"Kenapa Anda melepaskannya, Mr. Tonny?" Seseorang menyela dalam diamnya. Melirik si bos besar yang bersantai di sisi tiang lampu, halaman markas Sarang Temporer Black Wolf. Tatapannya mengarah ke atas sana. Langit gelap, di atas cakrawala menjadi saksi kegundahan hati Mr. Tonny sekarang ini. Dia tak yakin, Rumi akan luluh dengan sendirinya. Berbicara banyak dengan gadis itu, mengingatkan Tonny pada sepasang suami istri yang sudah menikamnya habis secara tidak langsung. Rumi mirip dengan mereka berdua. Tonny bukan orang yang menggunakan perasaan dalam setiap keputusan yang diambil. Namun, nyatanya, logika membawanya pergi ke sana. Perasaan dan insting jauh dibutuhkan ketimbang pikir logis berbasis teori yang ada. Rumi harus dijemput dengan perasaan, tetapi Mr. Tonny tak tahu dan tak begitu paham bagaimana itu bekerja.
"Dia mungkin akan datang lagi," ucapnya dengan lirih. Meraih bungkus rokok yang ada di depannya saat ini. Mengambil satu, memainkan gulungan tembakaunya di sela-sela jari jemarinya. "Dia akan datang setelah aku membuatnya patah hati dan jatuh tersungkur, bukan?" Sekarang bukan kalimat pernyataan, tetapi lebih kepada pertanyaan penuh dengan keraguan. Dari mata Rumi, setidaknya Tonny tak perlu banyak menaruh harapan. Rumi bukan orang yang gila akan harta dan hidup mewah, seperti semua perempuan yang sudah dinikahi olehnya. Hubungan timbal balik seperti mahar pernikahan yang mahal, jaminan hidup yang mewah dan mapan, dengan dibayar pelayanan kepuasan pasal hasrat seksual untuk meneruskan keturunan, bukan cara yang bisa membuat Rumi datang padanya. Dia gadis yang unik, mirip ibu dan ayahnya. Sifat pasangan suami istri itu nyatanya bergabung menjadi satu di dalam diri Rumi.
"Anda mulai tak yakin?"
Tonny menghela napasnya panjang. Sekarang gulungan tembakau itu dibakar ujungnya dengan pemantik yang selalu ia bawa. Aroma tembakau yang khas bersama asap tipis mulai mengudara, terbawa angin yang bergerak konstan.
"Jika Anda tidak yakin, kenapa membiarkan Rumi pulang kemarin, Mr. Tonny?" Pitter terus menyanggah, jujur saja dia tak terlalu suka dengan keputusan Mr. Tonny membiarkan Rumi pulang. Dia terlalu lunak pada gadis puber itu. Tak seperti Mr. Tonny sebelumnya.
"Ivona menyuruhku untuk berjalan dengan hati-hati melihat usia Rumi yang masih muda. Namun, aku tidak bisa melakukan itu sepenuhnya ...." Dia mulai mengeluh. Hanya pada Pitter, Mr. Tonny bisa mengeluarkan semua isi hatinya. "Aku menikahi Ivona saat dia berusia 18 tahun, kita dewasa dengan cara yang salah. Aku takut, Rumi akan seperti itu juga."
"Anda mulai mengkhawatirkan gadis itu?" Pitter menghela napasnya, sedikit kecewa. "Mr. Tonny ...." Ia memanggil bosnya. "Rumi adalah anak dari pasangan yang sudah berkhianat pada Anda. Dia hanya perlu menebus dosanya dengan menikah dan memberikan keturunan untuk Anda. Jangan terbawa suasana." Pitter memberi saran, baru kali ini dia melihat bosnya terlihat begitu gusar.
"Keadaannya berbeda, Pitter."
"Apa yang berbeda, Mr. Tonny? Semuanya sama saja."
"Rumi satu usia dengan putriku, anak Ivona. Melihatnya begitu, aku teringat putriku."
"Anda bukan ayah yang baik, Mr. Tonny." Kalimat Pitter membuat Tonny menoleh padanya. Ditatapnya pria yang gigih pada posisinya saat ini. "Maafkan aku," ucapnya lagi.
"Kau benar. Aku tak dekat dengannya. Aku hanya mencintai Ivona dulu. Berharap bahwa dia punya seorang putra alih-alih memberikan keturunan putri yang cantik seperti Arabella."
••• Big Man Season 1 •••
Sinar mentari menyeruak dibalik celah tirai jendela kumal di pojok ruang kamar. Pemandangan mengarah ke sisi halaman rumah tua milik Rumi. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, menguceknya dengan kasar acapkali matanya ingin terbuka, menyambut fajar pagi ini.
Kenangannya bersama Gilang siang lalu masih melekat di dalam kepalanya semalaman penuh. Hatinya begitu nyaman dan bahagia mendapati sang kekasih datang membawakan buah tangan dan berbicara pasal kehidupan bersamanya. Tingkah laku Gilang sejenak membuatnya aneh, tetapi Rumi tetap bersyukur pasal hal itu.
Dia bangkit dari ranjangnya. Bunyi sedikit nyaring terdengar seiring dengan tubuh Rumi yang bergerak perlahan, ranjang ini sudah tua. Mungkin jika dibuat tidur berpasangan, ranjangnya akan patah dan hancur.
Rumi melirik ke arah jam dingi di sisi pintu masuk, pukul tujuh. Sedikit siang untuk mengatakan bahwa dia akan menyarap dengan menu seadanya. Sisa nasi kemarin masih ada di dalam penanak nasi. Mungkin sedikit keras, tetapi mau bagaimana lagi? Rumi tak boleh membuang makanan sedikitpun. Kata neneknya, pamali. Itu bisa menghambat rejeki yang datang padamu.
"Argh—" Dia mengerang ringan. Melirik ponselnya yang sedari tadi tak bisa diam, pesan masuk beruntun. Sesekali panggilan datang menyela. Rumi meraih itu. Melihat layar dan menguap untuk kesekian kalinya. Raga Rumi belum benar-benar terkumpul.
"Video apa ini?" katanya bergumam. Matanya menyipit dengan dahi yang berkerut. Sebuah pesan aneh masuk secara bersamaan. Menyertakan nama Rumi di dalamnya. Sekilas dia membaca, Rumi sedang berada dalam permasalahan pagi ini.
Ia membuka videonya. Durasi waktu di mulai. Sebuah ruangan gelap, bercahaya kuning dari lampu Watt kecil di atap ruangan. Sofa panjang menghadap ke meja besar berisi jajaran botol, seperti botol bir atau semacamnya. Entahlah, Rumi tak pernah bersentuhan dengan minuman seperti itu. Matanya membuka lebar, jantungnya berhenti berdetak dalam sejenak, dadanya panas saat melihat seorang perempuan ambruk di atas sofa dalam keadaan setengah telanjang sebelum akhirnya laki-laki menindih tubuhnya dengan kasar. Melucuti semua pakaiannya dan melemparnya sembarang arah. Memulai bercumbu dan beradegan panas yang tak layak ditonton oleh umum.
Gambar tiba-tiba menampilkan efek blur saat keduanya benar-benar bersentuhan secara intim. Tubuh pasangan itu bergoyang dengan konstan bersama wajah kepuasan di antara keduanya. Rumi mengenal tokoh laki-laki itu. Seketika tubuhnya merinding panas. Dadanya sesak, bibirnya kelu tak mampu berbicara apapun lagi.
Ia mengulum salivanya. Durasi video habis hanya dalam dua menit berjalan. Namun, cukup keras memberi tamparan pasa Rumi. Kekasihnya selingkuh. Bukan hanya jalan berdua, tetapi tidur dan bermain gila bersama perempuan lain.
Rumi menggeser layar ponselnya. Pesan menyertai video itu. Rumi disertakan di dalam sana. Namanya disebut sebagai gadis malang yang sudah terkena tipu buaya darat seperti Gilang. Parahnya, video disebar di forum sekolah. Semuanya tahu dan semuanya melihatnya. Tak sedikit dari ujaran kebencian untuk Gilang, Rumi mendapat banyak simpati di sana. Begitu menyayangkan sebab dia harus bertemu dan mencintai pria mesum gila seperti Gilang.
Rumi meletakkan ponselnya. "Bajingan ...." Lirihnya mengumpat. Jari jemarinya mengusap sisi wajahnya beberapa kali. "Inilah arti dari perlakuan baik dia kemarin?" Ia berdecak. Menundukkan kepalanya. Menatap ujung jari jemari kakinya di bawah sana. Rumi benar-benar patah hati sekarang.
... Bersambung ...