Keesokan harinya, Kafe tengah kota.
"Bajingan gila!" Itulah yang ingin Rumi katakan. Memaki habis-habisan remaja yang sudah mempermalukan dirinya ini. Bukan kesalahan Rumi, tetapi nyatanya, dia terkena imbas karena tingkah laku Gilang. Orang-orang membicarakan remaja ini, tentunya dengan. Menyeret nama Rumi disela-sela pembicara itu. Rumi tak perlu banyak bukti lagi untuk menjatuhkan sang kekasih. Semuanya sudah cukup, video berdurasi tak terlalu lama itu sudah menjawab semuanya. Gilang adalah tokoh utamanya.
"Kamu benar-benar gak mau membuat pembelaan?" Ia mencoba melunak. Jujur saja, Rumi masih berharap kalau yang ia lihat di dalam video asusila itu bukan kekasihnya, Gilang. Itu kesalahan, Rumi ingin mendengarnya dari Gilang. Akan tetapi, seakan ditampar berkali-kali, Rumi merasakan segala macam bentuk rasa sakit itu.
"Maafin aku." Gilang melirih. Tak ada sanggahan untuk apa yang terjadi, dia seperti tersangka yang kalah dalam persidangan. Akhirnya dia menyerah dan mengakui segala tuduhannya.
Rumi memalingkan wajahnya. Tak mau menatap ke arah sang kekasih lagi. Dia teringat akan perkataan milik Mr. Tonny, Rumi harus mendatangi sang kekasih. Memakinya dan meludahi wajah Gilang. Ingin juga dia begitu, tetapi pada akhirnya Rumi lemah karena cinta.
"Siapa dia?" tanya Rumi pada akhirnya. Menatap Gilang sekuat tenaga. Hatinya rapuh bukan main. "Pacar kamu juga?"
Gilang diam. Dia tahu pembelaan apapun itu, hanya akan membuat hati Rumi semakin sakit saja.
"Jawab, sialan!" Rumi mengumpat. Matanya sudah terasa pedih sekarang. Ingin menangis, tetapi dia masih ingin keras kepala dan berpura-pura kokoh.
"Hanya teman ...." Gilang melirih. Menjatuhkan pandangan matanya. "Teman main."
"Berapa kali kamu tidur dengannya?"
"Rumi ...." Gilang memanggilnya. Dia berusaha untuk mencegah rasa sakit Rumi. "Aku hanya ...."
"Setidaknya, aku harus tahu sebelum kita mengakhiri semuanya. Aku harus tahu sejauh apa aku dibohongi dan dibodohi."
Gilang menghela napasnya panjang. "Sekolah memanggilku besok. Orang tuaku juga melakukan hal yang sama, mereka terkejut bukan main. Semua yang tahu merasakan hal yang sama." Gilang memulai. Seakan ingin mengeluh. "Aku hancur, Rumi. Jadi bukan hanya kamu saja yang terkena imbasnya. Aku pun begitu."
Gadis itu diam. Dia tak tahu harus bagaimana lagi sekarang.
"Aku gak mau menyakiti kamu lagi. Aku tidak bisa menjelaskan apapun. Semuanya sudah ada di dalam video itu."
"Aku ...." Rumi kembali berucap. Mengangkat pandangan matanya untuk Gilang. "Aku mau kita putus."
Gilang menatap Rumi. Dia seharusnya tak terkejut, jika Rumi masih punya harga diri dan hati, ini adalah respon yang wajar. Rumi meminta untuk mengakhiri hubungan mereka.
"Aku tidak bisa bersama dengan kamu lagi, Gilang." Dia memungkasi. Bangkit dari tempat duduknya. Memutuskan untuk pergi dari tempat ini selepas datang hanya untuk menemui Gilang sepulang sekolah. Bukan Rumi yang meminta, tetapi Gilang yang membuat spam pesan menyuruhnya datang ke kafe biasa. Tempat nongkrong murah yang tak menguras dompet terlalu dalam. Ini tempat yang paling disukai oleh Rumi sebelumnya. Dia datang kemari dengan keadaan yang baik-baik saja, tetapi kali ini lain. Rumi meninggalkan kafe dengan air mata yang berlinang.
Jika harapan Rumi adalah Gilang mengejar dan menghentikan langkah kakinya, Rumi salah besar. Remaja itu memaku. Duduk diam, memandanginya pergi begitu saja. Sejak awal, Gilang tak berkata banyak. Dia tak menjelaskan apapun, toh juga semuanya sudah dijelaskan dalam video itu. Dia bahkan tak mengaku siapa gadis yang menjadi lawan mainnya.
Rumi berjalan cepat, menerobos kerumunan yang ada di depannya. Tak peduli pada semua orang, dunia tak boleh melihatnya kacau begini. Dia tak terbiasa menangis di tempat umum. Rumi tak bisa menjadi bahan perhatian orang-orang.
Tanpa sengaja, gadis itu menabrak tubuh jangkung seorang laki-laki, bukan salah Rumi. Memang dia yang tiba-tiba saja berdiri di depan Rumi. Gadis itu terkejut. Mendongak kala aroma parfum yang khas masuk menyeruak ke dalam lubang hidungnya. Genta.
"Kenapa lo menangis?" tanyanya dengan santai, seharusnya tanpa Rumi menjawab Genta sudah tahu jawabannya. Memangnya apa lagi? Kabar kebusukan Gilang sudah terdengar ke penjuru sekolah. Bahkan dengar-dengar Gilang akan segera dikeluarkan dari sekolah. Sanksinya benar-benar luar biasa. Itulah yang membuat Rumi enggan menambah penghakiman untuk sang mantan kekasih.
Rumi tak memberi jawaban. Membuat Genta kini tersenyum dengan lebar. Dia menengadahkan tangannya. Menghadap ke atas cakrawala, langit mendung sejak tadi. Mungkin sedang mengirim duka untuk Rumi juga.
"Sebentar lagi pasti hujan, mau meneduh dulu? Kita makan es krim di sana." Genta menunjuk ke arah sebuah kedai berukuran sedang, yang berjejal dengan bangunan besar di kedua sisinya. Tempat es krim, Rumi mendengar tempat itu punya cita rasa es krim yang khas dan unik. Tempat yang selalu ramai tak pernah sepi, setidaknya keadaan kedai, menjawab semua teka teki pasal rasanya. Pasti luar biasa!
.... Bersambung ....