Semangkuk es krim menjadi fokus Rumi sekarang. Namun, dia tak punya napsu apapun untuk menyentuh makanan itu. Genta sudah menyendok miliknya, bukan tak peduli dengan Rumi, Genta mengajaknya kemari sebab dia peduli dengan gadis ini. Rumi tak punya tempat untuk mencurahkan segalanya.
"Gak mau makan?" tanya Genta pada akhirnya. Remaja itu meletakkan cone es krim miliknya. Tatapan mata tertuju pada Rumi. "Makan aja, katanya es krim dan cokelat bisa membantu mengembalikan mood." Genta mendorong mangkuk itu mendekati Rumi. Berharap gadis itu mau tertarik. Meksipun dia tahu, itu adalah hal yang sulit. Perasan Rumi pasti sedang diombang-ambingkan.
"Gimana sama Gilang?" Pergi pada poin pembicaraan mereka. Rumi lagi-lagi menatapnya dengan aneh. "Lo pasti menangis karena dia tadi. Kalian pasti bertemu."
Gadis itu menghela napasnya. "Kita putus dan gue yang memutuskan untuk itu. Harga diri gue terlalu terluka."
Genta mengangguk. Dia tersenyum manis, mengusap puncak kepala Rumi dengan begitu lembut. "Keputusan yang bagus. Itu adalah hal yang paling tepat. Mulai sekarang ...." Kalimat Genta terhenti sejenak. Senyum tak pernah absen dia berikan untuk Rumi. "Jangan menyesali apapun. Ada gue di sini. Lo bisa mengeluarkan semua rasa sakit, keluhan, amarah, dan kesedihan itu sama gue. Gue akan selalu ada dan membantu sebisanya."
Ini semacam kalimat yang dulu dia dengar dari Gilang. Semua laki-laki selalu memulai dengan cara yang sama. Masuk ke dalam celah paling menyedihkan dalam hidup perempuan yang diincarnya. Bergerak perlahan, tetapi begitu pasti dan tegas. Langkah tak terdeteksi tiba-tiba saja sampai di pintu hati dan siap untuk mengetuknya. Jika Rumi tak kokoh, maka hatinya akan terbuka untuk Genta pada akhirnya.
"Terimakasih ...." Rumi menundukkan kepalanya. Mencoba menghindar sentuhan Genta dengan tidak menyakiti hati remaja itu. Dia adalah orang yang baik, setidaknya Rumi ingin percaya akan hal itu. "Maaf jadi merepotkan."
Genta menggelengkan kalimatnya. "Tentu tidak. Gue senang kalau lo mau terbuka begini."
"Mulai sekarang, gue akan mendengarkan semua keluh kesah lo. Jangan sungkan untuk berbicara. Juga, jangan sungkan-sungkan untuk memanggil gue ketika lo butuh teman untuk mencurahkan isi hati."
Tiba-tiba saja mereka menjadi dekat. Sebelumnya Genta tak pernah peduli begini. Dia tipe orang yang selalu cuek dan tak mau acuh pada keadaan yang ada di sekitarnya. Namun, dia tiba-tiba saja berubah begini. Dia mirip buaya yang berenang di air yang dangkal. Seakan mencoba menyelami semuanya, meksipun dia tahu seperti apa akhirnya nanti.
"Genta ...." Rumi memanggilnya dengan lirih. "Boleh aku tanya sesuatu?"
Genta mengangguk. Sedikit ragu. meksipun dia tahu, Rumi tak akan bertanya yang aneh-aneh.
"Bagaimana dengan seseorang yang tiba-tiba mengajakmu menikah tanpa cinta dan tanpa mengenal satu sama lain?" --tiba-tiba saja, Rumi teringat akan hal ini. Dia tidak bisa melupakannya begitu saja. Sebanyak apapun masalahnya, nyatanya Rumi masih terikat dengan Mr. Tonny.
"Apanya yang bagaimana?" tanya Genta. "Jangan melakukan hal yang bodoh, Rumi. Pernikahan adalah titik paling tinggi mencintai seseorang. Jadi, tanpa cinta itu tidak akan berjalan dengan lancar." Genta menatapnya dalam-dalam. "Kenapa tanya hal itu tiba-tiba? Memikirkan hubungan Gilang dan gadis itu?"
Rumi menggelengkan kepalanya. "Hanya ingin tanya saja." Gadis itu tersenyum tipis.
"Jika seorang laki-laki mengajak untuk berkencan tanpa berkenalan dengan baik, itu adalah hal yang wajar. Jika tidak cocok, maka kencan akan berhenti dengan mudah. Namun, tidak dengan pernikahan, Rumi. Itu bukan hal yang main-main. Gue juga yakin, semua perempuan pasti memimpikan pernikahan yang megah, mewah, dan mahal dan sekali dalam seumur hidup bukan?"
Rumi menatapnya. Sekarang mereka saling tatap satu sama lain. "Hm, benar."
"Jadi, jika ada yang mengajak menikah tanpa kepastian, jangan pernah melakukan itu."
Rumi kembali menatap Genta. Dia benar, seharusnya Rumi lebih tegas menolaknya.
••• Big Man Season 1 •••
Mr. Tonny menghela napasnya dengan kasar. Asap rokok mengepul dari celah jendela pintu mobil yang terbuka. Sepasang mata elangnya membidik jauh di sisi jalan, Rumi dan Genta memilih tempat duduk yang sedikit jauh dari jendela. Membatasi jarak pandang pria dewasa itu. Berkali-kali Pitter mengatakan untuk menyusul dan masuk ke dalam, tetapi Mr. Tonny enggan untuk melakukannya. Katanya itu hanya akan merusak rencananya saja.
"Haruskah saya membuat orang itu pergi, Mr. Tonny?"
Mr. Tonny meliriknya dengan tajam. Begitu panas hatinya melihat pria muda menyentuh kepala Rumi dengan penuh kasih sayang. Entah apa yang mereka bicarakan, Mr. Tonny bahkan melihat senyum di atas wajah Rumi selepas membuntuti gadis itu bertemu dengan Gilang tadi. "Siapa?" tanya Mr. Tonny dengan nada berat.
"Pemuda itu."
"Biarkan saja. Aku yang akan memberi peringatan padanya nanti. Kita loloskan dia hari ini. Jangan buat masalah apapun. Itu hanya akan menambah beban Rumi saja," jawabnya dengan tegas.