Setelah sibuk melacak titik GPS yang sudah terpasang di jaket target, akhirnya kami bertiga sampai di pertigaan yang bercabang ke sebuah rumah.
"Kita berhenti di sini saja, daripada ketahuan," perintahku sambil menghapus make-up dan segala aksesoris yang mengganggu pergerakanku. "Kita tunggu sampai malam."
"Oke," kata Freya mematikan mesin mobil. "Sambil kita susun rencana juga, kalau bisa."
"Rencananya adalah," jelas Manda. "Jangan sampai gagal. Minimal dapat informasi tambahan lah."
"Iya, tapi lebih baik gagal daripada mengorbankan keselamatan," bantahku. "Misi merah tidak butuh sampai barang buktinya. Hanya informasi saja."
"Aku berharap banyak padamu, Suri. Di antara kita bertiga, hanya kau yang cukup ahli membuat strategi," Freya memohon. "Kau bisa bayangkan jika kita gagal? Kita akan sangat terkenal."
"Saking terkenalnya, sampai-sampai kakak kelas kesayanganmu itu tahu?" ledek Manda pada Freya.
Aku kembali berpikir keras. "Kalau menyelinap ke dalam rumahnya, jangan kita bertiga sekaligus. Harus ada yang menjaga mobil dan siap ketika dipanggil."
"Itu aku," kata Freya. "Aku jago parkir dan siap ngebut kalau dibutuhkan."
"Dan harus ada yang memantau dari jauh, untuk memberi aba-aba pada yang menyelinap masuk," lanjutku.
"Itu aku," kata Manda. "Aku bisa memantau dengan teropongku."
Aku menaikkan alis. "Terus? Aku yang masuk rumah itu, gitu?"
"Ayolah, Suri," ucap Manda membujuk. "Kau lebih kurus daripada aku. Aku tidak mau membuat jebol atap rumah orang."
Aku tertawa pelan. Mencoba tenang. "Nilai bidang bodily kinesthetic-ku parah banget tapi. Dan ini pertama kalinya aku menyelinap tanpa dikawal mata-mata senior," keluhku ragu dan mencari-cari alasan. "Aku tidak yakin bisa melakukannya."
Tiba-tiba hening sejenak.
"Aduh ... ya sudah. Aku saja deh yang pergi ke sana," rengekku sedikit merajuk.
"Hore! Semangat Suriiii!" seru Freya dan Manda bersamaan.
****
Malam harinya, ketika menurut kami mayoritas orang pada umumnya telah terlelap, kami bertiga mulai beraksi. Aku dan Manda berlari sampai beberapa meter dari titik target. Titik itu rupanya mengarah pada sebuah rumah mewah bercat abu-abu.
"Aku akan memberimu aba-aba dari atas pohon ini, Suri," celetuk Manda sambil memanjat pohon yang paling dekat dengan rumah itu. "Pasang earphone-mu."
Aku mengangguk dan segera kupasang earphone di telinga. Manda kini tengah mengamati rumah target secara detil. Kembali kuperiksa layar ponselku, rupanya titik target semakin dekat saja. Kurasa ini memang rumah yang benar.
"Tiga langkah ke arah jam tiga, panjat saja pagarnya. Mungkin aman dari CCTV karena terhalang semak-semak tinggi," jelas Manda memberi tahu.
Aku mulai menuju ke arah yang dimaksud, lalu memanjat pagar dengan mudah. Aku menoleh ke kanan dan kiriku, rupanya ada anjing penjaga sedang terlelap, ia berada di pintu gerbang sisi satunya lagi. Untung saja aku tidak lewat sana. Kuakui Manda melakukan perannya dengan baik.
"Suri, perhatikan baik-baik. Ada tanaman rambat di dekatmu. Lebih baik kau merayap sampai ujungnya," ucap suara Manda.
Aku celingak-celinguk mencari sesuatu yang ia maksud. Jujur, agak susah melihat dari tempatku berada, karena sangat jauh dari lampu taman. Tapi hal itu sangat menguntungkanku karena persembunyianku jadi lebih rapi di kegelapan. "Aku tidak bisa melihat apa yang kau maksud," jawabku bingung. "Banyak sekali tanaman yang menghalangi pandanganku."
"Oke, tahan ya, jangan nyalakan senter. Kau akan menarik perhatian anjing itu," kata Manda memperingatkan. "Arah jam satu. Sangat dekat dari tempatmu sekarang."
"Aku mengerti."
Tanpa basa-basi lagi, aku segera melompat dan mendarat dengan posisi tiarap. Aku merayap mengikuti alur dari tanaman rambat ini dengan sangat hati-hati. Bajuku jadi sedikit basah karena terkena rerumputan. Sebenarnya aku merasa tegang. Tapi aku berusaha menanamkan keberanian dan rasa optimis di benakku.
"Bagus, Suri," kata Manda dengan penekanan. "Kau sudah ada tepat di depan pintu utama. Sekarang terserah padamu."
Aku terhenyak. "Hmm ... Manda, menurutmu bagaimana? Apa lagi yang bisa kau lihat dari atas sana?"
"Tidak banyak yang bisa kulihat. Hanya ada satu pintu masuk dengan dua jendela yang mengapitnya. Kau bisa pilih sekarang."
Awalnya aku sempat bersyukur karena tidak perlu memanjat sampai atap rumah ini. Tapi kini semuanya penuh dengan kemungkinan baru. Diriku mulai was-was. "Aku akan masuk melalui pintu," ucapku merapat ke tembok.
"Tapi di sana terpantau CCTV."
****