Bella menampar Jenson begitu keras hingga kepalanya menoleh ke samping. Jenson tertegun sebentar dengan tamparan itu sambil memegangi pipinya yang memanas sebelum akhirnya ia menyeringai sinis dan menatap tajam Bella.
Bella bergidik ngeri mendapati tatapan tajam Jenson, jadi ia hampir menangis.
Melihat Bella seperti anak kucing yang lemah, Jenson melembutkan pandangannya dan berdiri di belakang Bella, membantu membuka tali pengait gaun tanpa bicara apapun.
Pada saat itu, Bella memejamkan mata dan bulir-bulir air matanya berderai pelan. Pikirannya kembali penuh dengan Gavinnya yang lembut dan romantis.
"Selesai, mandi dan istirahatlah!"
Suara maskulin Jenson mengejutkannya, Bella menghela nafas lega sambil memeluk gaun depannya agar tidak terlepas, meski ia tahu Jenson pasti sudah melihat punggung indahnya. Bella tak peduli dan ia langsung buru-buru ke walk in closet mencari handuk piyamanya dan pergi mandi.
Begitu melihat Bella ke kamar mandi, Jenson meraih ponselnya dan mengirim pesan pada seseorang.
[Cari dan usir laki-laki bernama Gavin Thompson. Pastikan dia pergi dari kota ini malam ini juga. Jangan lupa hilangkan jejak kepergiannya]
[Baik Tuan]
Jenson mematikan ponselnya dan menghela nafas lega. Ia naik ke tempat tidur dan memejamkan mata.
Bella keluar dari kamar mandi tak lama kemudian dan ia menghela nafas lega mendapati suami tak diinginkannya sudah tertidur lelap. Ia berjingkat pelan untuk mengambil ponselnya di atas nakas dan menyelinap masuk ke kamar mandi lagi untuk menghubungi seseorang.
Jenson yang sebenarnya berpura-pura tidur, membuka matanya dan menyeringai sinis. Ia tahu Bella pasti akan menghubungi seseorang dan menanyakan keberadaan Gavin. Jenson membiarkannya dan kembali tidur dengan hati yang lebih tenang.
Sementara Bella, ia dengan panik menunggu sambungan telepon Ghea, sahabatnya.
"Halo Ghe." Seru Bella tak sabar begitu telepon sudah tersambung.
"Kenapa kamu menelfonku? Bukankah ini malam pertamamu?" Goda Ghea.
"Berhentilah menggodaku Ghe, dimana Gavin?"
"Gavin? Tentu saja dia sangat patah hati. Aku melihatnya semalam di sebuah club malam, tapi setelah itu aku tidak melihatnya lagi."
Bella merosot tak berdaya di lantai kamar mandi, ia memejamkan mata dan air matanya berderai pelan. Ia tahu Gavin pasti akan sangat patah hati dengan pernikahannya, meski terakhir kali ia bertemu dengannya dan Bella membicarakan pernikahannya dengan Bos Alex Group, Gavin tampak baik-baik saja dan dengan pasrah merelakannya, tapi sekarang Gavin bahkan tak bisa dihubungi sejak semalam.
"Ghe, tolong bantu cari Gavin untukku please!" Bella memohon dengan sungguh-sungguh.
Ghea tampak terdengar menghela nafas berat di seberang sana.
"Baiklah!" balas Ghea pasrah, ia selalu tidak tega dengan Bella.
"Thanks Ghe, kamu yang terbaik."
Bella menutup teleponnya dan buru-buru menyeka air matanya, ia merapikan diri dan keluar dari kamar mandi, setelahnya ia memilih tidur di sofa.
Saat larut malam, Jenson terbangun dan mendapati Bella tidur meringkuk di sofa, ia menggeram dalam hati karena sifat keras kepala Bella yang tidak mau tidur satu ranjang dengannya, meski begitu ia tetap tidak tega dan menggendong Bella ke tempat tidur.
Ia memeluknya dan mengelus lembut puncak kepala Bella.
Keesokan paginya, Jenson bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuk Bella. Setelah selesai, ia duduk di sofa single dengan kopi di tangannya, menikmati pagi harinya seperti biasa dengan tambahan pemandangan seseorang yang selama ini ia cintai masih tertidur lelap di tempat tidur yang berada di depannya.
Jenson tersenyum lembut memandangi kecantikan Bella yang luar biasa. Ia kembali menyeruput kopinya dengan mata yang tak lepas dari pemandangan di depannya.
Pada saat yang sama, Bella membuka mata indahnya perlahan dan menyadari bahwa dirinya berpindah ke tempat tidur. Ia terkesiap dan bangun dengan buru-buru.
Bella membuka mulutnya saat ia melihat Jenson duduk di sofa yang ada di depannya, namun sebelum ia mengatakan sesuatu Jenson lebih dulu menyelanya, "Selamat pagi Amor, bergabunglah bersamaku untuk sarapan."
Bella mengerucutkan bibirnya dan menatap Jenson kesal.
"Sejak kapan dia sangat akrab dengannya? Sampai berani memanggilnya Amor, itu sangat menjijikkan." Batin Bella.
Bella memutar matanya malas dan ia membalas untuk mencibir, "Jens, kita tidak sedekat itu, jadi jangan panggil aku Amor."
"Kita sangat dekat sejak semalam aku menciummu." Balas Jenson tanpa ekpresi dan canggung.
Bella memelototinya, tapi Jenson menyeringai tipis sambil meletakkan dengan anggun secangkir kopinya ke meja kopi, ia yang masih mengenakan jubah mandi, berdiri dan melangkah ke arah Bella.
Bella deg-degan dengan perubahan 'Jenson' yang begitu mendadak.
"Kamu istriku sekarang, jadi tidak ada larangan untukku memanggilmu Amor." Bisik Jenson lembut di telinga Bella.
Bella bergidik ngeri mendengarnya, bulu kuduknya berdiri dan seolah tubuhnya terkena suatu sengatan yang tak biasa saat Jenson mencium lembut telinganya.
"Aku bahkan bisa melakukan apa saja denganmu."
Bella terkesiap.
"Jangan macam-macam Jens, sejak kapan kamu setuju dengan pernikahan bodoh ini?" Bella bertanya dengan marah.
"Aku berubah pikiran sekarang."
"Secepat itu?" tanya Bella penuh selidik.
Jenson mengangguk serius, membuat Bella ingin menangis keras.
"Kenapa Jens? Kenapa? rasanya aku mendadak gila sekarang." Teriak Bella frustasi.
"Aku mencintaimu." Bisik Jenson sungguh-sungguh.
Sontak mata obsidian Bella membulat sempurna.
"Aku tahu kamu hanya bercanda Jens," Bella tergagap dan ia mendadak linglung sebentar.
"Tidak, aku serius Christabella. Aku mencintaimu sejak lama, be mine!"
Tubuh Bella menegang dan saat itu juga ia kesulitan bernafas.
"Berhenti bermain-main denganku Jens," geram Bella.
Rahangnya mengeras karena marah.
Berbeda dengan Jenson yang justru tersenyum dengan sangat lembut hingga aura ketampanannya semakin bertambah, membuat Christabella semakin linglung. Ia tak percaya Jenson akan bersikap seperti ini padanya.
"Aku tidak main-main, aku benar-benar mencintaimu," ulang Jenson.
Bukannya senang, Bella justru menatap Jenson dengan matanya yang menyipit dan penuh kebencian.
Jenson semakin gemas dengan kemarahan Bella sehingga ia ingin sekali melumat kembali bibir ranum Bella seperti semalam. Tapi sesuatu mengacaukan niatnya.
Ponsel Bella berbunyi nyaring, seseorang memanggilnya.
Bella langsung melompat dari kamar tidur begitu melihat Ghea memanggilnya, ia terlihat begitu bersemangat.
"Halo Ghe, apa sudah ada kabar dari Gavin?" tanyanya setengah berbisik.
"S... sudah Bell, tapi..."
"Tapi apa?"
Bella yang saat ini memilih mengunci diri di kamar mandi terlihat panik. Semantara Jenson, ia melangkah santai ke arah kamar mandi dan mendekatkan telinganya ke daun pintu, menguping pembicaraan Bella.
"Gavin ditemukan meninggal Bell."
"Apa?" teriak Bella seketika dengan kedua mata melolot nyaris terlepas dari kelopaknya.
"K... kamu pasti bercanda kan Ghe?" tanyanya masih tak percaya, tubuhnya gemetar hebat dan detik itu juga kakinya tiba-tiba berubah lemas hingga ia merosot ke lantai.
"Tidak Bell, Gavin memang meninggal. Dia kecelakaan mobil dan tubuhnya hancur, aku sekarang di rumahnya dan akan ikut mengantar ke pemakaman. Aku minta maaf kalau kabar yang aku sampaikan..."