Bella mematikan sambungan telepon saat itu juga, telinganya sudah tak mampu lagi mendengar setiap penjelasan Ghea yang begitu mengguncang dirinya.
Detik itu juga, dunia Bella seolah runtuh, hingga sepasang mata indahnya berubah menjadi keran, ia menangis sejadi-jadinya diikuti teriakan frustasi dan ponsel yang terlempar ke dinding.
Di luar pintu, Jenson sangat khawatir. Ia tampak mondar-mandir sambil menunggu panggilan tersambung dengan asistennya.
"Antoni!" serunya dengan suara yang dalam dan tegas, hingga terdengar mengerikan di telinga Antoni.
"I... ya Tuan. Bagaimana?"
"Bukankah aku hanya menyuruhmu mengusirnya?" geram Jenson.
Ia memelankan suaranya dan bergerak menjauh dari arah kamar mandi, mengambil setelan kemeja serta celana bahan dan mengganti jubah mandinya dengan setelan itu secepat mungkin.
"Saya sudah melakukannya sesuai perintah Tuan." Suara Antoni terdengar bergetar karena ketakutan.
Meski ia sudah lama bekerja dengan Jenson, tapi ia tetap saja ketakutan kalau tuannya sedang meraung marah seperti saat ini.
"Lalu bagaimana kamu menjelaskan berita yang tersebar di sosial media?" cecar Jenson yang saat ini sudah berganti setelan rapi dan menyambar kunci mobilnya, keluar dari hotel.
"A... aku tidak tahu soal itu Tuan, yang jelas dia baik-baik saja dan masih berada di kota terpencil di luar negeri sesuai perintah Tuan." Jelas Antoni.
Jenson mengerutkan keningnya dengan keras dan ia mematikan sambungan teleponnya, kali ini ia tahu siapa pelakunya.
Jenson masuk ke Maserati hitamnya dan kembali menghubungi seseorang.
"Jaz!"
"Ya Jens, apa kamu merindukanku? Sudah kubilang kamu bisa menemuiku kapan saja, aku hanya pindah ke negara yang tak jauh dari negara kita."
Jenson memijat pelipisnya sebelum akhirnya ia berkata dengan kesal, "Apa berita kematian Gavin Thompson itu hasil karyamu?"
Jaz terkekeh dan ia menjawab dengan santai, "Tentu saja, aku melakukannya untukmu Jens."
Jenson mendesah pelan, menyandarkan punggungnya lebih santai ke kursi pengemudi dan menyalakan mesin mobilnya setelah memakai headset bluetooth di telinganya. Detik berikutnya mobil melaju pelan meninggalkan hotel.
"Thanks Jaz."
Hanya itu yang ia katakan sebelum akhirnya ia memutuskan sambungan teleponnya.
Di kamar mandi hotel, Bella menyudahi tangisannya dan keluar. Tapi, ia sudah tidak menemukan Jenson di kamar, ia tak peduli kemana Jenson dan mengganti jubah mandinya dengan baju hitam, ia akan ikut Ghea ke pemakaman Gavin.
Beberapa menit berikutnya, bel pintu kamar hotelnya berbunyi, Ghea datang dan langsung memeluk Bella yang masih terus saja menangis.
"Kamu harus kuat Bell, masih ada aku."
Bella mengangguk dalam pelukan Ghea, sejuta penyesalan kembali menyerangnya membuat tangisannya semakin pecah.
"Ini salahku Ghe, andai saja aku tidak menyetujui Mama dan menikah dengan si brengsek Jenson. Gavin pasti akan baik-baik saja."
Ghea mengelus punggung Bella dan kemudian melepas pelukannya, mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata Bella.
"By the way dimana Jenson? Apa tidak apa-apa kamu...."
"Aku tidak peduli Ghe, ayo kita pergi sebelum dia kembali." Sela Bella dengan cepat.
Ia bangkit dan menggandeng Ghea buru-buru keluar kamar hotel sambil membawa kopernya.
Tiba di Pemakaman Umum Kota.
Bella terduduk lemas di depan pusara yang sebenarnya kosong. Itu semua settingan Jaz, apalagi latar belakang Gavin yang tidak memiliki keluarga sama sekali di Jakarta sangat memudahkan Jaz memanipulasi semuanya tanpa harus berdiskusi dengan pihak manapun.
"Gavin Honey, i'm sorry." Tangisan Bella kembali pecah.
***
Jenson tiba di Villa Emerald saat hari sudah siang, begitu ia tiba di pintu masuk, semua pelayan membungkuk dengan hormat, Jenson tersenyum sangat tipis atas penyambutan mereka dan kemudian berjalan acuh, ia memasuki lift pribadi menuju kamarnya.
Di belakang Jenson, semua pelayan dan pengawal saling pandangan dengan heran, jelas itu bukan sifat bosnya.
Ada apa dengannya hari ini?
Satu pertanyaan besar yang langsung memenuhi semua pemikiran para pelayan dan pengawal di Villa Emerald.
Di pintu lift, Jenson benar-benar tak peduli dengan keterkejutan seisi villa hari ini. Villa Emerald adalah miliknya secara pribadi, ia yang mendesainnya dan semuanya dibangun berdasarkan perintahnya, bahkan semua perabotan dan infrastruktur yang ada di dalamnya pun semua pilihannya. Hanya saja ia menggunakan Jaz untuk mengatur semuanya.
Ting
Pintu lift terbuka dan ia langsung melangkah malas memasuki kamar, melepas dasinya dan duduk menyilangkan kakinya di sofa sebelum ia mengeluarkan ponselnya dan kembali menghubungi asistennya.
"Ya Tuan." Balas Antonie dengan siap sedia.
"Jemput Christabella di Pemakaman Umum Kota dan bawa dia pulang ke Villa Emerald."
"Baik Tuan."
Jenson mematikan sambungan teleponnya dan ia memijit pelipisnya.
"Dia bukan perempuan yang mudah," keluhnya dalam hati.
"Tapi aku akan tidak menyerah," lanjutnya.
Setelah mengatakan itu, ada kobaran semangat dalam jiwanya, seketika senyum bahagia menghiasi wajah tampannya yang sempurna.
Di tempat yang berbeda, Christabella masih terduduk menangis di pusara Gavin hingga matanya membengkak. Ghea tak tega melihatnya dan mengajak Bella pulang karena hari juga semakin siang hingga matahari hampir membakar seluruh tubuhnya.
"Bell, ayolah! Sampai kapan kamu akan menangis di sini? Jenson juga pasti sudah menunggumu."
Lagi-lagi Bella menggeleng dan menyuruh Ghea pulang sendiri hingga membuat Ghea tak sabaran.
"Jangan lupa kopermu ada di mobilku Bel," Ghea mengingatkan dengan kesal.
"Turunkan koperku dan pergilah!" balas Bella tak kalah sengitnya.
Ghea mendengus kesal dan berbalik meninggalkan Bella, sudah lama sekali ia menunggu Bella menangis di pusara Gavin, meski ia juga berduka tapi bukankah semua ada batasannya? Bahkan segalanya yang berlebihan itu tidak baik.
Pada saat Ghea akan menurunkan koper Bella, sebuah Rolls Royce hitam berhenti tepat di belakang mobilnya, Ghea mengerutkan keningnya dengan keras hingga tidak jadi menurunkan koper Bella dan fokusnya beralih pada sosok tinggi tegap dengan setelan formalnya turun dari mobil.
Ghea seperti dejavu sesaat karena ia pernah melihat laki-laki di depannya itu ketika ia berada di Amerika, tapi kalau dia tidak salah mengingat, laki-laki itu adalah asisten pemilik Star Enterprise yang sosoknya sangat dirahasiakan. Lalu kenapa dia tiba-tiba berada di sini?
Dalam kebingungan itu, Antonie mendekat dan bertanya padanya, "Apakah anda teman Nona Christabella?"
Ghe seketika mengangguk dengan gugup dan ia memberanikan diri untuk bertanya balik, "Siapa kamu? Kenapa mencari Christabella?"
"Perkenalkan saya Antonie, asisten Tuan Jenson."
Dahi Bella semakin berkerut.
"Sejak kapan Jenson memiliki asisten? Laki-laki bar-bar itu bahkan sangat menjaga privasinya dari orang selain sekretarisnya agar bisa terus berhubungan dengan Liora tanpa dikejar media." Batin Ghea bingung.
Mengerti kebingungan perempuan di depannya, Antonie segera meralat ucapannya, "Saya asisten barunya."
Ghea manggut-manggut meski ia masih menaruh sedikit curiga.
"Ya, saya temannya Christabella. Ada apa?"