
Aku lagi-lagi tidak ingin mendebatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan prinsipku. "Kalau perlu, akan kulanggar seluruh kode etik yang berlaku agar bisa sampai di sana, supaya bisa melihatnya."
"Ah, kalau begitu, silakan lakukan saja tugas kalian," rutuk Pak Ferdy, terlihat menyerah dengan diriku yang keras kepala.
****
Kami berempat tiba di pelabuhan pada jam tiga pagi dengan mengendarai mobil hitam. Setelah memarkir mobil secara cepat di tempat yang seharusnya, kami berempat segera berlari ke titik lokasi.
Sesampainya di depan truk kontainer, kami berempat lekas mengatur strategi. Aku yakin kali ini hanya aku yang sama sekali tidak mementingkan lukisan itu lagi. Di kepalaku sekarang hanya ada gadis itu. Di mana dia sebenarnya?
"Hey," bisik seorang anggota tim misi hitam. "Aku belum tahu seperti apa lukisan itu."
"Judul lukisan itu adalah The Dancing Smoke," bisikku. "Aku pun belum pernah melihatnya, tapi gambarnya tak akan jauh beda dari sebutan itu."
Lalu salah seorang anggota tim lain maju duluan.
"Oke, di sini mulai ramai. Semuanya sibuk mengemas barang," jelas suara tersebut di earphone.
"Aneh, ada seorang awak kapal tertidur sambil memeluk sebuah gulungan," lanjut suara itu. "Mengapa ia tidak meletakkan gulungan itu dalam kardus-kardus di hadapannya?"
"Dari sikapnya ia sangat tidak mau kehilangan apa yang ada di tangannya," kataku berpikir. "Seolah-olah baru saja ada yang coba ... mencuri darinya."
"Menarik."
Lalu, kami mulai bergerak cepat.
Dengan mudahnya, kami bertiga berhasil mengambil lukisan The Dancing Smoke yang dipegang oleh salah seorang pria penghuni truk kontainer. Walaupun sebenarnya dalam hal ini, aku tidak terlalu banyak membantu karena ini pada dasarnya memang sudah bukan misiku lagi.
Kami berempat sempat berkelahi dengan salah seorang mafia, namun tidak terlalu lama karena lukisannya sudah berada di tangan kami. Lalu, setelah melewati banyak pengejaran, kami akhirnya berada di jarak yang cukup jauh dari zona bahaya.
Tapi, aku tetap belum bisa tenang sejak tadi, karena Suri belum juga kelihatan. Ia bahkan tak kutemukan di dalam truk besar sama sekali.
Tiba-tiba terdengar suara keras dari belakang.
"Serahkan lukisan itu, atau ... ,"
Aku terkejut dan menoleh ke belakang. Kepalaku mendadak dipenuhi dengan rentetan kemungkinan yang bisa terjadi setelah ini. Mataku terbelalak.
"... kami akan bunuh temanmu."
****