Chereads / MINE : JENSON AND CHRISTABELLA / Chapter 7 - AKU MILIKMU

Chapter 7 - AKU MILIKMU

Saat ini ia lebih tertarik dengan malam pertamanya bersama Bella, jadi ia tak sabaran. Ia membuka beberapa kancing bajunya dan mulai mencium bibir ranum Bella dengan hati-hati.

Gayung bersambut, Bella membalas ciuman Jenson dengan sangat lembut. Berbeda sekali dengan saat mereka berciuman kemarin.

Malam itu, mereka menghabiskan waktu sepanjang malam sebagai pasangan suami istri yang sebenarnya.

Keesokan harinya Christabella terbangun karena rasa sakit. Sekujur tubuhnya seperti baru saja tertabrak truk besar.

Christabella meringis kesakitan saat ia mencoba untuk duduk dan menyenderkan kepalanya pada headboard. Semuanya sangat sakit terutama bagian intimnya.

"Apa yang terjadi semalam?" Batin Bella berusaha mengingat kejadian demi kejadian semalam.

Belum sepenuhnya ia ingat semuanya, Bella tersentak kaget begitu menyadari kalau saat ini tubuhnya hanya tertutup selimut putih. Ia menyibaknya dan banyak sekali gigitan cinta hampir di sekujur tubuhnya.

"Aarrghh." Bella berteriak histeris.

Bersamaan itu, pintu kamar terbuka dan Jenson masuk dengan langkahnya yang santai.

Ia tersenyum tipis dan berjalan menghampiri Bella ke tempat tidur.

Sementara Bella ia semakin ketakutan, hingga berusaha menutupi tubuhnya kembali dengan selimut.

"Minumlah! Tenangkan dirimu." Jenson menyerahkan segelas air hangat.

Bella masih ketakutan tapi ia tidak menolak air hangat dari Jenson, tenggorokannya sangat kering sejak tadi.

Secangkir air hangat mengalir ke perutnya dan membuat dirinya lebih baik. Setelahnya ia berangsur-angsur mengingat kejadian semalam.

Seketika wajah Bella memerah karena malu jadi dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Betapa memalukannya, Bella mengutuk dirinya sendiri yang mabuk semalam dan ia sangat menyesal sekarang, tapi semuanya sudah terlanjur. Percuma saja menyesalinya. Seberapa kuat ia menyesali dan mengutuk dirinya, itu tidak akan mengubah apapun sekarang.

"Kita melakukan dengan sangat baik semalam. Jadi apa yang kamu sesali?"

Bella semakin menenggelamkan wajahnya.

Jenson menyeringai tipis dan berbalik pergi.

"Mandilah! Aku tunggu di bawah." Jenson mengingatkan Bella kembali sebelum ia benar-benar keluar dari kamar.

Bella semakin frustasi, ia meraih bantal dan menempelkannya ke wajah, berteriak tanpa suara.

Lama setelah tenggelam dalam rasa malu dan penyesalan, perut Bella berbunyi nyaring karena lapar, jadi dia terpaksa bangkit dan pergi mandi.

Selesai mandi, Bella mengenakan pakaiannya dan pergi ke ruang makan memenuhi panggilan Jenson.

Di ruang makan.

Jenson tampak antusias mengisi piring Bella dengan nasi, lauk pauk juga sayuran. Suasana hati Jenson sedang membaik, jadi dia tidak masalah melayani Bella seperti saat ini, lagipula semalam Bella juga sudah menjalankan kewajibannya.

Sementara Bella ia duduk dengan canggung dan belum berniat menyentuh sarapannya. Ia masih ingin menjelaskan pada Jenson.

"Jens, soal semalam..."

Jenson menatap Bella dengan seulas senyumnya yang menawan.

"Makanlah, kamu pasti sangat lapar."

Bella mendengus kesal dan meraih sarapannya, Jenson benar ia sangat kelaparan dan kehabisan tenaga.

Jenson menyeringai senang melihat Bella yang penurut.

Setelahnya keduanya sibuk menghabiskan sarapan masing-masing.

Begitu selesai, Bella kembali menginterupsi Jenson.

"Aku mabuk semalam Jens, jadi jangan berpikir aku sudah menerimamu."

Jenson sama sekali tidak terpengaruh, ekspresinya sangat tenang seperti lautan yang begitu dalam.

Ia meraih ponselnya dan menatap Bella penuh arti.

"Apa aku harus memutar ulang rekaman semalam?"

Wajah Bella berubah memucat.

"A... Apa? Kamu merekamnya? Jangan macam-macam kamu Jens, apa saja yang sudah kamu rekam?" Bella ketakutan.

Seringai di wajah Jenson berubah menjadi jahat.

"Semuanya."

Bella membelalak tajam dan ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang.

Tanpa Bella suruh, Jenson sudah mengambil langkah memutar rekaman suara Bella semalam.

"Jens, aku tidak punya siapa-siapa sekarang."

"Apa maksudmu?"

"Gavin meninggalkanku dan Mamaku... Dia juga sudah memutuskan hubungannya denganku."

"Bukankah kamu masih memilikiku?"

"Aku hanya memilikimu sekarang, jadi maukah kau menerimaku?"

"Tentu saja aku menerimamu, kau istriku Mi Amor."

Terdengar suara tangis Bella.

"Terimakasih Jenson, aku milikmu sekarang."

"Jadi apa kamu bersedia malam ini?"

"Tentu saja..."

Jenson mematikan rekaman itu dan wajah Bella semakin kehilangan warnanya.

Dia dengan gugup berkata, "Aku tidak sadar saat mengatakannya."

"Aku tidak peduli soal itu Christabella. Yang jelas kamu sudah menyerahkan dirimu padaku, itu artinya..."

"Tidak." Sela Bella dengan cepat.

"Makam Gavin bahkan masih sangat basah, jadi aku tidak mungkin bisa menerimamu secepat itu." Lanjutnya.

Rahang Jenson mengeras mendengar pernyataan Bella yang menyakitkan.

Dia menatap Bella dengan tajam sebelum akhirnya memilih meninggalkannya. Entah kenapa hatinya sangat sakit.

Jenson meninggalkan Villa Emerald menuju kantor Alex Group.

Namun baru setengah jalan, ponselnya berdering. Sebuah nomor tak dikenal memanggilnya.

Jenson mengabaikannya, tapi nomor itu terus saja memanggilnya. Ia mendesis geram sebelum akhirnya terpaksa mengaktifkan headset bluetoothnya.

"Jenson!" Isak tangis perempuan mencapai telinganya dan membuat Jenson mengerutkan keningnya dengan keras.

Suara itu begitu asing di telinganya.

Siapa? Jenson bertanya-tanya dalam hati karena jelas itu tidak mungkin Christabella.

"Siapa kamu?"

"Liora." Balas perempuan itu masih dengan tangisannya yang tersedu-sedu.

Jenson semakin tidak senang. Ia dengan malas bertanya, "Ada apa?"

"Jaz... Huhuhu."

"Jaz? Bicara yang jelas!" Jenson setengah membentak. Ia tidak suka orang yang bertele-tele.

"Jaz kecelakaan."

Ciiiit.

Jenson sampai mengerem mendadak karena saking terkejutnya. Untung saja tidak ada mobil atau kendaraan lain di belakangnya.

Ia mengatur nafasnya sebelum memutuskan bertanya lagi pada Liora.

"Dimana dia sekarang?" Jenson menepikan mobilnya dan bertanya dengan ekspresi setenang mungkin, padahal di dalam hatinya jelas ia sangat mengkhawatirkan Jaz.

"Di Rs. Medika Mulya dekat bandara."

"Dia di Jakarta?" Jenson kaget.

"Iya Jens, dia baru saja tiba dan..."

"Aku ke sana sekarang." Jenson memotongnya dengan cepat.

Setelahnya ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan penuh.

Tak butuh waktu lama, Jenson tiba di rumah sakit tempat Jaz dirawat.

"Bagaimana keadaannya sekarang?" Tanya Jenson dengan nafas yang tidak teratur.

"Dia kritis Jens," Liora menjawab lirih di sela isak tangisnya.

Jenson menghela nafas tanpa daya dan memejamkan matanya. Setelah membuka matanya, ia terhuyung sedikit dan kemudian menyenderkan tubuhnya ke dinding dengan satu kaki dan kepala mendongak ke atas. Beban berat seolah tiba-tiba menghimpit dadanya saat ingatan kecelakaan mobil ayahnya dua tahun lalu kembali memenuhi pikirannya.

Entah kenapa Jenson tiba-tiba sangat takut kehilangan Jaz.

Jenson menghela nafasnya sekali lagi dan menatap Liora iba, tapi hanya sebatas itu saja yang ia lakukan, ia tidak tahu cara menenangkan perempuan yang menangis.

"Jenson, aku takut. Bagaimana kalau Jaz..." Liora terduduk lemah di bangku tunggu dan ia menangis tergugu, ia begitu terpukul sampai-sampai tidak sanggup melanjutkan perkataannya sendiri, ia takut dengan kenyataan terburuk yang akan terjadi nanti.

Hati Jenson seolah diremas dengan keras karena ia sepemikiran dengan Liora, ia kemudian menghampirinya dan ikut duduk di sampingnya.

"Apapun yang terjadi kita harus merahasiakannya."

Liora mengangkat kepalanya dan menatap Jenson tak mengerti, "Maksudnya?"