Dova berdiri bersandar pada tembok, menatapku dengan dingin. "Kau gagal rupanya, Suri."
Aku tertawa kecut. "Sebenarnya aku berhasil, kok. Hanya saja saat itu ada sesuatu terjadi."
Dova mengangkat bahu. "Nyatanya tadi? Misimu dilelang."
"Oke, oke," celotehku melipat kedua lengan. "Terserah mau bilang apa."
"Kurasa pergerakanmu kurang cepat, sehingga kau disatukan dengan tim lain yang bisa menutup kekuranganmu," ucap Dova sambil memasukkan tangan ke dalam saku celananya. Serius deh, Dova itu kalau dilihat-lihat keren juga, asalkan ia berhenti bersikap dingin padaku. "Untuk itu, berlatihlah lebih sering, Suri."
"Hey, Cordova," seru seseorang. "Jadi ini yang namanya Suri?" tanya seorang cowok berkaca mata sambil menghampiri kami berdua.
Dova mengangguk tanpa ekspresi. "Kita bertiga akan berada dalam satu tim."
"Oh, halo," sapaku. "Aku Suri."
"Aku Roy," ucapnya tersenyum. "Aku baru saja dapat informasi mengenai misi kita nanti."
"Benarkah? Misi apa itu?" tanyaku.
"Sebaiknya kita tidak membicarakan itu sembarangan di tempat ramai," cegah Dova sambil memperhatikan sekelilingnya dengan serius.
Kami bertiga pun pergi meninggalkan ruang pusat divisi, menuju lapangan tembak. Tempat itu cukup sepi, jarang dipergunakan kecuali hanya tujuan latihan tembak. Salah seorang murid yang sering kali berkunjung ke sini hanyalah Dova, karena setahuku itu merupakan tempat favoritnya sejak kecil. Dulu ia sangat suka bermain tembak-tembakan bersama Fia dan juga aku di tempat tinggal kami.
"Jadi, apa misi rahasia selanjutnya?" tanyaku penasaran.
"Ini merupakan misi merah," jawab Roy. "Misi ini berkaitan dengan hilangnya sebuah lukisan terkutuk."
"Lukisan terkutuk?" seruku terperanjat.
"Nama lain lukisan itu adalah The Dancing Smoke atau Asap yang Menari," jelas Roy panjang lebar. "Lukisan itu sangat mahal, dibuat oleh seorang lelaki bernama Seno Joan," lanjutnya. "Pak Ferdy hanya memberiku data mengenai tempat tinggalnya saja, beserta lokasi museumnya."
"Apakah museum itu terpantau CCTV?" tanya Dova.
"Ya, benar. Tapi tidak terlihat adanya aksi pencurian di CCTV sama sekali," jawab Roy. "Saat pagi tiba, lukisan itu hilang begitu saja dari bingkainya."
"Mengapa dijuluki lukisan terkutuk, ya? Apakah seajaib itu, sampai-sampai bisa hilang tanpa jejak?" heranku. Dahiku jadi berlipat-lipat memikirkannya, tidak masuk akal. "Benarkah tidak ada kekacauan apapun di sekitar sana? Ke mana perginya para penjaga saat itu?"
"Kurasa itu yang harus kita cari tahu, Suri," potong Dova.
"Oke, jadi kapan kita berangkat ke museum itu?" tanyaku bersemangat.
"Lebih cepat, lebih baik," ucap Roy. "Bagaimana menurut kalian berdua?"
"Mempertimbangkan lokasinya yang cukup jauh dari kota ini," kata Dova. "Aku menyarankan untuk berangkat besok pagi. Persiapkan segalanya untuk tiga hari ke depan."
Lenganku menyenggol bahu Dova dengan sengaja. "Hanya tiga hari? Kau terlalu optimis, Dova."
"Terlalu optimis? Aku itu realistis," ucapnya. "Kita hanya perlu mencari informasi mengenai keberadaan lukisan itu, dan selesai."
"Yah, aku juga berharap misi nanti akan mudah," sahut Roy. "Kalau begitu aku pergi dulu, ya. Sampai jumpa besok!"
Roy melambaikan tangannya dan berjalan lurus menuju koridor sekolah kami.
Kini, tinggal Dova dan aku. Bersebelahan, tak saling memandang, tak saling bicara. Hanya deru angin menerpa di antara kita, membuatku ingin menyusul Roy dan meninggalkan Dova yang mungkin saja terganggu dengan kehadiranku di tempat favoritnya.
Aku mulai melangkah pelan.
"Kau pasti takut kalau rambutmu tersangkut lagi di ranting pohon seperti waktu itu."
Aku menoleh cepat. Rupanya Dova sedang tersenyum menarik lembut ujung rambutku yang terkuncir. Hal yang langka mendapatinya tersenyum seperti itu. Aku rela deh membiarkan rambutku tersangkut ranting pohon berkali-kali, asal bisa membuatnya tersenyum hangat seperti itu.
"Kenapa kau senang sekali kalau rambutku tersangkut?" balasku tak terima. "Aku menguncirnya supaya lebih profesional saja kok."
Dova tertawa kecil, lebih terdengar seperti sedang mengejekku. Lalu tiba-tiba senyum hangat itu lenyap. Wajah seriusnya kini muncul kembali. "Bagaimana dengan rencana pernikahanmu, Suri?"
"Entahlah, belum kupikirkan lagi," jawabku bingung.
"Sejak awal aku menganggap itu semua hanya lelucon," katanya pelan.
Aku menyeringai. "Bagaimana kalau bukan?"
Dova tak menjawab. Hanya menatapku kosong. Tenggelam dalam pikirannya.
"Apa saranmu, Dova?" tanyaku memecah keheningan.
Dova menatapku tajam, seolah aku baru saja menanyakan pertanyaan yang menyentak pikirannya. "Apakah kau menginginkan pernikahan itu?"
"Jawaban apa yang kau mau?" balasku sinis.
Dova lalu membuang muka, dan pergi begitu saja. Membuatku bertanya-tanya tentang apa yang ada dalam pikirkannya. Dia selalu begitu, si cowok kulkas itu.
****
(POV DOVA)
Dunia ini penuh dengan banyak kemungkinan. Hal itu bisa berarti positif, karena pasti selalu ada harapan untuk hari esok. Namun, bisa juga menjadi negatif, ketika mulai muncul perasaan takut kehilangan, atau takut melewatkan sesuatu.
Dan aku sepertinya belum pernah ada di posisi yang kedua, sama sekali. Sebelum sekarang. Sebelum kudengar lelucon di mana aku harus pura-pura tertawa, namun sebenarnya ketakutan. Sebelum seseorang, yang tadinya memang tidak pernah ada di hidupku, menjadi tiada kembali.
"Apakah kau menginginkan pernikahan itu?"
Barusan saja, kulepaskan pertanyaan yang selama ini menjadi tameng semu, karena jawabannya selalu kukarang sendiri. Tadinya kukira beban pikiranku akan berkurang, ternyata tidak. Karena ternyata jawabannya bukan soal ingin atau tidak ingin.
"Jawaban apa yang kau mau?"
Seorang gadis di hadapanku balas melontarkan pertanyaan retoris yang telah mengandung jawaban di dalamnya. Dan aku merasa bersalah pada diriku sendiri karena telah menanyakannya. Karena aku selalu tahu, cepat atau lambat, hari itu akan tiba.
Kini aku sadar. Waktuku dengannya tinggal sebentar. Andai saja waktu bisa dibekukan. Sebelum seseorang datang dari masa depan, merenggutnya dariku. Giliranku selesai. Harusnya aku senang karena tugasku menjaganya telah tuntas, tapi nyatanya tidak. Berpura-pura tidak peduli hanya akan merantai ketakutanku untuk sementara saja.
Kalau begini terus, sebelum benar-benar kehilangan, aku sudah kehilangan duluan.
Aku sadar, aku terlalu banyak memikirkan kemungkinan. Merasa tidak aman dari kehampaan. Padahal seharusnya aku tidak mengharapkan yang bukan-bukan, tapi itulah yang aku lakukan. Malah menciptakan ketakutan yang lebih besar.
Tapi di sisi lain, aku tahu posisiku yang bukan siapa-siapa. Jadi aku seperti berjalan di tempat, tak berpindah sedikit pun. Atau, aku seperti keledai yang mengejar wortel di depanku. Tak pernah kutemukan akhir dari tujuanku, tapi aku juga enggan berhenti.
Kadang aku bertanya-tanya, apakah aku terlihat baik-baik saja di mata gadis itu. Karena selama ini, posisiku selalu bisa digantikan kapan pun. Hanya saja, menebak kapan itu terjadi, sama buruknya dengan membayangkan bagaimana itu bisa terjadi. Sejak dulu aku penasaran, sekuat apa aku ini. Mungkin saja dengan ini, aku tahu batasku.
Tapi ini tidak adil. Di sisi lain, aku juga ingin tahu sampai mana batas gadis itu. Batas perasaannya. Apakah nanti aku yang akan kehilangan dia, atau dirinya yang justru kehilangan aku? Atau kami tidak akan saling kehilangan karena dari awal memang tidak pernah saling memiliki.
Mungkin saja aku terlalu terbawa suasana. Aku merasa memiliki, bahkan sebelum aku sempat menyadarinya. Ini bukan salahku, bukan salahnya juga. Hanya saja, saat-saat berdua seperti ini seolah akan bertahan selamanya, padahal akan runtuh juga akhirnya. Dan aku lelah memimpikan diriku sendiri untuk sesuatu yang sangat jauh, tak tergapai.
Aku tidak bisa menjawab apapun sekarang. Tidak ada yang boleh tahu perasaanku, yang memang tidak penting ini. Kalau bisa, aku ingin tetap menguncinya rapat-rapat entah sampai kapan. Mungkin sampai perasaan ini mencapai bentuk partikel terkecilnya, menguap ke udara bebas. Lalu lenyap tak bersisa, dan saat itu aku menjadi lupa bahwa kami berdua pernah ada dalam mimpi-mimpiku. Hanya tinggal menunggu beberapa ribu detik ke depan, kuharap tidak sampai selamanya.
****