"Aku .... hmmm sebenarnya ... aku yakin ini bahasa spanyol," gumam Manda. "Namun, aku tidak terlalu lancar bahasa spanyol. Hanya familiar saja."
Gawat.
"Aku sangat lancar bahasa spanyol," kata Freya. "Aku dibesarkan di sana, kebetulan sekali."
"Tapi, Freya," ucapku meragukan. "Kau pasti tidak bisa membaca gerak bibir."
"Tidak, tapi aku bisa bahasa spanyol," kata Freya meyakinkan.
Manda mengangguk. "Iya, tapi aku tidak bisa bahasa spanyol. Bagaimana caranya aku memindahkan informasi dari apa yang aku lihat kepadamu?" Manda geregetan.
"Oh, iya juga sih." Freya terkekeh.
Temanku yang satu bisa bahasa spanyol, tapi tidak bisa mendengar isi percakapannya. Yang satunya bisa membaca gerak bibir, tapi tidak familiar dengan kata-kata yang diucapkan. Sementara aku? Sibuk mencari rencana B. Lagi-lagi aku tenggelam dalam pikiranku.
"Aku tahu," gumamku dalam hati. Segera aku mengambil karet gelang dan kutempelkan sebuah alat sadap kecil. Kutarik kuat-kuat sambil memicingkan satu mata untuk memastikan targetku. Kena!
"Aku sudah memasang alat sadap di jaket pria lokal," ucapku pada dua temanku. "Sulit untuk menempelkannya di jaket pria spanyol, terhalang seseorang."
"Aku tidak yakin itu berhasil, Suri," keluh Manda membetulkan letak earphone-nya. "Hanya terdengar teriakan vokalis band."
Freya mengangguk. "Aduh, benar juga. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan."
Saat kami bertiga berusaha mendengarkan obrolan yang kurang jelas lewat alat sadap, tiba-tiba dua pria bule itu lenyap!
"Gawat," kataku. "Kemana mereka?"
Memang pantas incaranku tadi dijuluki sebagai bandar jaringan internasional. Mereka cepat sekali menghilang. "Mereka ada kemungkinan sedang menghampiri customer lain,"
"Ayo cari!" seru Freya dan Manda.
Kami bertiga berpencar mencari sosok antek-antek Mr. Lion. Tebakanku mereka bukanlah Mr. Lion yang dimaksud oleh Pak Ferdy, mereka hanya anak buah saja.
Setelah lima belas menit berpencar, kami bertiga kembali berkumpul di jendela paling tengah di dalam ruangan. Konser hampir usai. Penonton mulai bubar sedikit demi sedikit. Kami bertiga nyaris kehilangan waktu.
"Tidak kutemukan lagi," kata Freya terengah-engah.
Manda menyeka keringat di keningnya. "Aku juga tidak."
Aku mengangguk cemas. "Tak kusangka mereka menghilang begitu cepat."
"Aku yakin mereka berdua punya kaitan dengan Mr. Lion. Padahal nyaris saja," gerutu Manda mengepalkan jari. "Lewat teropong, aku bisa melihat pria lokal melebarkan jaketnya, dan pria bule seperti sedang mencondongkan tubuhnya ke jaket pria lokal."
"Mereka saat itu pasti sedang melakukan transaksi," celotehku mengomentari. "Menurutku ada dua kemungkinan. Pertama, pria lokal tadi adalah customer terakhirnya, selain itu tidak ada lagi. Tapi seharusnya ada banyak di sini, sih. Karena itu yang paling masuk akal adalah kemungkinan kedua, yaitu kita ketahuan dan mereka mulai waspada."
"Alat sadapnya ada GPS-nya kan, Suri?" tanya Freya.
"Tapi aku pasang di jaket pria lokal," sesalku. "Dan ia juga sudah tidak ada sekarang."
"Tak masalah. Kita bisa ikuti pria lokal itu," ucap Freya asal.
Manda menggeleng. "Jangan bilang kau mau coba mengambil barang bukti."
"Ini bukan misi hitam, Freya," cegahku dengan tatapan tajam. "Bukan kapasitas kita."
Freya memutar bola matanya. "Peduli amat. Kalau kita diam saja, kita akan pulang dengan tangan kosong."
"Mengapa kau begitu ingin memenangkan misi ini?" heran Manda.
"Pasti supaya namamu disebut saat kelulusan misi, agar terdengar kakak kelas incaranmu itu ya?" selidikku tertawa meledek.
Freya cemberut. "Aku tidak memaksa kalian, sih. Aku bisa pergi sendiri."
"Sudahlah," bisik Manda menepuk bahu Freya. "Jika kau ingin mencobanya, aku bersedia ikut."
"Aku juga," timpalku tersenyum. "Ini bukan karena dirimu, tapi aku hanya merasa bertanggung jawab atas misi yang belum tuntas ini."
"Baiklah," kata Freya bersemangat. "Ayo naik ke mobil!"
Sesampainya di mobil, aku berdebar karena cemas seandainya pria lokal itu menyadari kami sudah memasang alat pelacak di jaketnya. "Kalau titiknya berhenti di ruang konser tadi, dia pasti sudah membuang alat penyadapnya, berarti kita sudah ketahuan."
Freya memandang terus ke layar ponsel dengan tatapan penuh harap. "Suri coba lihat! Titiknya bergerak!"
Aku tersenyum. "Bagus. Kita lihat ke mana ia menuju."
****